Pages

Friday, May 4, 2012

Semarang Day One: Girls Day Out Edisi Kuliner


Rute Jogja-Semarang adalah rute yang padat. Karena itu, dalam urusan angkutan umum, perjalanan ke sana bisa dikatakan cukup mudah. Selain bis, ada banyak shuttle yang bolak-balik Jogja-Semarang. Salah satunya adalah Joglosemar, bis warna-warni (kata Hera!) yang kami pilih untuk perjalanan ke Semarang.

Bis ini memiliki banyak jam keberangkatan, kayanya malah hampir setiap jam. Jadi, back-up plan-nya gampang. Meski kalau pas akhir dan awal minggu, biasanya mereka penuh, jadi harus pesan beberapa hari sebelumnya. Harganya pun cukup terjangkau, Rp 45.000 - Rp 50.000 per kursi.

Yeay, girls day out! Siap menuju Semarang!



Soto Ayam Pak Man
Jl. Tri Lomba Juang no 20, Semarang
 


Soto sebelum diberi lauk tambahan

Sesampainya di Semarang, tentu saja kami kelaparan dan yang terbayang di pikiranku adalah soto. Soto Semarang, lengkap dengan perkedel dan sate kerangnya.

Atas saran Pak Dhe dan Bu Dhe, kami pun makan di soto ayam Pak Man. Soto ini dihidangkan dalam mangkuk-mangkuk kecil, seperti yang aku temui di Soto Bangkong, dan disajikan 'kosong'. Maksudku, hanya soto kuah, sayuran, nasi, dan ayam suwir.

Untuk 'lauk'-nya, warung ini menyediakan sepiring aneka gorengan (tahu bakso, perkedel, dll) dan sebaskom aneka sate (kerang, telur, dll). Yap, pakai baskom.

Bagiku, soto ini ketika dicicipi tanpa menambahkan apapun terasa agak hambar. Tapi tips dari Bu Dhe cukup berguna.

"Kuah satenya ditambahin ke soto, biar terasa lebih enak," ujarnya.

Trik ini berhasil. Aku pun melahap soto + sate telor puyuh + perkedel dengan lahap. Sarapan pagi yang tepat!


Toko Oen
Jl. Pemuda 52, Semarang


Lupa nama rotinya...

Lagi-lagi kami mampir ke Toko Oen. Tak banyak yang berubah sejak kunjunganku sebelumnya. Beberapa funitur dipindah tempatnya, foto-foto lama dipajang di ruang bagian depan, dan harga sepertinya telah naik.

Rasanya? Masih sama.

Yang aku justru baru tau, ternyata Toko Oen itu pertama kali didirikan di Jogja pada tahun 1922. Baru kemudian membuka cabang di Semarang pada tahun 1937 (atau 1936?) dan lalu Malang. Meski kemudian yang di Jogja entah di tahun berapa tutup, entah karena apa juga.

Berkat peta yang kubawa, aku juga mendapat 'penampakan' kenapa jaman itu para pendiri toko Oen memilih untuk mendirikannya di Jl. Pemuda, atau yang pada masa kolonial dinamakan Jl. Bodjong. 


Meski kini Jl. Pemuda tampak semrawut dan padat, dulu jalan ini merupakan jalan yang lebar dan bersih, dengan jajaran pohon asam, toko-toko, dan vila-vila mewah di pinggirnya. Bahkan, seorang penulis Belanda (entah siapa namanya) menyebutnya sebagai jalan paling fashionable di Jawa, atau 'Champe Elysee'-nya Pulau Jawa.

Yeah.

Anyway, selain menyediakan es krim-es krim kuno, toko ini juga menyediakan roti-roti dan biskuit-biskuit a la Belanda, serta makanan besar lainnya bagi mereka yang merencanakan 'makan' ketika ke tempat ini. Yummy!

Hanya saja, ada satu hal yang perlu diwaspadai kalau makan di sini...

 
Monster Es Krim Oen... :-S

Mie Kopyok Pak Dhuwur
Jl. Tanjung, Semarang

 
Enak!

Makan siang kami tertunda sedikit, namun menyenangkan karena Diaz mengajak kami ke salah satu warung tenda yang sepertinya cukup terkenal. Aku belum pernah makan mie kopyok, karenanya cukup semangat juga waktu Diaz menawarkan pilihan itu.

Waktu kami datang sudah lewat jam makan, tapi jajaran motor dan mobil masih parkir di halaman parkirnya (yang cuma kecil). Untung kami menemukan satu meja kosong.

Mie kopyok ini ternyata berisi mie, lontong, tahu, taoge, karak, dan kuah. Ringan. Tentang rasa, menurutku rasa mie kopyok ini enak, tapi bumbunya kurang 'nendang'. Mungkin kalau menambahkan sambal seperti yang dilakukan Hera, rasanya akan lebih kuat. Tapi sayang, aku tidak suka pedas.

Di warung mie kopyok ini, Diaz menyarankan membeli es panekuk dari warung tenda di seberangnya. Kami mengikuti sarannya, dan kami menyukainya. Es panekuk itu berisi es krim (atau es grim, kata Mas Iwan), panekuk yang terasa asin, dan agar-agar hijau.


Es Panekuk seberang jalan


Babat Gongso Pak Pri
Jl. Ahmad Dahlan, Semarang


Kurang meyakinkan? Memang kenyataannya begitu

Malamnya, setelah hujan reda dan Om Bambang selesai berceloteh pada Hera, kami segera bergerak ke arah Stadion Diponegoro untuk mencicipi babat gongso. Kami mendapat rekomendasinya dari internet.

Warung tendanya kecil, hanya dengan dua meja panjang. Agak meragukanku.

Dan benar. Babat gongso yang aku pesan rasanya biasa saja. Kurang gurih, kurang asin, kurang manis (kuahnya), dan babatnya pun terasa agak hambar, seperti bumbunya tidak meresap. Yang bisa kami lakukan hanya menambahkan garam (cukup membantu meningkatkan rasanya).

Tapi entah kenapa, belum ada pukul sembilan malam, dagangan babat mereka sudah habis. Kami pun batal membawakan oleh-oleh babat gongso 'terenak' se-Semarang untuk Pak Dhe dan Bu Dhe.

2 comments:

Armansyah said...

hi indie ! seneng deh baca blog nya! saya nyasar kemari waktu lagi searching tentang pematang siantar, tulisan kamu membantu banget, terutama tentang no telepon paradep taxi, saya bingung soalnya dari medan ke siantar mau naik apaan, hehehe~ keep posting dan salam kenaal~!!

simply shoot and share ! :)

#kamera-kecil

bulb-mode said...

@ Armansyah:
Wah...akhirnya berguna juga blognya... :) Seneng kalo bisa bantu 'mempermudah' trip... kemarin waktu mau ke Medan - Siantar memang agak sulit cari informasi, untung ada saudara di sana. Makanya infonya coba aku dokumentasiin biar bisa dipakai orang lain juga... :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...