Tahun ini lebarannya berbeda. Ya, selain karena ada Mr. A, di tahun ini aku kehilangan dua eyang pada waktu yang berdekatan. Efeknya apa? Jalur mudik berubah.
Satu-satunya eyang yang masih ada sekarang tinggal di rumahku. Alhasil, rumahku justru menjadi rujukan mudik semua keluarga dari Papa. Kunjungan ke Magelang pun sebatas nyekar.
Di sisi lain, aku juga memulai ritual baruku: mudik ke Surabaya. Ke keluarganya Mr. A.
Satu-satunya eyang yang masih ada sekarang tinggal di rumahku. Alhasil, rumahku justru menjadi rujukan mudik semua keluarga dari Papa. Kunjungan ke Magelang pun sebatas nyekar.
Di sisi lain, aku juga memulai ritual baruku: mudik ke Surabaya. Ke keluarganya Mr. A.
Sudah sejak lama aku merasa bahwa ada sesuatau yang berbeda di Surabaya. Walaupun tetap saja sebuah kota besar, tapi aku tidak membencinya. Walau panasnya berada beberapa level di atas Semarang, aku juga tidak terlalu mempermasalahkannya.
Mungkin karena waktu kunjungku ke sana paling lama hanya tiga-empat hari, jadi bisa dikatakan belum mengalami Surabaya yang sebenar-benarnya.
Begitulah. Lebaran kemarin aku ke Surabaya dengan perasaan riang. Menikmati buka puasa terakhir di Elmi, sholat ied di masjid dekat rumah Mr. A, makan siang keluarga besar di daerah Komering (kalau tidak salah ingat), beli batik di Madura, dan makan malam sebelum perjalanan pulang ke Jogja di Sushi-Tei, Galaxy Mall.
Tentu saja. Aku sudah membayangkan makan di Sushi-Tei sejak kami merencanakan mudik ke Surabaya.
Di antara kegiatanku itu, aku lebih banyak menghabiskan waktuku di kamar. Entah membaca, entah tertidur, entah ngadem. Ya karena hawanya memang luar biasa panas.
Tapi ada satu hal yang aku suka dari Surabaya di kala lebaran. Jalanannya sepi. Tanpa macet, tanpa antri. Lengang dan menyenangkan. :)
No comments:
Post a Comment