Pages

Tuesday, December 27, 2011

Praktisnya Gudeg Kaleng


Gudeg Kaleng!

Pertama kali mendengar Gudeg Kaleng, pikiranku langsung berkelana terlalu jauh. Bagiku, gudeg di dalam kaleng itu absurd. Aku membayangkan tuna atau sarden kalengan, tapi tuna atau sardennya diganti dengan gudeg.

Entah kenapa, visualisasinya justru menjadi kacau. Belum lagi konon katanya gudeg ini bisa bertahan satu tahun!

Bayangan rasa 'kaleng' yang mengendap selama satu tahun di dalam gudeg tersebut muncul perlahan. Selain itu, sekaleng penuh gudeg bagiku bukanlah makanan yang menggiurkan. Gudeg baru terasa lengkap kalau ada areh, telur, ayam, dan kreceknya. 

Jadi, bukan hanya gudeg sendirian.

Aku pun meliput Gudeg Kaleng dengan perasaan absurd, meski berhasil aku lepaskan (berkat pengalaman eggroll ubi ungu). Jujur saja, nama besar Bu Tjitro membuatku yakin bahwa Gudeg Kaleng ini bukanlah sekedar lelucon kuliner.

Sesampainya di Bu Tjitro, bayanganku tentang Gudeg Kaleng a la bronx langsung menguap. Kemasannya yang rapi dan praktis, serta desain label kaleng yang manis membuatku langsung berpendapat bahwa makanan ini 'aman', baik dari rasa dan kesehatan.

Salah satu hal terpenting adalah bahwa rupanya Gudeg Kaleng ini tidak hanya berisi gudeg. Di dalamnya, selain gudeg itu sendiri, terdapat areh, satu butir telur bebek, ayam suwir, dan krecek. Cukup lengkap meski tanpa tempe. Alasannya, tempe tidak dapat dihilangkan bakterinya karena dalam raginya terdapat bakteri.

Lengkap!
Perjalanan Gudeg Kaleng ini pun bukan sekedar coba-coba. Ibu Jatu selaku pemilik Gudeg Bu Tjitro menjelaskan bahwa sebelum meluncurkan produk ini, mereka telah melakukan penelitian intensif selama lebih dari dua tahun. Sebelum dilepas ke pasar, produk juga harus dikarantina selama dua minggu untuk melihat kalau-kalau ada tanda kegagalan.

Bekerjasama dengan LIPI di Gunung Kidul, DIY, Ibu Jatu terus berusaha menyajikan gudeg yang sempurna dari rasa dalam kemasan kaleng dan tahan lama, yaitu tahan hingga SATU TAHUN!

"Agar dapat dikirim ke tempat yang jauh dan praktis bisa ditemukan di mana saja," ujar Ibu Jatu.

Tidak ada bahan pengawet di sini. Metode pengawetan yang digunakan adalah metode vakum untuk membunuh bakteri sebelum dan saat proses pengalengan. Aku tidak akan menjelaskan metodenya di sini, karena aku pun tidak begitu mengerti.

Akan tetapi, sepertinya itu berhasil.

Masuk ke rasa, hari itu aku diminta mencicipi rasanya. Dengan klaim 'tidak berbeda rasa aslinya', Ibu Jatu menyediakan dua porsi gudeg untuk dibandingkan. Yang satu gudeg kaleng yang sudah dipanaskan, dan yang satu gudeg asli mereka.

Aku pun menyantapnya dengan agak rakus. Tiap-tiap elemennya aku bandingkan. Gudeg, telur, krecek, hingga ayamnya. Dan hasilnya? Mirip sekali!

Yang berbeda hanya di tekstur, bukan di rasa. Seperti gudeg yang terasa lebih kering, telur lebih 'gempi', dan krecek lebih lembut - dibandingkan aslinya.

Perihal kemiripan rasa ini sendiri rupanya bukan hal yang sederhana. Ibu Jatu mengakui bahwa mereka harus bolak-balik mengubah resep agar ketika melalui proses pengalengan, tetap bisa menghasilkan rasa yang mirip.

"Terutama bumbunya harus ditambah, Mbak, karena proses pengalengan cenderung 'menurunkan' rasanya," ujar Ibu Jatu.

Begitu pula proses pencarian kaleng yang memakan waktu bulanan. Rupanya, mencari kaleng yang praktis seperti keinginan Ibu Jatu itu tidak sesederhana yang kukira. Prosesnya tidak hanya sekedar googling di internet dan mengangkat telepon untuk memesan.

Tapi kepraktisan ini rupanya tidak dapat ditawar. Ibu Jatu ingin menyediakan gudeg yang praktis, terlepas dari sulit dan ribetnya memasak gudeg biasa. Dengan Gudeg Kaleng, pembeli hanya tinggal memanaskannya sebelum disajikan.

Namun sebelum dipanaskan, gudeg sebaiknya dikeluarkan dari kalengnya terlebih dahulu. Untuk memanaskannya pun cukup fleksibel, bisa menggunakan wajan seperti menumis (tapi tanpa minyak!), dengan microwave, atau bisa juga dikukus. 

Anyway, setelah meliput dan mendengarkan kisah Ibu Jatu, aku pun berkesimpulan bahwa Gudeg Kaleng Bu Tjitro ini patut diacungi jempol. Ya dari rasa, ya dari inovasi.

Oh iya, buat yang tertarik mencicipinya, bisa langsung ke Gudeg Bu Tjitro di Jl. Janti 330, Yogyakarta. Atau buat yang di luar kota, bisa pesan via @LiburanJogja (twitter). Harga per kaleng (satu kaleng porsi 1-2 orang) cuma Rp 25.000,- kok.. :) Hihihi!

*malah dodolan*

7 comments:

Lucia said...

ada rendang kalengan juga khan mbak :) tp blm pernah coba.

aku pernah ngerasain gudeg kalengan juga tp bukan bu citro, lupa namanya, kemasannya lebih kecil dari itu tapi lebih lebar dan harganya lebih mahal :D

bulb-mode said...

@ Lucia

Aku malah belum pernah liat yang rendang kaleng... di mana adanya? Di Padang?

Aku juga pernah denger gudeg kaleng lainnya, tapi nggak jelas, karena aku cari produsennya ga nemu...

Cobain deh Gudeg Kaleng-nya Bu Tjitro... enak! Lumayan juga buat oleh-oleh ke luar kota... :D

Lucia said...

aku liatnya di tv mbak hihihihi mgkn kalo di jogja adanya di supermarket gede2 gitu.

wah jd pgn ngerasain gudegnya bu citro, habisnya yg aku icip tuh dah mahal, gak terlalu enak lagi :(

inten said...

wah..nunggu peredaran gudeg kaleng nyampe Bali nih..

bulb-mode said...

@inten:
Pesen aja, Mbaaak...ato malah jadi agen distributor sekalian... :p

Unknown said...

Kalo jadi distributornya caranya bagaimana ya? tertarik nih

Anonymous said...

Enak rasa chitatonya

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...