Pages

Friday, February 1, 2008

Ram-Ram Penghias Halte Trans-Jogja

Saudara-Saudara,

mari kita sambut bis Trans-Jogja. Bis megah nan bersih yang akan melayani warga Jogja dalam mobilitas sehari-hari. Bis yang tukang cucinya mendapat gaji satu juta rupiah per bulan*. Cukup tinggi untuk ukuran Jogja, jadi semestinya bis ini memang bis istimewa.

Bis yang akan diluncurkan secara resmi pada tanggal 21 Februari 2008.

Kalau jadi.

Kalau tidak mundur lagi.

-o0o-

Bis Trans-Jogja, semenjak perencanaannya, memang telah menjadi fenomena tersendiri. Mulai dari ketakutan para sopir bis yang kehilangan pelanggannya. Ketakutan pengguna jalan yang akan terampas satu lajurnya. Hingga pembangunan beberapa haltenya yang harus diulang. Pembangunan yang cukup kontroversial dan sembarangan karena tidak memperhatikan tata kota.

Ingat kasus pembangunan halte yang dekat dengan tikungan? Aih!

Ada lagi fenomena peluncurannya yang terus saja mundur. Awalnya direncanakan kwartal keempat tahun 2007. Lalu Desember 2007. Kemudian Januari 2008. Dan terakhir 21 Februari 2008. Yah, kita lihat saja nanti.

Tapi, siang kemarin, terungkap kehebohan baru dari halte-halte bis Trans-Jogja ini. Berkaitan dengan fasilitas yang disediakan bagi para difabel. Bangunan fisik halte-halte ini memang bagus. Berwarna solid, bersih, tidak kusam (belum, mungkin!), minimalis, dan berkesan modern.

Nilai lebih tampak dari tersedianya tangga khusus bagi pengguna kursi roda (ram). Hebat! Pengelola Trans-Jogja rupanya bermoral tinggi. Mereka memperhatikan kepentingan para difabel pengguna kursi roda.

Tapi, tunggu dulu. Apa itu? Sebuah tiang listrik tepat di ujung ram? Apa maksudnya? Tentu saja pengguna kursi roda tak akan bisa menggunakan ram yang ujungnya terhalang tiang listrik, bukan? Tragis.

Lalu halte lainnya? Ternyata tak hanya ram di sebuah halte yang bermasalah. Tapi banyak. Mulai dari ram yang terhalang taman, terhalang pagar, terhalang tiang bendera, sampai ram yang terlalu curam. Argh!

"Iya, Mbak, masa kecuraman ram ada yang sampai 45 derajat," ungkap Slamet, temanku yang seorang difabel.

Hanya melihatnya pun bisa membuatku cukup kesal. Apa lagi para difabel yang seakan-akan diberi harapan semu itu. Mana mungkin mereka bisa menggunakan ram-ram yang hanya dibangun separuh hati seperti itu.

Memangnya, apa yang dipikirkan oleh para pengelolanya?

Selain pemborosan - karena bila harus membongkar berarti biaya akan membengkak - pembangunan halte-halte ini aku lihat memang kurang terencana dengan baik. Seperti tidak mengindahkan tata kota atau memperhatikan fasilitas difabel itu.

Masa membangun ram yang tak mungkin bisa dipakai? Ampun. Lalu apa fungsinya? Sekedar asesoris suatu bangunan?

Benar-benar-benar bodoh.


*aku mendengarnya di sebuah stasiun radio beberapa hari yang lalu.

(foto: Slamet Tohari; PS)

2 comments:

Anonymous said...

Kinda sad....
mbok ya kalau bikin ram itu, coro bodhone ki koyo nek naik gunung, kenapa dibikin berliku dan kecuramannya tidak dibuat tajam? Pati ada alasannya khan. Lalu, orang yang mbangun tu ya hendaknya pakai sedikit rasio, ukuran kursi roda ki sepiro, kiro-kiro iso akses naik ram safely atau tidak, diskusikan dengan atasan, atau, budaya nggah-nggih saja masih wajib, jadi yang salah jadi kedowo-dowo.
Maaf ikut-ikutan mangkel....

bulb-mode said...

Ya mungkin ram-nya itu dikira pemborongnya (?) atau siapapun yang bertanggung jawab atas pembangunannya, cuma sebatas penghias kali ya?
Parah banget d...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...