Pages

Friday, October 21, 2016

Cara Bodon dan Hilangnya Logika Berpikir


Beberapa waktu yang lalu, di timeline FB muncul sebuah seri foto yang tampaknya cukup "inspiratif". Aku nilai inspiratif karena banyak dipuji dan di-share ulang. Seri foto ini adalah tentang "cara mengerjakan soal matematika dengan mudah". Bagaimana suatu soal diterobos dan dikerjakan hanya dengan "memindah-mindahkan angka".

Pada jamanku, cara pengerjaan seperti ini kerap disebut dengan "cara bodon", atau cara praktis. Atau potong kompas.



Tak ada yang salah dengan menggunakan cara-cara tersebut. Untuk menemukan suatu "cara bodon" bukanlah suatu hal yang mudah. Salut buat yang bisa. Aku pribadi hingga saat ini belum pernah menemukan cara-cara bodon hasil kreativitasku sendiri. Masalahnya adalah tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan potong kompas, sehingga logika dasar harus kuat terlebih dahulu.

Dulu kala, aku pernah menyangsikan fungsi kita belajar matematika. Apa perlunya dalam hidupku apabila nanti aku menjadi penulis? Atau menjadi psikolog? Apa perlunya belajar matematika sekian lama ketika dalam hidupku tak ada satupun masalah yang dapat diselesaikan dengan rumus-rumus integral, limit, atau tangen-cotangen?

Jawaban aku temukan dalam salah satu buku Haruki Murakami. Intinya seperti ini: "Kita belajar matematika, seperti juga belajar bahasa, untuk belajar logikanya."

Walaupun matematika tidak secara langsung dapat diaplikasikan dalam hidup, namun matematika mengajarkan dan membiasakan kita untuk menggunakan logika dalam menyelesaikan masalah. Dengan menyelesaikan suatu masalah menggunakan jalur logika, jawaban dapat dipertanggungjawabkan. Paling tidak, kalaupun jawaban yang didapatkan itu salah, kesalahan dapat dilacak. Dan kemudian diperbaiki.

Tapi, keinstanan adalah sesuatu yang sangat menggoda.

Potong kompas atau cara bodon adalah salah satu bentuk keinstanan yang melemahkan alur logika. Sementara, logika yang lemah adalah bahaya. Dengan menggunakan cara instan ini, logika akan mudah roboh. Contohnya, dalam matematika tadi cara bodon atau potong kompas ini pasti memiliki banyak syarat: angka tidak boleh 0, tidak boleh ada pecahan, tidak boleh kurang dari 3 digit, dan sebagainya. Elemennya pun harus lengkap. Nah, pengubahan salah satu elemen yang melenceng dari syarat-syarat tadi akan merusak struktur cara potong kompas. Hasilnya, masalah tidak terselesaikan.

Solusinya? Cara bodon lain dikeluarkan, cara bodon yang khusus dibuat untuk menyelesaikan satu masalah tertentu tadi. Kacau, bukan?

Ketika alur logika dalam penyelesaian masalah tadi sudah tertanam di otak, maka perubahan elemen apapun dalam suatu komposisi masalah tidak akan terlalu mengganggu cara penyelesaiannya. Solusi akan didapatkan. Cara bodon hanya akan digunakan untuk menyingkat waktu dalam menyelesaikan soal-soal yang sudah jelas alurnya.

Ini kenapa dalam pengajaran matematika, aku kurang suka dengan cara bodon - walaupun memang belajar matematika itu seringkali menyiksa. Mengajar matematika haruslah diawali dengan logika yang tepat, meski panjang penjelasannya. Seorang pelajar haruslah paham dulu logikanya, sebelum dikenalkan pada cara bodon. Lebih baik lagi, pelajar itu yang menemukan cara bodonnya sendiri.

Di kehidupan nyata, pengabaian dari alur logika dengan menggunakan cara instan agaknya memang sulit untuk ditolak. Tapi, sama seperti cara bodon tadi, cara instan bisa jadi justru menyebabkan banyak masalah berujung pada masalah yang lebih besar. Kesalahan dalam alur logika tak dapat dilacak dan diperbaiki. Sesat pikir muncul di mana-mana.

Hasilnya? Pribadi yang suka "jump in to conclusion" dan yang tidak punya kebiasaan untuk check-and-recheck. Pribadi yang mudah potong kompas dan mengesampingkan logika.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...