"Ada hutan pinus di dekat Ketep," ujar temanku, dulu.
Ya. Hutan pinus yang letaknya tak jauh dari tempat KKN dia. Dia berjanji akan mengajakku ke sana suatu saat.
Dan suatu saat itu adalah kemarin.
Ya. Hutan pinus yang letaknya tak jauh dari tempat KKN dia. Dia berjanji akan mengajakku ke sana suatu saat.
Dan suatu saat itu adalah kemarin.
Perburuan hutan pinus impulsif yang muncul di tengah-tengah santap siang Soto Betawi segera saja membawaku ke perjalanan menuju Ketep. Tentu saja setelah menyempatkan pulang sebentar ke rumah untuk mengambil jaket dan kamera. Dan berganti sandal.
Tak lebih dari 5 menit, kami sudah berada kembali di jalanan menuju Ketep.
"Jam lima, kita sudah sampai lagi di Jogja," janjinya.
Baiklah. Berarti total sekitar empat jam perjalanan.
Sebenarnya aku tak ada kegiatan sore itu, tapi aku hanya ingin tahu rencana perjalanan singkat kami. Mendung yang menggantung memang agak membuatku khawatir.
Tidak memilih jalan raya, kami pun mengikuti kelak-kelok jalan alternatif menuju jembatan Krasak. Walau lebih lama, tapi jalanan ini menawarkan pemandangan yang jauh lebih indah. Dan udara yang juga jauh lebih bersih. Segar.
Petak-petak sawah, kali-kali kecil, perkebunan salak, hingga tanah-tanah kosong kami lewati dengan cepat. Perjalanan ke Ketep sendiri memakan waktu sekitar 1,5 jam.
Hujan yang turun di tengah perjalanan tidak terlalu mengganggu, walau ini menyebabkan udara semakin dingin. Jaket tipis yang kuraih dengan asal dari dalam lemari sepertinya bukan pilihan yang baik.
Masih seperti terakhir kali aku ke sana, Ketep Pass tidak berhasil menarikku untuk beristirahat sejenak di salah satu gubugnya. Sempat terpikir untuk menikmati segelas jahe hangat di tengah dinginnya udara pegunungan sore itu. Namun aku takut kabut dan matahari tak akan berkompromi dengan waktu kami.
Aku ingin memotret hutan pinus. Atau sekedar memotret bulir-bulir gerimis di ujung daunnya.
Kami pun terus melaju ke arah hutan pinus itu. Pemandangan dihiasi dengan kaki gunung yang penuh dengan pepohonan pinus. Kabut tipis merayap di antara batang-batangnya. Sementara puncak gunung tertutup kabut tebal. Putih keabu-abuan, seakan menyatu dengan lagit yang mendung.
Momen yang harus dihentikan sesaat. Disimpan dalam memori. Dan dibagi dengan tulisan. Maka kukeluarkan kameraku. Gunung, kabut, pinus, dan mendung. Lengkap. Kunyalakan kamera dan layar berkedip.
Astaga!
'No CF Card'...?!
Kameraku kosong, tanpa memory card!
Dasar bodoh. Memory card-ku tertinggal di kamar. Sepertinya masih menyatu dengan card reader itu. Darn!
Apa boleh buat. Terpaksa sore itu (berusaha) aku nikmati tanpa bisa membingkainya. Hutan-hutan pinus yang bersih. Kecil, namun rapi dan nyaman untuk difoto (seharusnya!). Hawanya, anginnya, gerimisnya. Terlebih aroma klembak menyan yang tercium di antara udara yang segar.
Kusempatkan saja mengantongi beberapa pine cones untuk aku bawa pulang.
Perjalanan pulang tak selama berangkatnya. Memang begitulah selalu. Warna langit di ujung barat mulai berubah sedikit oranye ketika kami sampai di jalan alternatif menuju Blabak. Dan walau sempat salah jalan beberapa kali, tapi rute sore itu amat menyenangkan. Sayang sekali tidak ada gambar yang bisa aku bawa pulang.
Ah. Bisakah tiga buah pine cones itu menjadi bukti atas kehadiranku di hutan itu, sore itu?
5 comments:
masih juga pelupa ya ndie
ga ilang2
makanya...dulu KKN jangan yg deket2:P
ogi:
Duh...Gi... itu bukan pelupa, tapi teledor... :( Ngeri kan? Teledor plus pelupa...
thea:
Lho... KKN deket jg membawa berkah yang berbeda, The... bisa sering-sering tilik rumah... :p
Ndie, makanya bealajar melukis.. Jadi kalo lupa bawa CF kan masih bisa digambar pemandangannya..
*Asal nggak lupa bawa pensil ma kertas aja ye.. hehehehe..*
dhiraestria dyah:
Bawa (celana) pensil dan kertas, maksudmu, Dhir? ;p
Post a Comment