Kasus surat putri Nurdin Halid yang beredar beberapa waktu yang lalu rupanya sempat membuat geger. Di halaman situs yang memuatnya, rentetan cemooh, hinaan, kritik, hingga umpatan dilemparkan ke putri Nurdin Halid.
Begitu pula di Facebook. Seorang teman yang membagi link-nya di status-nya juga memperoleh banyak komentar negatif yang ditujukan pada putri Nurdin Halid.
Tapi, apakah benar itu yang menulis memang putri dari Nurdin Halid?
Well, menurutku sih, bukan. Gaya penulisannya yang terlampau kacau dan usaha dia untuk justru memperlihatkan sisi negatif dengan gaya arogan langsung membuatku berpikir bahwa ini hanyalah bentuk sarkasme.
Yah, kecuali kalau memang putri Nurdin Halid sebodoh itu.
Terlepas dari itu semua, yang ingin aku angkat adalah betapa mudahnya kita diprovokasi, disulut emosinya, dan bereaksi karena itu. Reaksi yang biasanya negatif.
Lihat saja betapa mudahnya terjadi bentrok antar kelompok, betapa mudahnya kita menghujat keputusan pemerintah, betapa mudahnya kita menjelek-jelekkan orang yang berbeda... betapa kita membutuhkan sesuatu untuk pelampiasan.
Pelampiasan?
Iya, aku pun begitu. Aku sering sekali menghujat, menghina, dan mengeluh mengenai realita sehari-hari. Terutama yang berkaitan dengan kebobrokan negara dan pemerintahnya.
Dari masalah besar seperti korupsi tanpa malu yang seakan sudah menjadi agama bagi para penguasa, hingga masalah yang realistis seperti macet yang setiap hari semakin parah.
Mungkin itu pula yang dirasakan oleh banyak orang.
Rentetan kebobrokan negara diungkap di media massa tanpa kita mampu untuk mengubahnya. Itu menjadikan aku benar-benar pesimis terhadap semua upaya kebaikan yang diusahakan oleh teman-teman aktivis.
Demonstrasi yang dulu terbukti dapat menggulingkan rezim Suharto, kini sekuat apa? Kepentingannya terlalu banyak, dan para penguasa itu sudah kehilangan rasa malu. Musuh yang dulu 'satu' dan bisa mempersatukan bangsa telah berganti dengan musuh yang abstrak: korupsi.
Supporter PSSI yang kemarin bersatu turun ke jalan dan demo memang hebat. Tapi itu karena mereka memiliki musuh yang sama: Nurdin Halid. Apa jadinya nanti kalau Nurdin Halid benar-benar turun? Siapa yang akan menggantikan? Setiap orang yang berambisi akan mengunggulkan jagoannya, dan jadi kisruh lagi.
Itupun kalau para petinggi peduli.
Sama seperti ketika setelah Suharto lengser, berbagai jagoan bermunculan. Berbagai taktik langsung digunakan oleh orang-orang untuk mendapatkan kekuasaan hanya karena mereka 'rakus'. Hasilnya ya seperti sekarang ini.
Pesimis.
Media massa pun menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, mereka mengabarkan tentang bobroknya negara dan semua kejadian penting kepadaku. Tapi di sisi lain, mereka memperparah rasa frustasiku.
Yah, bagaimanapun juga, media massa juga memiliki kepentingan karena dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kepentingan, entah politis ataupun finansial. Media massa pun tidak lagi berdiri di posisi netral, tapi digunakan untuk alat mencapai kepentingan itu.
Memang sih, terlalu idealis kalau aku berharap ada sebuah media massa yang benar-benar berani untuk menjadi oposisi dan menjadi 'wakil rakyat' yang sebenar-benarnya. Meski, bagaimanapun juga, mereka memiliki informasi dan kemampuan untuk menyebarkan informasi tersebut. Dan karena itu, mereka sebenarnya mewakili salah satu pilar kekuasaan struktural dalam pemerintahan. Ini bisa dianggap sebagai pengawas jalannya sebuah pemerintahan.
Tapi, apa yang terjadi dengan media massa sekarang? Setiap hari berita yang disiarkan memang berita buruk tentang pemerintahan. Wajar, karena memang pemerintahannya sendiri juga bobrok.
Hanya saja semua media tersebut berkesan 'latah', terlepas dari kepentingan-kepentingan yang menungganginya. Maksudnya berita yang disajikan hampir semua sama, dengan sudut pandang yang sama.
Aku memang tidak punya latar belakang yang kuat untuk menghakimi operasional media ataupun pemilihan beritanya, tapi. Tapi aku punya hak dan harapan untuk tidak diombang-ambingkan oleh media.
Makin lama, kepercayaanku pada berita-berita di media pun menyusut. Berharap mereka dapat membawa perubahan juga berakhir dengan rasa pesimis.
Berita-berita buruk berseliweran setiap hari, tapi jarang sekali yang diberitakan hingga tamat. Coba tengok berapa banyak masalah yang belum selesai?
Aku tahu ini bukan murni kesalahan pengelola berita, karena banyak pihak yang berwenang memang tidak berniat menyelesaikannya. Tapi bukannya media mempunyai kemampuan untuk menanyakan suatu kasus yang tak juga selesai?
Kalau hanya mengikuti pemberitaan mana yang 'panas', dan dan kemudian dieksploitasi di beberapa hari itu saja, tak heran lalu berita-berita media banyak yang justru dimanfaatkan untuk memuluskan isu pengalihan.
Pemerintah (atau siapapun yang berkepentingan) bisa menyebar red herring di mana-mana, dan media-media berebutan mencaploknya.
Masyarakat memakan mentah-mentah semua yang disajikan media. "Kasus Antasari", "Kasus Video Bokep Ariel", "Kasus Gayus ke Bali", "Kasus Monarki", "Kasus Mafia Pajak", "Kasus Bentrok Temanggung", "Kasus Nurdin", "Kasus Bubarkan Ormas", "Kasus Film Hollywood", bla-bla-bla.
Aku sampai tidak tahu, mana yang isu pengalihan dan mana yang isu sebenarnya. Kemarin sempat mendengar kabar kalau kasus Ahmadiyah di Ciukesik itu memang dibuat untuk mengalihkan isu.
Wah, kalau memang seperti itu kejadiannya kan berarti parah sekali.
Akibatnya apa? Masyarakat setiap hari disuguhi berita-berita yang mengaduk-aduk rasa kekecewaan dan memunculkan kekesalan yang bertubi-tubi. Ini seperti efek menonton kebanyakan sinetron Indonesia.
Cilakanya, kasus-kasus yang diberitakan itu banyak yang tidak tuntas.
Kalau begini, menonton Putri Yang Ditukar bisa jadi merupakan pilihan yang lebih logis, karena jauh lebih 'aman'. Walaupun bertele-tele, memusingkan, dan tidak masuk akal, kita bisa yakin bahwa akan ada tamatnya.
Meski itu berarti sutradara harus mematikan seluruh keluarga Putri Yang Ditukar secara mendadak saat rating mulai jeblok.
Nah, di tengah carut-marutnya berita buruk perilaku orang-orang yang berkuasa, janji-janji yang dipelintir, kondisi negara yang kian memburuk, tawaran hiburan yang tidak menginspirasi, dan ketidakmampuan rakyat untuk mengubah keadaan secara makro, banyak orang jadi mudah terprovokasi.
Satu berita buruk muncul, langsung jadi Trending Topic.
Sebagian mungkin hanya membutuhkan pelampiasan verbal. Tapi bagi mereka yang dalam realita kehidupannya juga carut-marut dan mengalami berbagai keterbatasan bahkan untuk mengubah nasibnya sendiri, akan sangat mungkin berita-berita di media digabung dengan provokasi yang tepat akan mengarah pada kerusuhan.
Sekarang, kepercayaanku pada politik dan pemerintahan sudah berada di titik nol dan pesimis. Dan aku pun tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk mengubah ini semua dalam tingkatan makro. Aku hanya bisa tetap berusaha mempertahankan idealismeku dan tidak menambah kesemrawutan negara.
Sungguh beruntung, kehidupanku berada di area nyaman sehingga aku bisa saja tidak terlalu peduli pada apa yang terjadi di luar. Istilahnya, aku hanya tidak perlu membaca berita dan meminimalkan kontakku dengan lembaga-lembaga kenegaraan.
Salahkah aku bila sekarang jadi egois dan apatis hanya karena aku ingin bahagia?
Begitu pula di Facebook. Seorang teman yang membagi link-nya di status-nya juga memperoleh banyak komentar negatif yang ditujukan pada putri Nurdin Halid.
Tapi, apakah benar itu yang menulis memang putri dari Nurdin Halid?
Well, menurutku sih, bukan. Gaya penulisannya yang terlampau kacau dan usaha dia untuk justru memperlihatkan sisi negatif dengan gaya arogan langsung membuatku berpikir bahwa ini hanyalah bentuk sarkasme.
Yah, kecuali kalau memang putri Nurdin Halid sebodoh itu.
Terlepas dari itu semua, yang ingin aku angkat adalah betapa mudahnya kita diprovokasi, disulut emosinya, dan bereaksi karena itu. Reaksi yang biasanya negatif.
Lihat saja betapa mudahnya terjadi bentrok antar kelompok, betapa mudahnya kita menghujat keputusan pemerintah, betapa mudahnya kita menjelek-jelekkan orang yang berbeda... betapa kita membutuhkan sesuatu untuk pelampiasan.
Pelampiasan?
Iya, aku pun begitu. Aku sering sekali menghujat, menghina, dan mengeluh mengenai realita sehari-hari. Terutama yang berkaitan dengan kebobrokan negara dan pemerintahnya.
Dari masalah besar seperti korupsi tanpa malu yang seakan sudah menjadi agama bagi para penguasa, hingga masalah yang realistis seperti macet yang setiap hari semakin parah.
Mungkin itu pula yang dirasakan oleh banyak orang.
Rentetan kebobrokan negara diungkap di media massa tanpa kita mampu untuk mengubahnya. Itu menjadikan aku benar-benar pesimis terhadap semua upaya kebaikan yang diusahakan oleh teman-teman aktivis.
Demonstrasi yang dulu terbukti dapat menggulingkan rezim Suharto, kini sekuat apa? Kepentingannya terlalu banyak, dan para penguasa itu sudah kehilangan rasa malu. Musuh yang dulu 'satu' dan bisa mempersatukan bangsa telah berganti dengan musuh yang abstrak: korupsi.
Supporter PSSI yang kemarin bersatu turun ke jalan dan demo memang hebat. Tapi itu karena mereka memiliki musuh yang sama: Nurdin Halid. Apa jadinya nanti kalau Nurdin Halid benar-benar turun? Siapa yang akan menggantikan? Setiap orang yang berambisi akan mengunggulkan jagoannya, dan jadi kisruh lagi.
Itupun kalau para petinggi peduli.
Sama seperti ketika setelah Suharto lengser, berbagai jagoan bermunculan. Berbagai taktik langsung digunakan oleh orang-orang untuk mendapatkan kekuasaan hanya karena mereka 'rakus'. Hasilnya ya seperti sekarang ini.
Pesimis.
Media massa pun menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, mereka mengabarkan tentang bobroknya negara dan semua kejadian penting kepadaku. Tapi di sisi lain, mereka memperparah rasa frustasiku.
Yah, bagaimanapun juga, media massa juga memiliki kepentingan karena dimiliki oleh orang-orang yang memiliki kepentingan, entah politis ataupun finansial. Media massa pun tidak lagi berdiri di posisi netral, tapi digunakan untuk alat mencapai kepentingan itu.
Memang sih, terlalu idealis kalau aku berharap ada sebuah media massa yang benar-benar berani untuk menjadi oposisi dan menjadi 'wakil rakyat' yang sebenar-benarnya. Meski, bagaimanapun juga, mereka memiliki informasi dan kemampuan untuk menyebarkan informasi tersebut. Dan karena itu, mereka sebenarnya mewakili salah satu pilar kekuasaan struktural dalam pemerintahan. Ini bisa dianggap sebagai pengawas jalannya sebuah pemerintahan.
Tapi, apa yang terjadi dengan media massa sekarang? Setiap hari berita yang disiarkan memang berita buruk tentang pemerintahan. Wajar, karena memang pemerintahannya sendiri juga bobrok.
Hanya saja semua media tersebut berkesan 'latah', terlepas dari kepentingan-kepentingan yang menungganginya. Maksudnya berita yang disajikan hampir semua sama, dengan sudut pandang yang sama.
Aku memang tidak punya latar belakang yang kuat untuk menghakimi operasional media ataupun pemilihan beritanya, tapi. Tapi aku punya hak dan harapan untuk tidak diombang-ambingkan oleh media.
Makin lama, kepercayaanku pada berita-berita di media pun menyusut. Berharap mereka dapat membawa perubahan juga berakhir dengan rasa pesimis.
Berita-berita buruk berseliweran setiap hari, tapi jarang sekali yang diberitakan hingga tamat. Coba tengok berapa banyak masalah yang belum selesai?
Aku tahu ini bukan murni kesalahan pengelola berita, karena banyak pihak yang berwenang memang tidak berniat menyelesaikannya. Tapi bukannya media mempunyai kemampuan untuk menanyakan suatu kasus yang tak juga selesai?
Kalau hanya mengikuti pemberitaan mana yang 'panas', dan dan kemudian dieksploitasi di beberapa hari itu saja, tak heran lalu berita-berita media banyak yang justru dimanfaatkan untuk memuluskan isu pengalihan.
Pemerintah (atau siapapun yang berkepentingan) bisa menyebar red herring di mana-mana, dan media-media berebutan mencaploknya.
Masyarakat memakan mentah-mentah semua yang disajikan media. "Kasus Antasari", "Kasus Video Bokep Ariel", "Kasus Gayus ke Bali", "Kasus Monarki", "Kasus Mafia Pajak", "Kasus Bentrok Temanggung", "Kasus Nurdin", "Kasus Bubarkan Ormas", "Kasus Film Hollywood", bla-bla-bla.
Aku sampai tidak tahu, mana yang isu pengalihan dan mana yang isu sebenarnya. Kemarin sempat mendengar kabar kalau kasus Ahmadiyah di Ciukesik itu memang dibuat untuk mengalihkan isu.
Wah, kalau memang seperti itu kejadiannya kan berarti parah sekali.
Akibatnya apa? Masyarakat setiap hari disuguhi berita-berita yang mengaduk-aduk rasa kekecewaan dan memunculkan kekesalan yang bertubi-tubi. Ini seperti efek menonton kebanyakan sinetron Indonesia.
Cilakanya, kasus-kasus yang diberitakan itu banyak yang tidak tuntas.
Kalau begini, menonton Putri Yang Ditukar bisa jadi merupakan pilihan yang lebih logis, karena jauh lebih 'aman'. Walaupun bertele-tele, memusingkan, dan tidak masuk akal, kita bisa yakin bahwa akan ada tamatnya.
Meski itu berarti sutradara harus mematikan seluruh keluarga Putri Yang Ditukar secara mendadak saat rating mulai jeblok.
Nah, di tengah carut-marutnya berita buruk perilaku orang-orang yang berkuasa, janji-janji yang dipelintir, kondisi negara yang kian memburuk, tawaran hiburan yang tidak menginspirasi, dan ketidakmampuan rakyat untuk mengubah keadaan secara makro, banyak orang jadi mudah terprovokasi.
Satu berita buruk muncul, langsung jadi Trending Topic.
Sebagian mungkin hanya membutuhkan pelampiasan verbal. Tapi bagi mereka yang dalam realita kehidupannya juga carut-marut dan mengalami berbagai keterbatasan bahkan untuk mengubah nasibnya sendiri, akan sangat mungkin berita-berita di media digabung dengan provokasi yang tepat akan mengarah pada kerusuhan.
Sekarang, kepercayaanku pada politik dan pemerintahan sudah berada di titik nol dan pesimis. Dan aku pun tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk mengubah ini semua dalam tingkatan makro. Aku hanya bisa tetap berusaha mempertahankan idealismeku dan tidak menambah kesemrawutan negara.
Sungguh beruntung, kehidupanku berada di area nyaman sehingga aku bisa saja tidak terlalu peduli pada apa yang terjadi di luar. Istilahnya, aku hanya tidak perlu membaca berita dan meminimalkan kontakku dengan lembaga-lembaga kenegaraan.
Salahkah aku bila sekarang jadi egois dan apatis hanya karena aku ingin bahagia?
No comments:
Post a Comment