Belum lama ini, aku diminta meliput salah satu panganan baru di Jogja. Tempat produksinya di daerah Plered, Bantul. Produknya adalah eggroll ubi ungu.
Aku sempat (sedikit) tercengang.
Aku sempat (sedikit) tercengang.
Eggroll ubi ungu? Bagaimana cara membuatnya? Apakah daging ayamnya diganti dengan ubi ungu? Atau malah dicampur? Tapi lalu bagaimana dengan rasanya? Bukannya akan kacau? Dan penampilannya? Bukannya justru akan aneh?
Aku langsung membayangkan eggroll a la Kiko, tapi berwarna ungu.
Yuck.
Maka pada hari yang telah ditentukan, aku pun berangkat menuju Bantul untuk meliput eggroll ubi ungu disertai rasa deg-degan. Aku menyiapkan mental untuk mencicipi daging ayam dicampur ubi ungu. Mental yang lebih dari saat aku harus liputan aneka masakan kobra.
"Aku titip ya! Suka ubi ungu!" ujar Mira yang kuberitahu mengenai agenda liputanku.
Aku langsung heran dengan Mira. Boleh sih suka ubi ungu, tapi mosok langsung mau tanpa tahu itu cara makannya bagaimana. Bahkan bentuknya saja masih mencurigakan.
Untuk liputan kali ini, aku sudah menyiapkan beberapa pertanyaan yang menggangguku. Seperti inspirasi 'gila' ini didapat dari mana? Dan, bagaimana cara makannya? Apakah juga dimakan dengan nasi seperti eggroll biasanya?
Setelah satu kali salah jalan, aku sampai juga di lokasi. Rumahnya sederhana.
Begitu aku menginjakkan kaki di halaman rumahnya - dan melihat bungkus eggroll ubi ungu - aku baru mengerti sepenuhnya.
Yak! Ternyata ini eggroll yang camilan!
Yang biasanya dijual di kaleng-kaleng untuk camilan di ruang tamu. Yang dulu juga sering aku beli. Yang dulu bisa kuhabiskan satu kaleng dalam waktu satu kali buka.
Jadi tidak ada daging ayam yang perlu dicampur telur dan ubi ungu di sini. Dan tidak perlu dimakan menggunakan nasi!
Eggroll ubi ungu ini diproduksi oleh ibu Almunafasah Asysyarifah (38) di rumahnya di Plered, Bantul dan dijual dengan merk dagang Shasa. Dibantu oleh sekitar 14 pegawai - yang kesemuanya itu tetangganya - Ibu Ifah memproduksi semuanya sendiri. Tanpa mesin khusus.
Mulai dari mencari ubi ungu yang sesuai, mengolahnya, hingga membungkusnya.
Rupanya eggroll ubi ungu ini terinspirasi oleh ledre pisang khas Cepu yang mengingatkanku pada perjalanan ke Bojonegoro.
Setelah ngobrol kian-kemari akhirnya aku mencicipi eggroll ubi ungu. Kress! Serenyah eggroll yang biasa dijual di supermarket.
Rasanya juga tak kalah nikmat. Sedikit terlalu manis untukku sih, tapi tak apa. Toh manisnya ini bukan karena terlalu banyak gula, tapi dari ubi ungunya. Justru manisnya bisa jadi tendangan rasa yang membuatnya berbeda dari eggroll asli.
Diakui, dalam sehari Bu Ifah bisa memproduksi 300 kotak yang per kotaknya berisi sekitar 16-20 batang. Namun kesemuanya langsung habis diborong agen-agen distributor.
"Kalau mau beli agak banyak harus pesan beberapa hari sebelumnya," jelasnya.
Atau, kalau cuma mau beli satuan, sebenarnya tak perlu repot mengelilingi Bantul untuk mencari rumahnya. Kita bisa membelinya di toko oleh-oleh yang tersebar di Jogja.
-o0o-
Ketika aku sampai di rumah, satu bungkus eggroll langsung kuberikan ke Dito untuk diantarkan ke Mira, sambil bertanya kok bisa-bisanya Mira langsung mau padahal mungkin saja itu eggroll a la Kiko dengan rasa ubi ungu.
"Yaelah Mbak, semua orang kalau bicara tentang eggroll ya pasti yang kebayang pertama eggroll seperti inilah. Bukannya eggroll Kiko," jawab adikku Dito.
Idih. Nggak semua orang, kali... :(
4 comments:
Semprong!
@bertogesit:
Beda Mas...kalo semprong lebih keras... :D Ini renyah...tapi tanpa suara kemripik...
aku juga mau ah... :D
@lizbeth
Cari di toko-toko oleh-oleh, Na...berdasarkan surveyku, yang jual lebih banyak di toko oleh-oleh di daerah selatan. Kalau di utara, aku jarang liat...
Post a Comment