Pages

Tuesday, January 29, 2008

Reog Ponorogo: Legenda vs Politik

Alkisah, Raja Kelono Sewandono, raja yang amat kuat dari Kerajaan Ponorogo, bersama Patih Bujangganom (Pujangga Anom) dan balatentaranya melakukan perjalanan ke Kerajaan Kediri. Perjalanan berat melalui hutan dan perbukitan ini dilakukan Raja Kelono Sewandono untuk menikah dengan Dewi Ragil Kuning, putri dari Kerajaan Kediri.

Namun, tak disangka, rombongan Raja Sewandono diserang oleh Singabarong, raja singa di Hutan Kediri (atau Alas Ponorogo?), beserta pasukannya. Tak hanya singa, dalam pasukan Singabarong juga terdapat burung-burung merak.

Tak dapat dielakkan. Pertempuran antara pasukan Raja Sewandono dan Singabarong terjadi. Merak-merak yang beterbangan, membantu pasukan Singabarong. Patih Bujanganom yang dibantu para warok menghabisi pasukan raja rimba.

Akhirnya, Raja Kelono Sewandono pun berhasil mengalahkan penyerangnya. Perjalanan ke Kerajaan Kediri dilanjutkan. Singabarong beserta pasukannya kini telah tunduk dan bergabung dengan pasukan Raja Kelono Sewandono.

Itulah salah satu dari lima versi kisah reog Ponorogo. Memiliki berbagai versi, reog memang telah menjadi salah satu aset kebudayaan Ponorogo. Reog asal Ponorogo ini bahkan telah dicatatkan hak cipta keseniannya dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Di Ponorogo sendiri, reog secara rutin dipentaskan untuk konsumsi publik. Setiap satu bulan sekali, tepat pada malam bulan purnama. Setelah pagelaran Festival Reog yang berlangsung sekitar satu minggu sebelum pergantian tahun Jawa, di bulan Januari 2008 ini reog kembali dipentaskan untuk yang kedua kalinya. Pertunjukan Malam Bulan Purnama yang didukung penuh oleh Djarum 76 malam itu menghadirkan kelompok reog dari Desa Kasugihan. Ya, desa-desa di Ponorogo kebanyakan memiliki kelompok reognya sendiri-sendiri.

Setelah tari-tarian tambahan dari beberapa sekolah lokal, acara reog baru benar-benar dimulai pada pukul 8 malam. Rangkaian tari reog ini memiliki dua tarian pembuka. Yang pertama adalah deretan penari wanita berpakaian pria. Pemimpinnya adalah dua penari laki-laki yang menjadi warok. Mereka berpakaian hitam dan magis. Kesemuanya tampak gagah dan garang, perpaduan judes dan galak. Tapi, selain warok, kenapa penarinya perempuan semua?

"Biasanya laki-laki. Mungkin karena kelompok ini kekurangan penari laki-laki saja," terang Mbak Erna.

Oh begitu...

Setelah para 'pria' berpakaian hitam yang menggambarkan sosok singa yang pemberani ini selesai beratraksi, muncul para penari perempuan dengan kuda kepang-nya. Dulu, para penari jaran kepang ini laki-laki semua, dan mereka berpakaian perempuan. Cantik-cantik.

"Kalau penari kuda kepang, dulunya para gemblak," tambahnya.


Semakin larut, irama melodi reog semakin meriah. Paduan nada pentatonis (slendro) dan diatonis (pelog) mengiringi gerakan-gerakan para penarinya. Terompet (salompret) menggema di antara perpaduan gendang, ketipung, ketuk-kenong, kempul, dan gong. Belum lagi teriakan-teriakan dari pemusiknya yang menciptakan suasana dinamis dan menggelora.

"Hok-ya... Hok-ya...!"

Lalu muncul Patih Bujanganom yang melompat-lompat, bergerak dengan lincah kian-kemari. Raja Kelono Sewandono ikut keluar sebelum dua Singabarong melakukan atraksinya. Topeng Singabarong dengan dadak merak ini beratnya mencapai 50-60 kg. Hebatnya, ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Tentu saja, selain latihan, sepertinya dibutuhkan kekuatan mistis untuk bisa melakukannya.

Warok adalah salah satu simbol kekuatan mistis dalam tarian itu. Warok sendiri berakar pada sebuah pemberontakan, pada masa Bra Kertabumi. Mereka adalah murid-murid Ki Ageng Kutu. Untuk mencapai kesempurnaan, mereka dilarang menjalin hubungan denga perempuan.

Nah, di sinilah muncul 'gemblak'. Mereka adalah para lelaki muda yang menjadi 'subsitusi' dari perempuan bagi para warok itu.

Selain kisah tentang Raja Kelono Sewandono tadi, disebut-sebut pula Ki Ageng Kutu sebagai pencipta reog. Semua erawal dari pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15.


Melihat pengaruh kuat dari istri rajanya yang berasal dari Cina, Ki Ageng Kutu resah. Rajanya menjadi korup dan pemerintahan amat dipengaruhi oleh pihak luar. Ia lalu mendirikan perguruan dan mengajar seni bela diri, kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan, yang kemudian menghasilkan para warok.

Ki Ageng Kutu pun menciptakan tarian reog yang merupakan 'sindiran' kepada Raja Bra Kertabumi. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal.

Di sini Singa Barong, raja hutan, menjadi simbol dari Bra Kertabumi. Bulu-bulu merak di atasnya yang menyerupai kipas raksasa menyimbolkan pengaruh kuat istrinya yang mengatur segala gerak-geriknya.

Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang kontras dengan kekuatan warok. Sedangkan Bujanganom yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu.

Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Bra Kertabumi menyerang perguruannya. Pemberontakan warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang melanjutkan pengajaran warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam, dan reog yang sudah terlanjur menjadi kesenian populer tetap dimainkan. Namun dengan cerita yang diperbaharui, dengan munculnya Kelana Sewandono hingga Dewi Ragil Kuning.

Selain di acara-acara resmi seperti itu, reog sering pula dijadikan hiburan saat ada hajatan. Entah pernikahan, sunatan, atau hajatan lain. Bahkan sebuah pameran buku di Jogja beberapa waktu lalu dibuka dengan atraksi reog Ponorogo.

-o0o-

"Kalau Ponorogo sendiri, asal namanya dari mana, Ndie?" tanya temanku sepulang dari acara pentas reog.

Hm... pono itu kuat, dan rogo itu raga. Artinya raga yang kuat, atau kekuatan raga. Hihihi...! *ngawur*

4 comments:

Anonymous said...

ceritanya itu ada unsur sejarah e ga sih ndie ?

bulb-mode said...

ogi:
Ada... yang Majapahit itu sejarah, Gi. Kalau yang satunya itu legenda. Nggak tau sejarahnya ada beneran nggak... :p Kalo yang 'Ponorogo' itu bo'ongan... :D

Ayah Rachel said...

Pernah baca di intisari jaman dulu, katanya reog itu diciptakan untuk menyindir penjajah yang menguasai perkebunan. Bentuk reog yang menyerupai singa terinspirasi simbol kerajaan penjajah (inggris atau belanda, ya?) karena hewan singa kan gak ada di indonesia.

Tapi gak tau jugalah, maklumlah cuma ingatan dari jaman gemar membaca 20 tahun yang lalu :P

bulb-mode said...

ayah rachel:
Iya ya? Hm... aku malah belum pernah denger yang itu. Tapi mungkin aja. Katanya lagi, singa barong reog di Ponorogo dulunya emang nggak pakai kepala singa, tapi pakai kepala harimau. Asli. Hiiiiy...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...