Cerita legenda, bila diceritakan dengan bahasa yang tidak pas, bisa menjadi amat membosankan. Aku tahu itu. Seperti kisah-kisah pewayangan yang kerap dipentaskan dalam bahasa Jawa yang kurang aku mengerti.
Karenanya aku sedikit was-was saat pertama kali membaca novel karya Sindhunata ini. Walau novel ini telah direkomendasikan oleh banyak orang, tetap saja aku masih meragukan 'kenyamanan' dalam membacanya. Tapi kekhawatiranku ternyata tidak beralasan. Sindhunata yang juga biarawan itu mengemas alur cerita pewayangan sedemikan rupa hingga mirip novel fiksi ber-genre fantasi pada umumnya. Benar-benar mengalir dengan bahasa yang lebih puitis.
Karenanya aku sedikit was-was saat pertama kali membaca novel karya Sindhunata ini. Walau novel ini telah direkomendasikan oleh banyak orang, tetap saja aku masih meragukan 'kenyamanan' dalam membacanya. Tapi kekhawatiranku ternyata tidak beralasan. Sindhunata yang juga biarawan itu mengemas alur cerita pewayangan sedemikan rupa hingga mirip novel fiksi ber-genre fantasi pada umumnya. Benar-benar mengalir dengan bahasa yang lebih puitis.
Anak Bajang Menggiring Angin berhasil membantu sebuah penciptaan visual yang amat membekas di alam pikiranku. Settingnya, alurnya, karakternya, intriknya. Semua lebur dalam bahasa yang indah.
Imajinasiku saat membacanya tak kalah bila harus dibandingkan dengan visualisasi novel Lord of the Ring.
Diterbitkan pertama kali di tahun 1983, novel ini mengangkat kisah klasik Ramayana menjadi sebuah cerita yang indah. Melaluinya, aku jadi lebih tertarik pada kisah-kisah pewayangan. Walau bukan berasal dari Indonesia, tapi paling tidak kisah ini dekat dengan budaya Indonesia. Terutama Jawa.
Kebanyakan orang pasti telah mengerti tentang kisah Ramayana. Paling tidak, pernah mendengarnya. Aku pun sudah mengenal legenda Rama dan Sinta sejak duduk di Sekolah Dasar. Namun aku tidak pernah begitu memperhatikan detailnya.
Lagi-lagi, melalui novel Anak Bajang Menggiring Angin ini, aku jadi lebih tertarik mengenal karakter-karakter lain selain Rama dan Sinta itu sendiri. Aku berkenalan dengan Hanoman, monyet gagah yang pemberani, dan paman-pamannya. Kemudian ibu Hanoman beserta cupu manik astagina-nya. Lalu aku berkenalan pula dengan Wibisana dan putrinya. Aku juga berkenalan dengan Laksmana yang ketampanannya tak kalah dari Rama.
Tak perlu aku ceritakan isinya, karena novel ini memang mengangkat legenda Rama dan Sinta. Isinya sama. Hanya saja, semua disampaikan dengan apik. Tidak membosankan, walaupun banyak sekali nama-nama tokoh yang terdengar asing dan mirip, tapi harus diingat. Seperti SUbali dan Sugriwa. Mana yang jahat, hayo?
Meski aku tak suka dengan akhir dimana Rama menuntut Sinta membuktikan kesuciannya, novel ini berhasil menyuguhkan tafsiran Ramayana yang berbeda. Sindhunata menciptakan tokoh Rama yang tidak sempurna. Rama yang gampang goyah. Rama yang terkadang egois. Justru, dalam novel ini, Hanoman-lah yang menjadi tokoh utamanya.
Anak Bajang Menggiring Angin, menggiring aku ke dunia pewayangan. Membaca novel ini, membuatku semakin tertarik pada kisah-kisah pewayangan lainnya. Hm... asal tidak diceritakan dalam bahasa yang di luar jangkauanku.
4 comments:
buku yang menarik.. aku baca buku itu 3 tahun yang lalu, pinjem dari temenku, dan... aku lupa balikin bukunya. parahnya temenku tuh sekarang nggak tau ada di mana.. hehehe...
dhiraestria dyah:
Wah... trus aku harus berpikir berapa kali ya kalau kamu mo pinjem buku, Dhir? :p Ato pakai perjanjian bermaterai?
yaahh manarik...aku baca mpe 2 kali hehe...coba baca antareja dan antasena punyanya pitoyo amrih...banyak yg harus di kotemplasikan...mmm..
tole:
Pinjem duuunks... :D
Post a Comment