Standar ganda... |
Di Semarang, selain berkeliling kuliner, tentu saja kami tidak melewatkan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata yang menarik, seperti... em, Sam Poo Kong?
Anyway, kali ini aku hanya ingin menulis tentang Sam Poo Kong. Atau tepatnya yang kami alami di Sam Poo Kong.
Hari pertama kami memang berencana ke kelenteng terkenal ini, entah kenapa. Yang aku jadikan alasan hanya praduga tak berdasar bahwa Hera belum pernah ke tempat ini.
Setelah berputar-putar dan bertanya arah tiga kali pada sopir-sopir di jalanan di bawah teriknya matahari Semarang, kami akhirnya menemukan lokasi Sam Poo Kong. Tapi kami tidak membuang banyak waktu di sini.
Ternyata sejak kunjunganku terakhir kali di tahun 2007, banyak yang sudah berubah di tempat ini. Pintu gerbang baru sedang di bangun di sisi timur (kayaknya).
Tapi perubahan yang sangat membuat kesal adalah berubahnya aturan kunjungan.
Kami masuk dengan membayar tiket masuk seharga Rp 3.000,-. Begitu masuk, kami menemui halaman conblock yang luas, dengan patung-patung yang diberi nama orang masa kini. Kalau menurutku sih mungkin itu nama penyumbangnya.
Pelataran ini tidak ada menariknya karena toh patungnya pun cuma sedikit. Lantas mau lihat apa? Yang ada hanya panas karena tidak ada tempat teduh sedikit pun. Mau foto-foto pun aneh rasanya karena tempatnya begitu kosong.
Kelenteng besar yang dulu sempat aku masuki terletak bersebelahan dengan pelataran dan kini dibatasi dengan kolam ikan dan sebuah gerbang besar. Alhasil, kami tidak dapat masuk ke dalam kelenteng dengan bebas.
Setelah membuang waktu sekitar lima menit di pelataran panas itu, kami pun mencari bagaimana caranya bisa masuk ke kelenteng - karena dari keseluruhan tempat itu yang menarik ya cuma kelentengnya.
Kalau cuma mau ke pelataran conblock, kami tidak harus jauh-jauh ke Sam Poo Kong.
Tapi, ternyata oh ternyata... ada papan pemberitahuan yang bertuliskan bahwa yang boleh masuk ke kelenteng hanya mereka yang berkepentingan untuk berdoa.
Oke, kami mengerti.
Tapi lalu tak jauh dari papan pemberitahuan itu, ada ticket box yang menjual tiket masuk ke kelenteng dengan harga Rp 20.000,- per orang. Uuuh, apa pula ini? Atau kalau tidak, kami disarankan membeli dupa untuk masuk, berpura-pura berdoa. Kami tidak menjawab.
Lalu ada serombongan turis yang masuk dengan gratis, hanya karena mereka mau berfoto di kelenteng dengan menyewa pakaian tradisional yang telah disediakan.
Ini aneh sekali. Dan akhirnya kami memilih untuk pulang tanpa masuk ke kelentengnya karena kesal hingga ubun-ubun. Kami merasa ditipu di hawa yang super panas.
Pertama, kalau memang harganya segitu, tidak perlulah menjebak orang untuk membayar Rp 3.000,- hanya untuk melihat conblock. Sekalian saja dari awal diberi harga yang cukup untuk meliputi seluruh kompleks dan harga itu dinyatakan sebagai harga resmi. Ini bukan masalah uangnya, tapi inilah yang membuat kunjungan Sam Poo Kong terasa seperti penipuan. Karena yang katanya Rp 3.000,- ternyata Rp 23.000,-.
Dan kejadian seperti ini terasa super konyol, apa pun alasannya.
Kedua, kami tidak akan masalah kalau memang kelenteng itu tidak boleh dimasuki orang selain mereka yang berdoa. Kami sadar itu adalah rumah ibadah dan sangat boleh bagi umatnya untuk menggunakannya hanya sebatas rumah ibadah. Tapi mbok ya jangan lantas di sebelahnya diberi harga tiket masuk untuk turis. Atau jangan membolehkan mereka yang ingin berfoto-foto masuk hanya karena sudah menyewa baju.
Atau kalau memang mau diberi harga tiket, tidak perlulah ada larangan masuk bagi mereka yang tidak berdoa (yang jelas juga maksudnya turis).
Sekali lagi, bukan masalah uangnya. Ini seperti standar ganda yang super aneh.
Ketiga, kalau memang tidak bisa dikunjungi, atau hanya mengunjungi conblock, sebaiknya Pemerintah Semarang jangan menjadikan tempat itu sebagai tempat wisata unggulan dong... Jangan dimasukkan di dalam brosur-brosur pariwisata dan diletakkan di TIC karena akan menjebak wisatawan-wisatawan seperti kami.
Waktu kami keluar, tampak di belakang kami ada beberapa wisatawan yang juga keluar tanpa masuk ke Kelenteng. Mereka juga cuma menghabiskan waktu tak sampai 10 menit di Sam Poo Kong. Lalu di pelataran parkir ada dua buah mobil tur yang baru saja berhenti, berisi penuh.
Yeah, mungkin mereka juga akan tertipu.
Uang memang sebenarnya bukan masalah besar. Tapi kalau berurusan dengan wisata, sering kali justru yang bermasalah adalah waktu, karena waktu wisatawan itu terbatas.
Seperti penyesalan yang kami rasakan setelah membuang waktu untuk menuju ke Sam Poo Kong, marah-marah ke Satpam (yang sebenarnya tidak ada gunanya juga), lalu kembali lagi ke daerah Simpang Lima.
Ataukah ekspektasi kami yang terlalu berlebihan?
No comments:
Post a Comment