Pages

Friday, November 30, 2007

Rembang-Lasem Day One: Solo - Rembang

Ada apa di Rembang? Ada apa di Lasem? Ada apa di Jogja? *iklan*

Data yang kami miliki tidak terlalu banyak, sebenarnya. Hanya beberapa catatan kuliner yang ingin kami cari di sana. Tapi, yang jelas, kru road trip kali ini cukup bersemangat untuk melakukan perjalanan ke Rembang. Walau hujan turun dengan derasnya di hari keberangkatan, namun keterlambatan kami cukup dapat ditolerir.

Pagi abu-abu yang sejuk. Rintik hujan dan mendung masih menghias langit saat mobil memasuki Ring Road. Kami memang akan berangkat pagi-pagi, agar dapat menikmati sarapan di kota Solo yang terkenal akan banyaknya makanan enak. Memang iya?

"Pokoknya, asal kamu berhenti di mana aja, pasti makanan yang dijual di dekat situ ada yang enak," ucap teman baikku dulu. 

Ya... dan Soto Gading yang terkenal itu, yang dia sarankan untuk makan siang di suatu trip lain, menurutku lebih cocok dimasukkan dalam kategori sup. Bukan soto. 

Itu ilustrasi yang aku dapat tentang kuliner di Solo, mematahkan mitos 'banyak makanan enak di Solo'. Makanya, hari itu aku mempercayakan lokasi sarapan pada Bembi, yang memang rumahnya di Solo. Sebelum berangkat ke Rembang, kami pun mampir di sebuah warung kaki lima. Nasi Liwet Mbak Lasmini, dengan telur dan ayam suwir. Harganya? Cuma Rp 3.500,-. Nyam!

Perjalanan ke Rembang memakan waktu enam jam dari Jogja. Melalui Solo, lalu ke Purwodadi. Jalanannya berkelak-kelok dan banyak bagian yang rusak. Suatu siksaan tersendiri, kalau saja ini bukan perjalanan hura-hura.

Kami menyeberang ke Pati melalui Pegunungan Kapur Utara. Dari Pati ke Rembang, jalanan jauh lebih baik. Deretan petani garam di pinggir laut utara tampak menggoda untuk diabadikan. Namun, cuaca kurang mendukung. Hujan memang beberapa kali turun selama perjalanan kami.

Kincir-kincir angin yang hari itu tak beroperasi, sedikit mengingatkan pada Belanda dan Negeri Kincir Anginnya. Pasti akan menjadi foto yang bagus andaikan matahari sedikit berbaik hati.

Namun matahari tetap memilih bersembunyi di balik tebalnya awan. Kasihan juga membayangkan pekerjaan para petani garam itu ketika musim hujan telah tiba. Air laut yang tak kunjung mengering tentu tak akan menghasilkan garam.

"Kalau pas musim panas, sesiangan saja sudah kering," ucap Bembi yang menjadi guide dadakan kami.

Pantas saja hari itu tak banyak terlihat para petani bekerja. Mungkin itu karena mendung yang berat, bukan karena sistem lima hari kerja.

Memasuki Rembang, cuaca kembali bersahabat. Matahari bersinar cerah. Amat cerah. Kami pun segera mencari kantor Dhira yang terletak di pinggir jalan raya sebelum melanjutkan pencarian berikutnya. Lontong tuyuhan yang terkenal.

"Curah hujan di Rembang termasuk rendah. Sudah berbulan-bulan nggak turun hujan. Paling cuma sekedar gerimis sebentar," jelas Mbak Ani menjawab keherananku pada cerahnya cuaca.

Wajar, karena awan-awan di Jogja saat itu sedang senang-senangnya menyiramkan air berlimpah pada kota Jogja.

Rembang adalah salah satu kabupaten yang dilewati oleh jalur Pantura. Juga Jalan Raya Daendels. Dan mantan kantor Dhira dan Bembi di Rembang terletak di pinggir jalan raya itu. Kantor Plan yang didukung penuh oleh oli Castrol.

Hari itu, agenda kami adalah mencari Lontong Tuyuhan untuk makan siang dan melanjutkan perjalanan ke Lasem. Paling tidak sight-seeing untuk mencari lokasi menarik di keesokan harinya.

Lasem tak begitu jauh dari Rembang. Benar kata Dominique, cuma memakan waktu sekitar 20 menit saja. Pantas Dhira tak menyarankan untuk menginap di Lasem. Kecamatan ini ternyata tak seluas yang aku bayangkan. Kecil, tapi menarik. Bangunannya tua-tua dan nuansa 'kota kecil'nya terasa.

Karena besok kami masih akan ke Lasem, kami pun tak berlama-lama di sana. Perjalanan berlanjut ke daerah Pecinan di Rembang. Namanya Sawahan. Di sini bangunannya juga tua dan unik. Cocok bagi mereka yang menyukai fotografi arsitektural, mungkin. Seperti Lasem, bangunan di daerah ini juga kental terasa pengaruh Cina-nya. Pintu-pintunya bergaya Cina, tembok-tembok tinggi menggantikan pagar, dan hiasan tulisan Cina.

Kami berkenalan dengan Pak Tari, Penjual Aneka Pepes Ikan. Setelah beberapa dari kami mengobral janji pada Pak Tari, kami meninggalkan Sawahan dan menuju Dermaga Tanjung Ageng.

Di dermaga itu, bau amis ikan dan sampah di laut langsung menyergap saat aku turun dari mobil. Sama sekali bukan bau segar laut, ini bau yang amat tak sedap. Mual. Syaraf keamananku langsung mebuka-buka folder lama, mencari tips yang berguna untuk mengatasi bau tak sedap ini.

"Kenapa kamu takut bau? Setelah sepuluh menit, pasti hidung dan tubuhmu akan terbiasa," ucap seorang teman sangat baikku dari masa lalu.

Ah, ia memang teman yang menyenangkan. Wawasannya amat luas.

"Lihat saja para pengais sampah itu, atau mereka yang tinggal bersama hewan ternak."

Hm... aku pernah mencobanya dulu, sewaktu KKN. Kamar di KKN-ku kebetulan bersebelahan dengan kandang sapi. Dan memang benar. Setelah agak lama di sana, bau kandang bukan lagi sebuah gangguan.

Ini juga terjadi di Dermaga Tanjung Ageng. Baunya hanya mengganggu di awal kedatanganku. Lalu kami mulai mencari sisi indah dari dermaga yang bau ini. Anak-anak kecil yang sedang bermain layang-layang berlarian, ada yang mendekat ada yang menjauh. Beberapa dari mereka mengikutiku dan amat senang ketika diminta berpose untukku.


Dia seorang anak kelas dua SD yang memadukan baju biru dengan rambut ber-highlight biru. Wow, benar-benar serasi. Mungkin dia bisa jadi asisten fashion stylist-mu, Po?

Mendung yang amat tebal menggelayut di langit hingga matahari hampir terbenam. Sunset dan langit keemasan pasti tak mungkin terlihat. Kami pun memutuskan untuk pulang sebelum hujan benar-benar turun. Lagipula, hari masih panjang. Kami berencana makan malam di Alun-Alun Rembang.

Hari itu merupakan anomali bagi Rembang. Mungkin karena kedatangan kami? Hujan lebat turun di malam hari. Amat sangat lebat. Namun tak menyurutkan keinginan kami untuk bermalam minggu di Alun-Alun. Berkunjung ke suatu kota kecil tak akan lengkap tanpa melihat Alun-Alunnya.

"Alun-Alun biasanya jadi pusatnya, Ndie. Jadi, kalau kamu nggak tahu apa menariknya suatu kota kecil, mulailah pencarianmu dari Alun-Alun," saran teman inspirational-ku saat aku masih lugu dulu.

Sebuah tenda kaki lima dengan spanduk hijau, adalah tempat makan yang disarankan Dhira. Mereka menjual tempe, ayam, bebek, dan lele goreng maupun bakar. Harganya cukup masuk akal walau lebih mahal dari Jogja, kira-kira menghabiskan Rp 11.000,- per orang. Tapi, yang spesial di warung ijo ini adalah sambalnya. Sambal terasi dengan campuran kemiri (sepertinya). Benar-benar unik, dan lezat. Tak salah Dhira memilih tempat ini.

Hari pun kami tutup dengan bersantai di Kafe Resese a.k.a Kafe Rese'.

Bersantai? Sambil tercengang, tentunya.

Kafe ini merupakan satu dari dua kafe yang terkenal di Rembang. Letaknya di tengah hutan. Jangan membayangkan sebuah kafe seeksotis Losari atau Aman Jiwa. Kafe ini terletak di tengah hutan karena memang dapat tempatnya di sana.

Bangunannya amat sederhana. Hanya tumpukan bata yang disemen, tanpa dicat. Lampunya remang-remang, hingga untuk melihat satu meter ke depan saja membutuhkan usaha tambahan. Dan kursi-kursinya juga sederhana. Kursi-kursi kayu yang ditata mengelilingi meja. Begitu saja.

Kafe milik seorang reserse di Rembang ini menyuguhkan berbagai minuman beralkohol. Disajikan dalam jug plastik yang biasanya bergambar bunga. Hahaha! Imut sekali. Pitcher, katanya.

Di tempat ini sama sekali tidak menyediakan air mineral. Kalau mau yang tak beralkohol, pilihannya adalah Fruit Tea atau beberapa minuman bersoda. Hm... aku yang sedang tidak mengkonsumsi gula pun memilih untuk tidak memesan apapun. Untuk mengisi waktu, aku lebih memilih membuka kulit kacang yang tersedia di piring.

Selain minuman, pengunjung kafe juga disuguhi dengan lagu-lagu dangdut yang bisa sekaligus untuk karaoke. Bapak-bapak yang bercanda mesra dengan perempuan-perempuan di ujung lain ruangan tampak menyanyi dengan riang. Mungkin mereka teman-teman reserse pemilik kafe ini? Dan malam itu, suatu kehormatan, kami disuguh lagu berjudul 'Tali Kutang'. Argh... benar-benar kafe yang mengesankan.

"Kalau sudah pada mabuk, biasanya di depan jadi penuh. Pada njoget ke depan," ungkap Dhira.

Oya? Aku jadi ingin bertahan agak lama di Kafe Rese itu. Demi menunggu terjadinya adegan pukul-pukulan antar dua preman mabuk yang berebut belaian mesra sang pelayan idola di Kafe Rese. Hihihi...

Tapi semua sudah kelelahan dan mengantuk. Termasuk aku. Kami pun kembali ke kantor Plan untuk menumpang menginap satu malam.

Satu hari yang menyenangkan di Rembang. Hm... apa yang kami temui esok ya?

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...