"Jurusan apa?"
"Kerja di mana?"
"Sudah menikah belum?"
"Agamanya apa?"
"Mau ke mana?"
Setahuku, pertanyaan-pertanyaan ringan tersebut kerap sukses membuat beberapa temanku kesal. Alasannya? Karena pertanyaan-pertanyaan itu seperti terlalu ingin tahu.
"Kerja di mana?"
"Sudah menikah belum?"
"Agamanya apa?"
"Mau ke mana?"
Setahuku, pertanyaan-pertanyaan ringan tersebut kerap sukses membuat beberapa temanku kesal. Alasannya? Karena pertanyaan-pertanyaan itu seperti terlalu ingin tahu.
Atau kalau kata temanku, seperti mau melihat 'kelas' kita.
Hm, bisa sih. Tapi kalau menurutku, tidak segitunya juga. Mungkin di budaya Barat, pertanyaan-pertanyaan basa-basi seperti itu bisa dianggap terlalu ingin tahu. Seperti yang kita tahu, di dalam budaya Barat, privasi seakan-akan menjadi sesuatu yang sangat agung.
Tapi, apakah kita harus selalu menyamakan standar kita dengan budaya Barat?
Padahal pada saat pertanyaan itu dilontarkan, kita sedang berada di Indonesia (dalam kasus ini, di Pulau Jawa). Yang menanyakan pun (kebanyakan) orang tua yang menganggap itu semua wajar dan sudah dilakukan turun-temurun.
Kalau menurutku, pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul bukan untuk 'menilai' kita. Pertanyaan itu muncul lebih karena rasa ingin mencari persamaan. Bukan sekedar persamaan agama atau pekerjaan, tapi lebih pada persamaan pemahaman. Sesuatu yang dimengerti oleh si penanya agar dapat membuka percakapan.
Mungkin saja si penanya ini beragama Kristen, tapi begitu tahu yang ditanya beragama Islam, dia bisa membuka percakapan dengan membicarakan liburan lebaran yang akan datang.
Atau pertanyaan, "Kuliah di mana?" Percakapan selanjutnya (hampir selalu) bukan "Oh. Di Universitas X..." dengan nada merendahkan. Biasanya pertanyaan tersebut justru berlanjut dengan "Aku punya teman di sana. Namanya Tina. Kenal, nggak?"
Coba saja perhatikan, banyak sekali pertanyaan-pertanyaan tadi yang ditanyakan sebagai pembuka percakapan. Setelah menemukan persamaan itu, lalu... wuss... obrolan pun seperti tinggal landas.
Memang sih ada beberapa yang menanyakannya dengan niat-niat lain, tapi biasanya dapat terbaca di nada pertanyaan mereka.
Aku sendiri merasa tidak nyaman kalau harus menanyakan hal-hal seperti itu. Dan aku memang tidak melakukannya. Aku takut pertanyaan-pertanyaan itu membuat mereka merasa seperti yang dirasakan oleh beberapa temanku tadi.
Tapi, kalau aku yang ditanya, aku tidak masalah. Walaupun kadang juga hanya menjawab sekenanya.
Toh, aku juga tidak bisa memaksa semua orang untuk tidak menanyakan pertanyaan-pertanyaan basa-basi itu, atau menyalahkan mereka karena menanyakannya, karena itu termasuk dalam budaya kita.
Kalau memang perasaan kita tidak nyaman karena merasa terlalu mengusik privasi, atau merasa di-kelas-kan, mungkin ada baiknya kita menggeser pemikiran kita. Tidak berpikir a la budaya Barat.
Mungkin kita justru harus menyamakan pemahaman budaya kita agar tidak merasa seperti itu. Toh itu semua kan berada di presepsi saja.
Sebaiknya, kita berusaha mengerti dengan budaya yang ada di sekitar kita. Karena kadang yang kita butuhkan agar tidak 'terganggu' hanyalah sesederhana pemahaman budaya tersebut.
Lagipula, di mana tanah dipijak, di sana langit dijunjung.
*Foto diambil dari sini.
2 comments:
hihihihi satu lagi mb, yang sering ditanyain kalo aku, "kapan nikah?" :D
@ Luchie:
Untuk pertanyaan "Kapan nikah?" itu biasanya pertanyaan 'usil', makanya nggak aku masukin... Sama seperti "Mana calonnya?" :p Nggak melukai sih, tapi usil, karena biasanya yang berani tanya seperti itu orang yang udah (ngerasa) deket.
Aku dulu juga sering ditanya itu sih, tapi aku anggep aja semacam bentuk 'kedekatan' hubungan, trus aku jawabnya juga ngawur.
Jawaban andalanku: "Nunggu dicariin jodo sama Mama..." Alhasil semua 'perhatian' itu langsung pindah ke ibuku. Hehehe!
Kalau udah nikah, pertanyaan usil berikutnya, "Udah isi belum?"
Yeah...dan selanjutnya, dan selanjutnya, dan selanjutnya...
Post a Comment