Pekerjaan paling tidak menyenangkan yang harus kulakukan adalah jadi perantara. Apalagi kalau kondisinya seperti seminggu yang lalu (yang ternyata sampai hari ini juga masih belum selesai).
Sebenarnya masalahnya itu mudah dan solusinya juga mudah. Hanya dibutuhkan koordinasi yang baik antara orang-orang yang berkepentingan. Dan koordinasi itu baru bisa berhasil dengan baik tentu saja dengan adanya komunikasi yang lancar.
Maksudnya, antar orang-orang yang berkepentingan dan memiliki kapasitas untuk membuat 'keputusan', harusnya saling berkomunikasi lancar. Bisa juga diartikan saling berkomunikasi LANGSUNG!
Bukan pakai perantara dan saling melempar komunikasi. Apalagi kalau orang-orang itu terdiri dari enam orang dari empat divisi yang saling kenal dan sama-sama atasan semua.
Kalau sudah seperti itu, akhirnya semua orang akan ikut bingung. Perantaranya overload. Padahal jadi perantara itu melelahkan secara mental loh...
Terutama kalau di sini didebat, di sana disanggah, dan keputusan-keputusan yang muncul tidak tegas. Selalu mentah kembali akibat perbedaan pandangan dan ketakutan mereka yang berkepentingan untuk berbuat salah.
Keragu-raguan dan ketakutan, tepatnya.
Perantara itu tidak memiliki kewenangan untuk memutuskan. Perantara itu tidak memiliki pengetahuan latar belakang masalah yang mencukupi untuk balik menyanggah. Atau bahkan bertanya.
Seharusnya perantara tugasnya hanya menyampaikan yang sudah pasti. Tapi kalau yang disampaikan itu berupa sanggahan, debat, atau ide baru yang membutuhkan diskusi, masa ya harus pakai perantara?
Yang ada, lalu terjadi miskomunikasi di tengah-tengah. Ketika semuanya salah kaprah, yang dianggap salah ya perantaranya karena tidak menyampaikan, atau malah menyampaikan hal yang salah.
Jadi serasa bemper, kalau ada yang salah dari debat, sanggahan, atau ide barunya itu, yang kena langsung ya perantaranya.
*sigh*
Ya ampun. Kenapa sih nggak diskusi langsung aja?
No comments:
Post a Comment