Pages

Thursday, December 9, 2010

Suatu Sore di Surabaya

Baru sekali ini aku merasakan hujan turun di Surabaya. Hujan yang sangat deras. Cukup tidak tertebak karena setelah beberapa kali kedatanganku, Surabaya justru lebih identik sebagai kota anak emas matahari. Seakan-akan matahari memberikan perhatian istimewa, dan panasnya di siang hari bisa mencapai 39 derajat Celcius!

Tapi, melihat hujan yang menggedor-gedor jendela dengan kuat itu, rupanya Surabaya pun memiliki musim hujan.

Ya iyalah!

Sebenarnya, sebelum mengalami hujannya secara langsung, aku sudah mendengar bahwa di Surabaya lagi sering hujan. Dhira pun terjebak di dalam bis yang terjebak banjir.

Banjir?

Oh tidak. Pantas saja sewaktu aku memasuki kota Surabaya di pagi buta, dari atas travel aku melihat air menggenang cukup tinggi. Cukup tinggi untuk menenggelamkan separuh ban mobil.

Aku tahu hujan sudah menjadi musuh besar Jakarta. Tapi aku juga tak menyangka hujan juga menjadi musuh Surabaya. Ini membuatku sedikit resisten terhadap Surabaya. Tidak baik, karena besar kemungkinan Surabaya akan menjadi kota keduaku.

Kata bapaknya Arya, genangan air yang mirip banjir itu munculnya musiman. Ya saat musim hujan datang. Mirip seperti Jakarta, jalanan pun ikut macet.

Tapi lucunya, yang dibanjiri air ini biasanya jalan-jalan yang menggunakan nama sungai.

"Seperti Musi atau Andalas," ujar bapaknya Arya menjelaskan.

Lucu juga kalau benar seperti itu. Aku sendiri tidak terlalu ingin membuktikannya dengan berputar-putar kota di kala hujan turun dengan derasnya, dan mendatangi jalanannya satu per satu.

Kalau hujan turun di sore hari, aku lebih memilih berada di rumah Arya, di kamar hotel, atau sekalian di mall bersama Dhira - seperti kemarin.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...