Berkunjung ke sebuah kota baru, entah itu dekat atau jauh, memang menyenangkan. Tapi semuanya terasa berbeda bila agendanya adalah mengantar sahabat pindahan.
Itulah yang aku rasakan beberapa hari yang lalu. Pergi ke Bojonegoro, Jawa Timur dengan tujuan mengantar Dhira pindah ke kota barunya. Dua malam di Bojonegoro memang kami gunakan untuk berkeliling. Bukan berwisata, tapi lebih untuk mengenal keseharian kota Bojonegoro.
Sekitar tigapuluh kilometer dari Cepu, sekitar empat jam dari Solo, dengan hawa yang sedikit mirip Jogja, Bojonegoro bukanlah kota yang besar. Jalanannya tidak terlalu besar dan banyak. Sama sekali tidak rumit untuk dihapalkan. Tapi, kota ini lebih besar dan lebih hidup jika dibandingkan dengan Rembang. Satu hal yang membuat Dhira tersenyum kegirangan, kota ini masih hidup pada pukul 9 malam.
Di Bojonegoro, kami menemukan dua Indomaret, beberapa swalayan besar, satu swalayan super besar (Bravo) yang antrian pada saat membayar mencapai 1 jam, dan beberapa cafe yang secara otomatis langsung menjadi target nongkrong Dhira.
Merujuk pada pengalaman kafe Rese, kami pun mencoba salah satunya, yaitu Cafe Adelia di Jl. Gadjah Mada.
Yah, paling tidak, akses untuk kebutuhan-kebutuhan tersier pokok bisa terpenuhi.
Kesulitan yang kami temui justru saat mencari tempat makan. Selama dua pagi di Bojonegoro, kami tidak berhasil menemukan tempat sarapan yang enak dan nyaman. Mungkin juga karena kami bangun terlalu siang. Tapi ini bisa diatasi dengan segelas susu dan beberapa potong roti.
Mencari makan siang juga tak kalah repot. Walau ada warung-warung tenda, tapi bukan tempat makan seperti itu yang sedang kami cari. Kami pun menjadikan Alun-Alun sebagai titik awal penyisiran tempat makan. Trik yang selalu ampuh untuk digunakan di kota-kota kecil (dan kadang kota besar juga!).
Benar juga pilihan kami. Di dekat Alun-Alun, rupanya terdapat sebuah jalan yang sisi-sisinya dipenuhi dengan warung-warung makan. Namanya Jl. Mastrip. Hihi... akhirnya kita menemukan food court untukmu, Dhir! :p
Pun pencarian makan malam dimulai dari Alun-Alun, dengan asumsi akan banyak pedagang makanan yang berjualan di sana. Tapi ternyata Alun-Alun Bojonegoro sedikit berbeda. Walau banyak pedagang makanan, tapi semuanya lebih cocok disebut sebagai pedagang jajanan, bukan makan malam. Tenda-tendanya yang gelap membuatnya tampak semakin tidak nyaman untuk disinggahi.
Berkeliling agak jauh dari Alun-Alun, kami justru menemukan warung pecel yang lumayan enak. Namanya Asih Sesami yang terletak di sebuah pasar yang sedang tutup (alamat menyusul - red). Bumbu pecelnya lezaT. Babatnya gurih. Tehnya nikmat. Hanya sayang, mereka menggunakan telur dadar dan bukannya telur ceplok untuk lauknya. Dan lagi, banyak sekali nyamuk di tenda itu, malam itu.
Yah, kami memang kesulitan mencari tempat makan. Tapi, untuk oleh-oleh, aku jelas yakin dengan apa yang harus aku beli. Ledre Pisang Raja Khas Bojonegoro. Tak perlu takut dengan ketiadaan toko oleh-oleh karena Ledre ini dijual di banyak warung di seantero Bojonegoro.
Setelah dua malam di Bojonegoro, akhirnya aku harus melanjutkan perjalanan. Sedih, pastilah. Tapi pasti kita akan berjumpa lagi kan, Dhir?
"Tiap weekend kayaknya aku bakal pulang Jogja," ujarnya.
Yaelah...
5 comments:
katanya dhira pindah ke exxon yah?
kantornya di mana?
thea:
Iya, kantornya di Bojonegoro, The... :)
ndie,
cuma bisa bilang thnx a lot ya..
you are the best friend ever.. :)
dan seneng deh, perjalanan itu membawa hal baik untukmu.. hihihihi.. ;)
dhiraestria dyah:
Untuk aku... ato untuk kamu,Dhir...?? *musik horor*
Kakak makasi sudah mampir di Warung Asih sesami :)
Post a Comment