Di suatu pagi yang cerah beberapa bulan yang lalu, aku memulai hariku dengan penuh semangat berpetualang. Tidak perlu mendaki gunung berkabut atau menyelam di lautan bergelombang.
Hari itu, aku dan beberapa temanku hanya akan mengitari Jogja - atau sebagian kecil dari Jogja - dengan bis.
Kami memilih bis kota jalur 15. Konon katanya, jalur ini memiliki trayek terpanjang di Jogja.
Hari itu, aku dan beberapa temanku hanya akan mengitari Jogja - atau sebagian kecil dari Jogja - dengan bis.
Kami memilih bis kota jalur 15. Konon katanya, jalur ini memiliki trayek terpanjang di Jogja.
Perjalanan dimulai dari Terminal Giwangan ketika bis masih dalam keadaan kosong. Hanya ada dua-tiga penumpang selain kami. Aku dan kedua temanku memilih duduk di barisan belakang. Tempat duduk dengan angin dari berbagai arah. Pintu belakang, pintu depan, dan jendela-jendela.
Ingat pelajaran moral tentang 'memberikan tempat duduk pada orang yang tua di dalam bis'?
Nah, saat itu, aku berniat mulia. Aku berniat untuk memberikan tempat dudukku bila ada orang tua yang harus berdiri berdesak-desakan. Toh, pasti saat itu aku sudah capai duduk.
Kami pun melakukan perjalanan yang penuh tawa. Aku mengobrol, tertawa-tawa, bercanda, bergosip, bergunjing, mengejek, diejek, sambil menunggu datangnya orang tua yang akan aku tawari tempat duduk.
Hari itu jiwaku sepertinya sedang ingin bertindak seperti pramuka sejati.
Satu jam berlalu. Dua jam. Dan tiba-tiba perjalanan kami sampai pada saat jam sibuk. Penumpang berjubal-jubal masuk. Bis menjadi amat sangat penuh. Beberapa penumpang bergelantungan di pintu.
Angin yang tadinya masuk dengan kencangnya, berkurang drastis. Terlalu banyak orang yang berdiri di antara kami dan pintu penyuplai angin terkencang.
Panas. Sesak. Dan angin yang sampai ke kami membawa aroma yang tercampur-aduk.
Lalu tampaklah seorang nenek tua renta yang gendoyotan berusaha berdiri di antara desakan penumpang. Bergoyang-goyang berusaha menjaga keseimbangan, mengikuti gerakan bis.
"Mbak, katanya tadi mau berkorban tempat duduk. Tuh, ada nenek-nenek kasihan," kata temanku mengingatkanku. Lalu tertawa.
Ya-ya-ya... aku juga melihatnya.
Otakku mulai bernegosiasi dengan hatiku. Menimbang-nimbang antara niat mulia dengan usaha yang harus dilakukan:
Berdiri - menyeruak keluar dari barisan tempat duduk ke barisan penumpang yang berdiri - berjubel - memanggil nenek tersebut sambil menjaga agar tempat duduk tetap kosong - mempersilakan nenek tadi duduk - berjubel lagi - membuka jalan di antara penumpang untuk nenek renta itu.
Semua dilakukan dalam kondisi bis penuh sesak dan terus melaju. Sepertinya berat padahal mungkin saja nenek tadi turun di dua-tiga pemberhentian di depan.
Hm... aku berpikir sekali lagi.
Ah, sudahlah... aku tunda keinginanku tadi. Aku akan memberikan tempat dudukku pada nenek atau kakek yang kehabisan tempat duduk nanti saja, saat bis sudah lebih kosong.
Hikmah yang aku dapat dari perjalanan ini adalah:
1. Jangan terlalu banyak berpikir saat ingin menolong orang, atau bisa saja justru pikiranmu ini yang menjadi penghalang antara kebaikanmu dengan orang yang akan ditolong. Yup, melompatlah saja.
2. Tak perlu bercerita pada orang lain saat ingin menolong seseorang. Bila tidak jadi menolong, ketiadaan saksi akan jauh lebih baik untuk harga diri kita. :p
4 comments:
biar tujuan menolong tetap tercapai kenapa gak ngasih tempat ke orangtua yang lebih dekat aja? yang penting tetep menolong :D
phery:
Lha yang deket lebih banyak anak SMP&SMAnya... kan jd nggak 'masuk' kriteria niat mulia... :p
Biasanya tertulis "berikan tempat duduk untuk wanita dan orang lanjut usia"...jadi, km termasuk orang pada peringkat pertama yg harus ditolong :p
bis kota di jogja kadang memang suck..body yang udah gak layak jalan, penumpang yang berjubel, belum lagi rawan pencopetan. Tapi dulu jaman kuliah aku beberapa kali melakukan 'litte adveture' dengan naik jalur bis hanya untuk iseng, salah satunya jalur 15. jadi kangen jogja..
Post a Comment