Pages

Tuesday, December 4, 2007

Rembang-Lasem Day Three: Rembang - Pati - Kudus - Demak - Semarang


Jam enam pagi, kami sudah siap meninggalkan kota Rembang. Mobil sudah dicuci, tas-tas sudah tertata, dan kopi setermos sudah selesai dibuat. Saatnya berangkat.

Hari itu, kami berencana pulang ke Jogja melalui jalan yang berbeda. "Sesuai sunnah Rasul," putus kami saat berangkat beberapa hari yang lalu.

Kami memilih mengarah ke barat. Sambil mencicipi makanan di sepanjang perjalanan pulang. Kota yang pertama kami lewati adalah Pati. Sebenarnya saat berangkat, kami juga sudah melewatinya. Tapi saat itu, tak ada waktu untuk melihat-lihat sekilas kota Pati.

Tanpa pengetahuan memadai tentang kota Pati, kami akhirnya memutuskan untuk bertanya pada Pak Satpam BCA tentang makanan yang enak di kota kecil itu.

"Nasi gandul Pati. Tempatnya di sana," jawab Pak Satpam sambil mengarahkan jarinya entah ke mana.

Nasi Gandul Bu Tari, Gajahmati. Awalnya, aku pikir nasi gandul adalah nasi dengan lauk pepaya (bhs Jawa: gandul). Tapi rupanya itu salah. Tak ada pepaya dalam sajian seporsi nasi gandul.

"Namanya nasi gandul, karena ada kuahnya banyak sampai lauk dagingnya kayak nggandul-nggandul," jelas Kampang.

Hm... bagusnya diganti saja namanya jadi Nasi Kumambang. Biar sekalian dikira nasi dengan lauk kumbang.

Nasi putih yang disajikan di atas daun pisang, dengan kuah berlimpah dan babat. Selain babat, ada pula daging, paru, hati, dan lidah. Kesemuanya dibumbu bacem. Empuk dan manis.

Kuahnya merupakan paduan antara santan dan gula Jawa. Gurih dengan semburat rasa manis. Demi mencapai standar 'gandul' kuahnya memang banyak. Kadang sampai menenggelamkan nasi.

Harganya tak terlalu mahal. Untuk satu porsi Nasi Gandul, harganya Rp 6.000,-. Dan porsinya cukup banyak untuk membuat perut kenyang.

Warung tenda Bu Tari yang terletak di pinggir jalan itu memang laris di pagi hari. Banyak warga kota Pati yang mencari sarapan ke sana. Pagi itu, warung Bu Tari pun sesak dipenuhi pengunjung, termasuk kami berlima.

-o0o-

Memasuki Kudus, kami langsung bergerak mencari Masjid Menara yang cukup populer. Masjid Menara yang bersebelahan dengan Makam Sunan Kudus. Setelah bertanya-tanya pada Bapak Penjual Leker, kami segera meluncur ke masjid tua itu.


Mesjid Menara Kudus aka mesjid Al Aqsa aka Mesjid Al Manar merupakan mesjid yang dibangun Sunan Kudus pada tahun 1549 Masehi. Atau dalam hitungan tahun Arab, 956 Hijriah. Konon kabarnya, batu pertamanya berasal dari Baitul Maqdis di Palestina. Letaknya berada di Desa Kauman, Kecamatan Kota, kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Perpaduan budaya Islam dan Hindu menghasilkan arsitektural yang cukup unik pada masjid ini. Menaranya mirip dengan bangunan candi.

Pengaruh budaya Hindu tak hanya tampak pada desain arsitekturalnya. Budaya Islam yang masuk, pada akhirnya sedikit menyesuaikan dengan budaya Hindu. Demi menghormati para penganut agama Hindu, Sunan Kudus memerintahkan untuk mengganti konsumsi sapi dengan kerbau. Ini tampak baik dalam acara Idul Adha, ataupun kehidupan sehari-harinya.

Karenanya, di daerah Kudus, banyak sekali Soto Kerbau, yang sayangnya tak sempat kami cicipi. Namun berkat saran dari Bapak Satpam Ramayana Mall, kami menyempatkan diri mampir di Warung Soto Kudus dan Nasi Pindang Pak Denuh. Sepertinya, aku pernah membaca artikel tentangnya di suatu tabloid beberapa saat sebelumnya.

Soto dan nasi pindang yang ditawarkan memang menggoda. Dan karena alasan yang tak jelas, aku memutuskan untuk memesan nasi pindang. Rasanya enak, tapi agak aneh. Kuahnya, memang segar. Namun rasanya sendiri seperti berada dalam kebimbangan antara rawon dan brongkos. Manis dan amat terasa unsur daun so, seperti lodeh. Satu porsi nasi pindang atau soto hanyalah Rp 5.000,-.


-o0o-

Perhentian selanjutnya, Demak. Kota dengan Masjid Agung-nya yang terkenal. Sebenarnya tujuan road trip hari itu adalah wisata kuliner. Tapi entah kenapa, fokus wisata kami melebar sedikit menjadi wisata spiritual.

Yup... dan kami pun memutuskan untuk melaksanakan sholat Dhuhur (berjamaah!) di Masjid Agung Demak. Hihihi! Lucu, karena pakaian turis yang kami kenakan kurang sesuai dengan peraturan 'Harus Berpakaian Muslim' yang tertera di pintu masuk masjid.

Masjid Agung Demak merupakan sebuah mesjid yang tertua di Indonesia. Letaknya di Desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Kabarnya lagi, ternyata tempat ini pernah merupakan tempat berkumpulnya para ulama (wali) penyebar agama Islam. Uh, para Walisongo itu membahas penyebaran agama Islam di masjid ini.

Dan pendirinya adalah raja pertama dari Kesultanan Demak, Raden Patah.

Demak kurang menarik sebagai tempat transit. Selain masjidnya, kami tak dapat menemui tempat menarik lainnya. Keinginan mencicipi Soto Kebo pun harus dihilangkan.

"Sate Kebo cuma buka di sore hari," ucap Mas Penjaga Parkir Indomaret.

Yah, kami tak mungkin menunggu sampai sore. Kami masih harus mampir ke Semarang.

-o0o-

Memasuki Semarang dari arah timur, hujan turun semakin lebat. Hampir menyerupai badai. Sampai-sampai kami memutuskan untuk berteduh sejenak di Alfa. Dan ini yang aku benci dari Semarang. Jalanannya mudah sekali dikalahkan banjir.

Hujan lebat sore itu menenggelamkan banyak ruas jalan utama Semarang. Mengendarai mobil pun harus dengan was-was. Tapi mungkin karena Apo terbiasa dengan jalanan Jakarta yang terkadang mengalami banjir yang lebih hebat, kami pun selamat dari kepungan banjir.

Berhenti sebentar di depan Gereja Blenduk yang populer sebagai obyek fotografi di Kota Lama, beberapa dari kami menyempatkan mengambil gambar, sebelum hujan kembali turun dengan derasnya. Perut yang mulai keroncongan pun harus segera diisi.

Satu lagi yang membingungkan dari kota Semarang. Walaupun kota ini termasuk kota besar (ibu kota Jawa Tengah!), tapi aku selalu bingung ketika harus menentukan akan makan dimana. Sepertinya tak ada tempat makan menarik di kota ini.

"Wah, apa ya? Aku juga nggak tahu. Paling tahu gimbal, bandeng, sama lumpia. Atau babi?" ujar seorang teman yang tinggal di Semarang dari ujung telpon.

Informasi yang justru menambah kebingungan kami.

Aha! Warung Mbah Jingkrak! Aku ingat pernah melihatnya di acara televisi yang dipandu oleh Pak Bondan Winarno. Yang berkali-kali diucapkan oleh kakakku, hingga menempel di memoriku.

Warung yang ternyata jauh lebih cocok disebut rumah makan itu tak semenarik bayanganku. Ruangannya terlalu modern walau kursi dan meja dibuat semirip mungkin dengan 'warung'.

Mirip prasmanan, dengan seorang ibu penyaji di balik meja yang penuh makanan. Yang spesial di sini adalah rasa pedasnya. Berbagai macam oseng pedas, sayur, sambal, dan pelengkapnya tersaji. Hm... aku jadi bingung. Aku yang tak suka pedas, benar-benar tak tahu harus memilih apa.

Dan tak cuma di situ. Menurutku, rumah makan Mbah Jingkrak ini merupakan kesalahan dalam trip kami. Yang juga kesalahan Pak Bondan karena memberikan informasi yang kurang pas. Aku tak mengerti apa yang spesial dari rumah makan ini, kecuali pedasnya. Tapi, bukankah itu terlalu sederhana? Banyak lombok kan selalu berarti semakin pedas? Selain itu, harganya juga termasuk mahal.

Perjalanan berlanjut ke sebuah rumah makan tempoe doeloe yang terkenal dengan es krim-nya. Toko Oen; Restaurant Ice Cream Palace and Patisserie.

Toko Oen dibangun pada tahun 1937. Dan hebatnya, dia berhasil mempertahankan style rumah makan eksklusif pada masanya. Dengan kursi-kursi klasik dari kayu dan berbagai interior kolonial. Sebagai informasi, toko ini ternyata juga telah membuka cabang di Den Haag, Belanda.

Kami pun segera memesan, setelah beramai-ramai masuk ke ruang penyimpanan es krim dan memilih sendiri es krim yang diinginkan. Aku memilih Strawberry-Rhum Raisin seharga Rp 9.000,-. Rasanya lezat. Rasa asam dan segar dari stroberi berhasil mendominasi rasa. Lalu rasa manis khas rhum raisin memberi sentuhan tersendiri. Menyegarkan.

Mengingatkanku pada sebuah toko es krim yang pernah aku liput di bilangan Kota, Jakarta. Es krim dari masa lalu. 

Koq aku belum pengen pulang ke Jogja ya? 

Dan setelah perdebatan agak panjang, diputuskanlah untuk menambah satu hari pada trip kami. Selain itu, kami butuh istirahat barang beberapa jam tidur. Paling tidak, Apo yang membutuhkannya.

Kami berlama-lama di Oen. Tempatnya yang nyaman memang bisa membuat betah. Namun keinginan untuk membeli oleh-oleh membuat kami harus segera beranjak ke sebuah tempat di Jalan Sisingamangaraja. 

Pelangi Cafe. Di tempat ini energiku sudah hampir habis. Dan juga ruang di lambungku. Alhasil, aku hanya memesan... hm, apa yang aku pesan ya? Aku lupa. Yang jelas, tempat ini aku sarankan karena ia memiliki chiffon keju yang luar biasa lezatnya. Kejunya benar-benar terasa, sementara tekstur chiffon-nya empuk dan lembut. Dan harum. Harganya Rp 27.000,- untuk yang ukuran kecil.

Malam itu kami segera meluncur ke rumah Bu Dhe di daerah Pedurungan untuk bermalam walau hanya beberapa jam. Besok kami harus meninggalkan Semarang pada pukul 3 pagi, agar beberapa dari kami tak perlu menambah cutinya. Kami melupakan bandeng, melupakan lumpia, dan melupakan tahu gimbal. Tapi selain itu, memangnya ada makanan enak apa lagi ya di Semarang?

2 comments:

Dino said...

Soto kudus.. aku kangen..
ibuku dari kudus, jadi setiap lebaran makan soto kudus di pak denuh itu..

bulb-mode said...

Dino:
Nyum... nyum... emang enak koq! Tapi lebih enak sotonya daripada pindangnya... :p

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...