Pages

Monday, December 3, 2007

Rembang-Lasem Day Two: Rembang - Lasem - Dadapan

Lasem terkenal akan batik tulisnya. Seperti batik di Pekalongan, atau Tuban, batik Lasem juga merupakan batik pesisir yang dulunya dibawa oleh pedagang keluar dari kraton dan dikembangkan di daerah-daerah pesisir yang multikultur. Tak heran sentuhan beberapa budaya kadang muncul dalam satu lembar kain batik.

Dulu, batik-batik tulis ini sempat mengalami masa kejayaannya. Tapi sekarang batik-batik mengalami apa yang disenut hidup segan, mati tak mau. Dari puluhan perajin batik, sekarang hanya sedikit yang tersisa. Hanya tinggal dua malah, sekilas aku dengar. Salah satunya Batik Purnomo yang kami datangi pagi-pagi hari agar dapat melihat pembuatannya.

Pembuatan batik di Lasem dikerjakan dalam kelompok. Ada yang membuat pola, ada yang menggambarnya di kain, ada yang ngeblok dengan lilin, nyorek, nembok, nitik, dan nyecek. Terakhir, proses pewarnaan dan nglorot. Sayang hari itu divisi pewarnaan dan nglorot sedang libur.

Sesuai dengan batik pesisir, batik-batik di Lasem penuh dengan warna dan motif. Ada hewan, ada bunga, ada motif abstrak, lalu warna ungu, hijau, merah, hingga biru. Tak seperti batik Jogja dan Solo yang selalu mengambil nuansa soga.

Setelah membanding-bandingkan motif, harga, dan warna, aku akhirnya memilih untuk tidak membeli. Satu lembar kain batik paling murah seharga Rp 250.000,-, dan itu dengan motif yang menurutku biasa. Lembaran-lembaran batik selanjutnya yang kusentuh, harganya mulai di luar budget oleh-olehku. Yang menurutku mulai lumayan bagus, harganya mulai Rp 450.000,-. Yang menurutku bagus, dan ingin aku pakai, harganya bahkan mencapai Rp 950.000,-. Ini terlalu mahal untuk selembar batik.

Walau sebenarnya harga itu masuk akal juga. Pembuatan selembar kain batik kadang memakan waktu satu bulan. Dan bila menambah warna, tentulah waktu yang dibutuhkan semakin banyak.

"Paling banyak empat warna, Mbak, dan pembuatannya sampai lebih dari satu bulan," ungkap Ibu Saripem yang hari itu kebagian tugas memblok kain dengan lilin.

Hm... tapi tetap saja jadinya terlalu mahal. Aku memutuskan tidak membeli selembar batik pun.

Aku sadar, mungkin orang-orang seperti akulah yang membuat batik-batik itu punah. Tapi ini memang dilema. Dan menurutku, yang juga membuat batik-batik itu punah, salah satunya adalah tak adanya fasilitas ATM di Lasem, apalagi debit dari bank. Mungkin (hanya mungkin...) kalau ada ATM, aku akan membeli batik yang Rp 950.000,- itu. Hihihi!

Puas dari batik Purnomo, kami berencana segera mencari makan. Perut yang belum diisi sejak berangkat mulai meronta. Tapi karena tidak menemukan tempat makan khas, kami pun masuk ke dalam pasar dan mencicipi Sayur Asem-Asem, yang merupakan paduan sayur asem dengan daging sapi.

Rasanya? Asem, tapi segar.

Sesuai tujuan awal, hari itu kami segera mencari daerah yang penuh dengan bangunan tua. Daerah Karangturi. Petunjuk arah yang didapatkan Apo entah dari mana, cukup membantu.

Dan benar saja, kawasan itu mirip dengan Kotagede. Hanya bedanya, di kawasan itu semua bangunan tua merupakan peninggalan budaya Cina. Seperti di Sawahan, rumah-rumah di sana besar, dengan tembok tinggi dan pintu gerbang warna-warni. Ada kuning, biru, hingga coklat.

Ah. Nuansa Pecinan masa lalu. Mungkin di ujung jalan aku akan bertemu dengan Wong Fei Hung dan rambut kepangnya. Dan di belakangnya muncul pendekar Shaolin dengan tendangan-tendangan tanpa bayangannya.

Lalu kami bersembunyi di rumah Bapak Kasrun Segie aka Ong Hway Bwe aka Pak Kasegi.

Mungkin, melihat kami yang sibuk memotret, Pak Kasegi teringat masa mudanya yang 'penuh-rasa-ingin-tahu'. Karenanya beliau membuka gerbang rumahnya yang bewarna coklat dan menyilakan kami masuk. Dan memotret.

Rumah tua. Dengan tegel bermotif, bewarna kuning dan abu-abu. Sayang beberapa perangkat di dalam rumah sudah termasuk baru. Sedikit kurang masuk dengan nuansa kuno yang dimunculkan oleh rumah itu sendiri. Rumah tua yang usianya telah ratusan tahun, menurut Pak Kasegi.

"Di sekitar sini memang sering untuk buat film. Terakhir film Karma," ungkapnya.

Tujuan kami berikutnya adalah menyambangi sebuah wihara di puncak sebuah bukit. Sepertinya menarik. Vihara Ratanavana Arama, begitu namanya. Terletak di sebuah bukit di seputaran Sendangcoyo, Lasem.

Bentuk wihara ini sekilas mengingatkanku pada Candi Borobudur. Berwarna dasar abu-abu dengan stupa besarnya. Namun kompleks wihara ini rupanya cukup luas. Di sekitarnya, terdapat patung-patung Budha bewarna emas.

"Janganlah takut. Tak akan terjadi apapun padamu yang bukan karmamu."

Quote of the day!
Ini mengingatkanku pada nasehat yang diucapkan uztad-ku. "Tak akan ada yang terjadi padamu yang tidak melalui ijin Allah." Kalimat-kalimat negasi yang membutuhkan waktu satu-dua detik lebih lama untuk bisa di mengerti.

Kami tak lama berada di sana. Hanya memotret. Lalu perjalanan dilanjutkan ke Klenteng Poo An Bio. Hanya sesaat, dan segera berputar mencari Klenteng eksotis dalam bayanganku.

"Klentengnya persis di sebelah sungai," ungkap Dhira tentang klenteng tertua dan terbesar di Lasem.

Klenteng Tri Murti Cu An Kiong
. Tak seeksotis imajinasiku sebelumnya. Sebagai informasi saja, perkataan Dhira membuatku berfantasi tentang klenteng bewarna merah, di tengah taman yang hijau dan sejuk. Di sebelahnya, sungai jernih mengalir menambah kedamaian lingkungan klenteng.

Tapi tidak. Klenteng ini berdiri di seberang sungai. Atau kali? Dulunya sungai ini terdapat dermaga yang langsung menuju laut. Pemilik Klenteng sendiri adalah seorang saudagar Cina yang kaya raya, katanya. Dan dari dermaga ini jugalah, Belanda masuk ke Lasem. Katanya. Dan sekarang, sungai itu banyak dipenuhi oleh jaring-jaring penangkap ikan dan sampah.

Walau tak berada di taman yang penuh kedamaian, klenteng yang didirikan di abad ke-17 memiliki keeksotisan tersendiri. Dinding dalam klenteng ini dipenuhi mural. Mungkin bisa menginspirasi Mas Sam?

Mural berbentuk cerita bergambar bercerita tentang sejarah klenteng itu sendiri. Benar-benar menarik. Di beberapa bagiannya, gambar memang sedikit rusak termakan usia dan cuaca. Namun secara keseluruhan, mural-mural di tembok klenteng ini masih awet. Amat sangat luar biasa. Sayang sekali kami dilarang mengambil gambar di dalam klenteng.

"Dulu Klenteng itu pernah hampir dirubuhkan oleh pemerintah Indonesia," ungkap seorang temanku yang berasal dari Rembang.

Kenapa?

"Karena mau dipindahkan ke tempat lain. Sekalian jadi obyek wisata, mungkin."

Konyol! Rencana bodoh! Lalu, mau diapakan tembok-tembok penuh mural yang menyimpan jutaan sejarah itu? Diganti dengan relief-relief dari tepung kanji? Huff... aku benar-benar kesal mendengarnya. Pemerintah kita memang terlalu sering mengambil solusi yang terlalu instan.

Setelah kota Lasem habis kami putari, perjalanan dilanjutkan ke sebuah desa di suatu bukit. Desa Dadapan, tempat kerja Bembi beberapa tahun sebelumnya.

Walau terletak di dataran tinggi, desa ini tidak berhawa dingin. Malah justru panas. Sajian kelapa muda yang benar-benar menyegarkan menjadi pembuka perkenalan yang pas. Lalu mangga-mangga dan berbagai biskuit perusak diet.

Suguhan diakhiri dengan ayam rica-rica, yang notabene merupakan resep peninggalan Bembi. Rasanya lezat! Makan siang sederhana yang berkesan. Fitri, katanya, membantu saat memasak. Sementara yang lain tertidur pulas di tikar di ruang tengah.

"Ini desa asal kisah Rondo Dadapan," ungkap Fitri heboh saat kami akan meninggalkan desa tersebut.

Oya? Memang cerita Rondo Dadapan itu yang seperti apa?

"Aku nggak tahu lengkapnya," jawab Fitri tak bertanggung jawab.

Huff...

Perjalanan pulang ke Rembang ternyata tak kalah menariknya. Kami melewati jalur Pantura. Jalan raya yang ramai ini tepat bersebelahan dengan tebing rendah dan laut lepas. Indah sekali. Mengingatkanku pada film-film Hollywood. Cuma, di sini kami tidak menemui Porche ataupun Lamborghini. Kami lebih sering bertemu truk dan bis.

Malam itu kami kembali mengunjungi Alun-Alun, kali ini dengan cuaca yang lebih cerah. Kami jadi bisa mampir di beberapa warung dan mencicipi makanannya. Warung jajanan bubur dan serabi, dan warung makan seafood "Lamongan". Enak. Sotongnya seperti sotong goreng di Warung Bu Ester.

Hari itu pun kami tutup dengan check-in di Hotel Kencana, pinggir Jalan Pantura persis. Gedungnya baru, halamannya luas dan aman (sepertinya), serta kamarnya bersih dan nyaman. Rate-nya pun tak terlalu mahal, Rp 90.000,- per kamar kelas Ekonomi.

Malam ini kami harus tidur nyenyak, karena besok saatnya meninggalkan Rembang. Lagi-lagi kembali ke kehidupan nyata.

2 comments:

dhiraestria dyah said...

ndie, menurutmu kain apa yang layak dibeli dengan harga Rp.950.000?

bulb-mode said...

dhiraestria dyah:
Kain bersulam benang dari serat emas, dan antik, yang tiap tahun harganya naik. Bukan turun. :-S Investasi...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...