Sesuai dengan niat awalku, aku tak ingin menghabiskan seluruh waktuku di Pulau Karimunjawa hanya untuk menikmati lautnya. Aku juga ingin mengetahui bagaimana daratan Pulau Karimunjawa.
Karenanya, di hari kelima, sehari sebelum kepulangan kami ke Jogja, aku memutuskan untuk melewatkan berenang-renang di laut dan memilih untuk melakukan tour Kemojan bersama Zen. Sementara Dhira, Mbak Ika, Manto, Sidqi, dan seluruh anggota unit selam akan menyelam di sekitar Pulau Cemara.
Dengan meminjam motor milik Mas Nurul, aku dan Zen memulai perjalanan kami. Sebelum ke Desa Kemojan, kami menyusuri pantai-pantai timur Pulau Karimunjawa. Pantai yang masih alami dan berpasir putih. Butuh perjuangan lebih untuk dapat mencapainya, karena pantai-pantai ini kebanyakan tidak memiliki jalan masuk. Jadi mereka yang ingin bermain di pantai, kadang harus melewati semak belukar yang memisahkan pantai dengan jalan raya. Jalan tanah yang sedang dibuat rupanya berhenti di pinggir sebuah hutan. Di situ pula lah kami berhenti. Bila ingin melanjutkan, kami harus berjalan kaki. Kami pun berbalik arah.
Desa Kemojan terletak sekitar 25 km dari Desa Karimunjawa, melalui jalan satu-satunya di bagian barat pulau. Desa ini berada di sisi lain Pulau Karimunjawa, terpisah oleh sungai yang cukup lebar. Di Desa Kemojan inilah penduduknya banyak yang berasal dari suku Bugis di Sulawesi. Dan di desa ini pula terdapat satu-satunya bandar udara, Bandara Dewandaru.
Perjalanan ke Desa Kemojan termasuk menyenangkan. Jalanan beraspal halus dengan pemandangan hamparan kebun, pepohonan yang hijau dan laut. Tak tampak banyak kendaraan lain di sepanjang jalan.
Memasuki daerah Desa Kemojan, seakan memasuki daerah yang amat berbeda. Suasana desa ini jauh berbeda dengan suasana Desa Karimunjawa. Dibandingkan Kemojan, Karimunjawa yang tak memiliki supermarket, rambu lalu lintas dan ATM, tampak sangat maju. Daerahnya tak sepadat Karimunjawa. Rumah-rumah kayu dengan halaman luas, ditanami rumput hijau yang tertata rapi, berjejer di sepanjang jalan. Tanahnya merah, seperti lempung. Yang jelas, bila hujan turun, daerah ini pasti akan sangat becek.
Perjalanan lebih dari setengah jam di bawah teriknya matahari membuat kami kehausan. Kamin pun berencana berhenti di sebuah kios makanan pertama yang kami temui. Yang ternyata satu-satunya kios makanan di Kemojan.
Kiosnya kecil, berlantai tanah dan berdinding kayu. Hanya terdapat sebuah bangku panjang dengan meja yang memisahkan dengan penjual. Syukurlah hanya kami pengunjungnya.
Kiosnya kecil, berlantai tanah dan berdinding kayu. Hanya terdapat sebuah bangku panjang dengan meja yang memisahkan dengan penjual. Syukurlah hanya kami pengunjungnya.
"Pesan es teh, Bu," ucap saya.
"Nggak ada, Mbak," jawab Ibu Penjual.
"Nggak ada, Mbak," jawab Ibu Penjual.
"Yaudah... es jeruk saja," pesan saya lagi.
"Nggak ada juga."
"Terus adanya apa?" tanyaku.
"Es campur."
"Oke. Pesan dua."
Di kios ini rupanya memang hanya tersedia es campur (tanpa es!) dan beberapa makanan ringan. Perutku yang keroncongan membuatku mencomot sepotong tahu sumpal. Tapi berbeda dengan yang sebelumnya, tahu ini berisi bihun. Unik, dan lumayan enak. Harganya pun sangat terjangkau. Rp 1.000,- untuk es campur dan Rp 500,- untuk tahunya.
Tak ada yang menarik di Desa Kemojan. Pantainya tak jauh berbeda dengan pantai di Desa Karimunjawa, atau pulau-pulau sekitarnya. Desanya sepi dan banyak debu. Pantas saja tak ada yang menawariku tour keliling Desa Kemojan selama aku di Karimunjawa. Satu-satunya tempat indah yang aku temukan adalah dermaga-dermaga kecil di pesisir sungai yang memisahkan Desa Kemojan dengan Desa Karimunjawa. Letaknya tak jauh dari Bandara Dewandaru.
Akhirnya setelah puas melihat-lihat Desa Kemojan, kami pun segera pulang. Beruntung aku, kami tiba di Desa Karimunjawa lima menit sebelum Pak Aku-Lupa-Namanya berangkat ke Pulau Cemara dengan kapal motor putihnya.
"Kapal yang dinaiki teman-teman kamu mogok di dekat Pulau Cemara. Kita mau jemput ke sana. Mau ikut?" ajaknya.
Ya tentu saja aku mau. Sementara Zen berkutat dengan tugas yang harus ia kerjakan. Mengisi tabung dengan kompresor.
Kapal motor dipacu dengan kecepatan tinggi, terhempas-hempas di antara ombak. Di atas kapal, aku sibuk berusaha mengambil gambar pulau-pulau yang kami lewati. Namun tak berhasil. Paduan kecepatan, goyangan, dan fokus yang berpindah-pindah membuat hasil fotoku tak bagus.
Kapal biru besar yang ditumpangi Mbak Ika dan kawan-kawan tampak terapung-apung di tengah laut. Kami pun mendekat. Penyelamatan yang kurang menegangkan dan terlalu cepat, menurutku. Tak ada adegan seru sama sekali. Hanya menukar aki, dan kapal biru besar dapat menyala kembali.
Saat makan malam, kami kembali menikmati sotong goreng di tempat Bu Ester. Menjadi warung makan tereksis di Karimunjawa, di tempat Bu Ester, kami dapat mengamati bahwa banyak pengunjung di Karimunjawa. Tak seperti malam-malam sebelumnya. Malam itu Karimunjawa tampak ramai. Banyak orang lalu-lalang. Ini terkait dengan kedatangan Kapolda dan seluruh kompinya untuk upacara yang akan dilakukan besok pagi.
Benar-benar hari yang sibuk bagi Karimunjawa. Dan malam ini, aku, Dhira, dan Zen harus berkemas karena besok pagi Kapal Muria akan menjemput kami, kembali ke Jogja.
2 comments:
mengesankan bgt ceritanya. tapi saya mau tanya kalau bawa mobil ke sana kira-kira kondisi jalan-jalan di sana memadai apa tidak ya ?
pak widhi
@ Pak Widhi, Bandungan
Terakhir kali ke sana, tahun 2007, jalanannya sudah bagus, sangat memadai untuk mobil. Hanya saja, tempat pengisian BBM sepertinya hanya ada di Karimun Jawa (bukan Kemojan). :)
Mestinya sih sekarang sudah jauh lebih bagus lagi karena sudah jadi tempat wisata populer. Waktu saya ke Karimun Jawa, belum sepopuler saat ini.
Post a Comment