Setiap kali mendengar kata Mie Ongklok Wonosobo, aku selalu mempunyai gambaran yang penuh imajinasi. Sepiring mie dengan mie berukuran sebesar mie Surabaya, berwarna kecoklatan, dan tampak manis. Seperti mie Surabaya langgananku. Tapi dengan tambahan siraman kuah kental seperti bumbu sate Padang.
Imajinasi itu muncul berkat cerita dari seorang temanku yang tidak menyukai Mie Ongklok. Katanya, rasanya aneh. Parahnya, dia sampai menambahkan kata-kata 'susah ditelan' dalam deskripsinya. Bahkan setelah melahap satenya. Itu membuatku sedikit bersyukur tidak mencicipi Mie Ongklok Wonosobo saat aku berkunjung ke sana beberapa tahun yang lalu.
Imajinasi itu muncul berkat cerita dari seorang temanku yang tidak menyukai Mie Ongklok. Katanya, rasanya aneh. Parahnya, dia sampai menambahkan kata-kata 'susah ditelan' dalam deskripsinya. Bahkan setelah melahap satenya. Itu membuatku sedikit bersyukur tidak mencicipi Mie Ongklok Wonosobo saat aku berkunjung ke sana beberapa tahun yang lalu.
Kemudian, beberapa bulan yang lalu, adikku berkunjung ke Wonosobo dan mencicipi Mie Ongklok yang khas. Tanpa merasakan, aku ikut saja menyetujui pendapat adikku yang saat bercerita sepertinya juga tidak suka mie tersebut.
Beberapa hari setelah kejadian Noordin M Top wannabe, aku berkesempatan mengunjungi Wonosobo. Untuk jalan-jalan tentu saja, bukan liputan. Dan akibat tergelitik rasa penasaranku, aku pun menjadwalkan kunjungan ke warung Mie Ongklok yang paling enak.
Aku penasaran, masa ada makanan tidak enak yang bisa jadi khas suatu daerah?
Referensi dari temanku yang asli Wonosobo adalah Mie Ongklok Bu Umi. Letaknya di Jl. Mesjid, Wonosobo, persis di sebelah selatan Masjid Kauman.
Aku dan Arya pun berpetualang kuliner di warung tersebut. Karena agak paranoid, kami memesan satu porsi untuk berdua. Siapa tahu lidah kami memang tidak cocok dengan Mie Ongklok...
Satu porsi pun terhidang. Sebuah mangkuk sederhana dengan isi mie, sedikit sayur, disiram dengan kuah kanji, dan ditaburi remah ebi. Hidangan ini dilengkapi dengan sate sapi dan kuah kacang. Serta camilan mendoan yang menggoda selera.
Aku pun memutuskan untuk mencicipinya sebelum menjadi dingin. Harus kuakui, rasa Mie Ongklok ini tidak seperti yang kubayangkan. Bahkan, bisa dibilang jauh melampaui ekspektasiku.
Rasanya bukannya tidak enak, tapi memang lumayan datar, dengan nuansa ebi. Mungkin ini yang membuatnya tidak cocok dengan lidah beberapa orang yang aku kenal. Tapi untukku, itu bukan masalah. Rasa Mie Ongklok yang datar ini diimbangi (dan terbantu) oleh rasa sate yang manis. Seluruhnya daging sapi. Mendoan yang juga terhidang aku jadikan pengganti kerupuk.
Kesan Mie Ongklok yang menghantuiku selama ini, pudar. Aku bahkan hampir saja memesan satu mangkuk lagi kalau saja aku tidak malu dengan kerakusanku.
Tapi anehnya, setelah setengah jam berlalu, aku lupa dengan rasanya.
"Itu mungkin karena rasanya plain, kurang kuat," ujar Arya.
Benar juga. Yang aku ingat justru hanya rasa sate daging sapinya yang memang lezat. Untung saja semua langsung aku catat dalam notes kecilku. Ternyata Mie Ongklok cukup enak untuk dimakan, terutama dengan satenya.
"Lho, emang kata siapa Mie Ongklok nggak enak sampai nggak bisa dimakan?" tanya adikku saat aku sampai rumah dan bercerita kepadanya.
No comments:
Post a Comment