Pak Wi dan Bu Wi (atas ijin Hera/Pak Jepret) |
Meski aku sudah tau tentang rencana pementasan ini sejak lama, tapi aku nyaris saja tidak kebagian tiket. My fault. Aku terlalu sibuk, lupa memesan tiket, dan tiba-tiba tiket sudah SOLD OUT!
Tentu saja sold out. Aku bahkan sudah bisa menebak dari awal kalau tiket mereka pasti akan sold out. Apalagi dalam pertunjukan kali ini mereka hanya menyediakan tiket maksimal 20 orang per pertunjukan. Pertunjukannya sendiri digelar selama delapan hari, dengan dua kali pertunjukan dalam sehari.
"Padahal yang suruh pesan jauh hari kamu lo, Mbak," ujar Mbak Ria menohok telak.
Hihihi! Aku tauuuu! Maaf!
Tugas kuliah yang beruntun, kantor yang sedang bermasalah, penjahit yang menghilang, serta tiket ke Kupang yang sudah dibeli membuat waktu di duniaku jungkir balik. Salah satu akibatnya adalah lupa membeli tiket.
Untungnya, di detik-detik terakhir, ada dua tiket yang dibatalkan. I was so blessed! Aku pun bisa menonton bersama Mr. A. Ihi!
Kisah yang diangkat Papermoon kali ini sebenarnya kisah yang sederhana namun menarik, judulnya "Setjangkir Kopi dari Plaja". Sedari awal aku sudah takut dibuat nyaris menangis seperti pada pementasan Mwathirika.
"Nggak kok, cuma ini ceritanya nggawe emosi," kata Mbak Ria dulu, tanpa menjelaskan deskripsi apapun.
Ceritanya sendiri, menurut Mbak Ria, sebenarnya telah tersebar di internet. Dia bahkan menyarankanku untuk googling. Tapi kalau googling-nya baru sekarang, yang muncul justru banyak liputan tentang pertunjukan ini. Hihihi!
Berkisah tentang perjalanan cinta Pak Wi yang tragis, dalam pertunjukan ini Papermoon menggunakan boneka mungil dengan toko barang antik sebagai panggung. Pak Wi sendiri adalah seorang mahasiswa Fakultas Teknik di UGM yang di tahun 1960-an mendapat kesempatan melanjutkan studi di Rusia untuk mempelajari Metalurgi.
Presiden Sukarno saat itu memang bercita-cita tinggi, menjadikan industri baja sebagai salah satu tulang punggung industri di Indonesia. Apa daya, tahun 1965 terjadi kerusuhan, membuat Indonesia kehilangan cita-cita Pak Karno serta membuat Pak Wi kehilangan kewarganegaraannya dan tidak dapat kembali ke Indonesia.
Pak Wi yang sebelum berangkat sempat berjanji pada kekasihnya untuk menikahinya begitu tugas belajarnya selesai pun harus menghadapi nasib di depannya. Bukannya menikahi, ia justru putus kontak dengan keluarga dan kekasihnya hingga puluhan tahun. Dan diusianya yang telah mencapai 70-an tahun, ia masih setia pada janjinya dan tidak menikah. Sementara, menurut kabar berita, kekasihnya sudah memiliki empat cucu.
Kisah tersebut merupakan versi singkatnya. Tapi, satu ungkapan yang menurutku bisa merangkum pertunjukan ini: jenius!
Berbeda dengan pertunjukan pada umumnya, pertunjukan ini dimulai jauh dari panggung. Lokasi berkumpul dan tempat pertunjukan cukup jauh. Papermoon pun menyiapkan bis beserta guide yang kocak untuk menemani perjalanan penonton ke sebuah toko barang antik.
Di toko itu, kami disambut oleh 'pemilik toko' yang sempat membuatku rikuh karena tidak tau harus berbuat apa. Lalu kami digiring ke sebuah gudang, dan diminta duduk. Sang 'pemilik toko' masih terus menawarkan barang-barang antiknya, lalu... mak pet!
Lampu mati.
Terdengar keributan kecil antara 'pemilik toko' dengan orang-orang di belakang. Lalu suara keributan mulai menghilang dan ketika telah sunyi lampu remang-remang pun dinyalakan.
Pertunjukan dimulai.
Dengan mengumandangkan lagu-lagu semacam orkes kroncong dari masa lalu, Papermoon sukses membangun suasana era tahun 60-an. Paduan lagu dan setting toko barang antik menyeretku ke masa lalu.
Terlepas dari itu, salah satu hal yang menarik dari pertunjukan ini adalah keberhasilan Papermoon hadir dalam pertunjukannya. Maksudku, dalam pertunjukan ini, para puppeteer tidak berusaha menghilangkan diri dengan mengenakan kostum tertentu. Namun, mereka justru di beberapa bagian muncul pula sebagai aktor yang berinteraksi dengan bonekanya.
Meski tetap muncul dengan pakaian 'vintage', Papermoon berhasil menghilangkan batas antara puppeteer dan bonekanya, serta justru dapat lebih menghidupkan boneka itu.
Tidak hanya batas itu saja yang dihilangkan. Dalam rangkaian pertunjukannya, Papermoon berhasil pula menghilangkan batasan panggung. Semua hal yang dialami penonton sejak mereka masuk ke dalam bis, hingga tingkah polah 'pemilik toko', menurutku adalah satu rangkaian pertunjukan dengan panggung tidak tampak.
Akan tetapi, bagian yang paling aku suka dari rangkaian pertunjukan ini adalah saat pertunjukan selesai. Ketika lampu dinyalakan dan 'pemilik toko' masuk kembali ke area 'panggung'. Ini membuatku merasa seperti terbangun dari mimpi.
Kejadian padamnya lampu dan lampu kembali dinyalakan seakan-akan hanya terjadi dalam beberapa menit. Atau mungkin dalam hitungan detik. Namun pada kenyataannya, Papermoon menyuguhkan pertunjukan selama sekitar 40 menit.
Itu membuatku seperti terhipnotis dan dibawa ke alam mimpi.
Luar biasa. Kali ini aku tidak hanya 'menonton' sebuah pertunjukan. Dengan tiket seharga Rp 30.000,-, bisa dikatakan aku mendapatkan pengalaman 'berwisata' ke masa lalu.
Itu kenapa aku bilang Papermoon jenius. :)
-o0o-
Dan Hera merusak imajinasi senduku tentang sepinya hidup Pak Wi dengan mengatakan bahwa boneka Pak Wi tua mirip dengan tukang krupuk di daerah rumahnya. Yeah rite!
Pak Wi atau Pak Krupuk (atas ijin Hera/Pak Jepret) |
No comments:
Post a Comment