Stand-up comedy (www.squidoo.com) |
Lalu kenapa tiba-tiba aku menulis tentang komedi?
Beberapa hari terakhir ini aku melihat beberapa twit bernada negatif menyoroti salah satu jenis komedi yang baru kembali populer. Aku katakan 'kembali' karena sebenarnya format ini sudah ada dan dipertunjukkan di Indonesia sejak lama, meski dengan format yang tidak sama dengan yang ditampilkan di Amerika Serikat.
Kembali pada twit bernada negatif tadi, dari penangkapanku, twit-twit yang ada seakan memposisikan jenis komedi ini sebagai 'komedi yang pintar' dalam konteks yang buruk. Gamblangnya: komedi ini eksklusif, hanya bisa dimengerti oleh mereka yang pintar.
Yup. Yang aku maksud memang stand-up comedy.
Pemposisian ini jelas lantas memunculkan kelas-kelas bagi penggemar komedi. Sesuatu yang seharusnya tidak berkelas-kelas, meski memang pasti ada selera yang berbeda-beda. Seperti musik klasik dan musik dangdut. Patutkah dikelaskan?
Komedi itu universal, kata salah seorang pelaku komedi. Ya memang bisa. Tapi menurutku, komedi itu sifatnya juga sangat kultural. Ini pernah dibahas oleh Jojon Center beberapa tahun yang lalu.
Untuk bisa ikut tertawa, seseorang harus memiliki referensi yang cukup sehingga mengerti lucunya di mana. Referensi ini bukan buku-buku literatur, lho... tapi pengalaman keseharian atau apapun yang memperkaya latar belakang budaya seseorang.
Perbedaan kultural ini didasari oleh perbedaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Apa yang tabu, apa yang menyinggung, apa yang baik, apa yang buruk, bisa jadi semua berbeda. Perbedaan ini menyebabkan semacam ketimpangan komunikasi.
Aku ingat, Jojon Center waktu itu memberikan contoh bahwa komedi di Papua yang sangat lucu, belum tentu bisa membuat orang Jawa tertawa.
Pasti pernah kan berada di suatu kelompok baru, dan tiba-tiba mereka tertawa karena suatu lelucon sementara kita sendiri yang tidak tertawa dan justru berpikir, "Di mana lucunya?" Lalu ini kita terjemahkan sebagai 'guyonannya nggak nyambung'.
Apa yang lucu bagi penonton di Jakarta mungkin akan sangat berbeda dengan apa yang lucu bagi penonton di Gunung Kidul. Apa yang lucu bagi kontraktor bangunan mungkin berbeda dengan apa yang lucu bagi dokter. Apa yang lucu bagi petani mungkin berbeda dengan apa yang lucu bagi nelayan. Bukan karena pengkelasan secara hierarki, tapi referensi dan pengalaman kesehariannya berbeda.
Sama seperti perbedaan selera film komedi antara aku dan adikku, padahal secara kultural kami memiliki latar belakang yang hampir bisa dikatakan sama. Tapi memang seleranya berbeda.
Menurut 'Komedi, Kritik!' yang ditulis oleh Hikmat Budiman, komedi yang banyak kita lihat di televisi adalah "kisah-kisah tentang orang-orang pandir yang jenaka seperti si Kabayan atau lawakan-lawakan bodoh" - meski kalau aku yang menulis, aku akan sangat menghindari menggunakan kata 'bodoh' untuk mengidentifikasinya. Disebutkan pula bahwa di Indonesia, komedi banyak diidentikkan dengan lawak, padahal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelawak disamakan dengan badut atau alan-alan.
Melihat hal tersebut, aku jadi berpendapat bahwa komedi itu lebih luas dari lawak. Dan lawak hanyalah salah satu bentuk komedi.
Komedi seperti Opera Van Java saat ini memang bisa menjangkau penonton yang sangat luas. Populeritasnya luar biasa. Tapi apakah semua orang menyukainya? Tidak juga. Aku tidak suka dengan slapstick-nya yang kadang kala (menurutku) kasar dan membosankan. Pada dasarnya karena aku memang kurang begitu suka slapstick.
Bagaimana dengan Srimulat sebagai salah satu grup lawak legendaris di Indonesia yang berakar pada bentuk Dagelan Mataram? Aku sering tertawa melihat aksi mereka. Tapi apakah Srimulat juga lucu untuk semua orang? Bagaimana bila Srimulat ditonton oleh Aceh? Apakah mereka juga akan tertawa seperti orang Jawa tertawa? Kata Mas Iwan sih di Kalimantan penerimaan masyarakat pada lelucon Srimulat tidak sespektakuler di Jawa.
"Kecuali yang bagian slapstick," ujar Mas Iwan.
Bukannya aku lantas membela stand-up comedy. Stand-up comedy a la Amerika Serikat di Indonesia mungkin memang masih terasa asing dan aneh. Para komediannya juga tampak masih canggung, berusaha mencari bentuk dan membiasakan diri untuk bermonolog dengan naskah. Bukan dengan spontanitas seperti yang sering aku lihat di panggung lawakan.
Tapi ini bukan berarti mereka adalah sesuatu yang negatif, kan? Yang spontan juga bukan sesuatu yang negatif.
Kalaupun kemudian muncul stigma-stigma tertentu (dan cenderung negatif) pada stand-up comedy, mungkin saja oknum komediannya yang bertingkah buruk - atau sombong, tepatnya. Atau mungkin gaya penyampaian tidak pas dan materi yang mereka bawakan belum bisa dekat dengan kehidupan sehari-hari penontonnya, sehingga referensi penonton 'nggak nyambung'.
"Komediannya berjarak dari materinya," tambah Apo.
Atau bisa juga sesederhana penontonnya yang lebih menyukai gaya komedi slapstick.
Sekali lagi, ini bukan masalah pintar atau bodoh. Ini masalah selera dan referensi. Kalau mengenai komediannya, itu bisa saja masalah attitude. Seperti salah satu kisah mengenai komedian yang 'angkuh' yang diceritakan Mas Iwan dalam linimasanya.
Kontak terdekatku dengan stand-up comedy hanya lewat televisi. Pertama kali mengenalnya juga karena serial sitcom Seinfeld. Aku bukanlah fans setia stand-up comedy dan aku juga tidak mengikuti jalannya kompetisi stand-up comedy Indonesia karena memang aku tidak suka dengan materinya.
Pernah mencoba menontonnya beberapa kali ketika disiarkan oleh Kompas TV, tapi sama sekali tidak berhasil membuatku tertawa. Atau bahkan terhibur.
Aku justru pernah kesal ketika juri meloloskan seorang comic padahal materi yang dia bawakan sangat-sangat tidak orisinil. Cerita yang dibawakannya bahkan sering aku terima di mail-list dan aku baca pertama kali beberapa tahun yang lalu.
Meski begitu, aku suka menonton 'Last Comic Standing' yang disiarkan di salah satu saluran TV kabel, walaupun tidak selalu mengikutinya. Ini semacam acara ajang kompetisi bagi para stand-up comedian di Amerika Serikat. Leluconnya kadang membuatku tertawa.
Atau paling tidak menghibur.
Mungkin di sini aku bisa bilang komedi menjadi universal. Aku yang besar di Jawa bisa tertawa mendengar lelucon tentang keseharian orang New York.
Tapi tetap saja tidak se-universal itu, karena buktinya Mr. A tidak tertawa. Dan ketika dia tertawa, aku belum tentu menganggapnya lucu.
Aku cuma ingin menuliskan bahwa suatu bentuk komedi tidak bisa dihakimi dan dikelas-kelaskan secara hierarkis seperti itu. Ini masalah selera. Seperti yang aku pernah tuliskan dulu, gula dan garam tidak ada yang lebih enak dari yang lainnya.
Itu jelas tergantung pada mana yang lebih kamu suka, pada seleramu. Dan selera sangat dipengaruhi oleh referensi dan latar belakang kultural. Setuju? :)
No comments:
Post a Comment