Akhirnya aku menonton Laskar Pelangi. Dan banyak sekali yang ingin aku katakan. Aku kesal, karena film yang sebenarnya punya kekuatan ini disajikan dengan kualitas yang mengecewakan.
Intinya, aku kesal.
Kuakui, aku menonton Laskar Pelangi karena terseret oleh popularitas bukunya - yang belum pernah aku baca. Karena itu, aku ingin berceloteh hanya tentang film Laskar Pelangi, aku tidak berani berpendapat tentang bukunya.
Lagipula, seharusnya aku bisa puas dengan suatu film tanpa harus membaca sebuah buku terlebih dahulu, bukan?
Aku tidak ingin membandingkan film ini dengan bukunya. Menurutku, amat sangat wajar bila sebuah buku jauh lebih baik dari pada filmnya. Itu bukanlah sesuatu yang pantas untuk dijadikan suatu referensi.
Aku hanya terserang bayang-bayang film Denias dan beberapa film bertema pendidikan saat akan menonton Laskar Pelangi. Aku memang tidak mengenal tokoh-tokoh dalam film Laskar Pelangi, tapi aku berharap film ini memiliki cerita yang menarik, berbeda, dan cukup inspiratif seperti film-film yang aku bayangkan.
Sepuluh menit pertama terlewat olehku karena masalah teknis. Karenanya, aku tidak tahu apakah saat-saat awal itu ada suatu hal yang amat penting dan merupakan kunci pengikat keseluruhan film Laskar Pelangi.
Kalau memang ada, berarti semua opini yang aku tulis ini tidak layak dibaca.
Film Laskar Pelangi menawarkan visual yang luar biasa. Gambar-gambar yang luas dengan berbagai komposisi yang tertata indah. Pantai pasir putih, air laut yang jernih, langit cerah dan biru, hingga sekolah dan jalanan yang eksotis.
Ini memanjakan mataku.
Lalu pemilihan pemeran juga tampaknya pas. Tidak mencolok, realistis, dan mereka memerankan tokohnya dengan cukup baik. Baik aktor yang berpengalaman maupun yang tidak.
Tapi, sayang sekali, film yang sangat digembar-gemborkan ini tidak berhasil 'mengikat'-ku ke dalam alur ceritanya. Film Laskar Pelangi - menurutku - hanya sekedar menjadi alat pemuas rasa ingin tahu.
Entah itu rasa penasaran para bukan pembaca buku Laskar Pelangi tentang kehebohan Laskar Pelangi sendiri. Atau justru rasa penasaran para pembaca Laskar Pelangi yang ingin melihat 'visualisasi' dari lokasi, tokoh-tokoh, dan suasana dari buku idola mereka.
Menurutku, jalan cerita Laskar Pelangi sama sekali bukan esensi utama dari film itu.
Aku punya alasanku.
Sepanjang menonton Laskar Pelangi, aku tidak bisa menikmati jalan ceritanya. Seperti terlalu banyak muatan yang ingin diangkat dalam film itu, hingga justru tak satu pun yang berhasil mencapai titik klimaks.
Apa yang sebenarnya ingin dijadikan fokus di sini? Kehidupan para Laskar Pelangi, kesulitan mempertahankan sekolah, cara mengajar SD mereka yang unik, kerasnya kehidupan bagi anak pesisir, tokoh Lintang, tokoh Mahar, tokoh Ikal, perjuangan Bu Mus, atau apa?
Menurutku semua ada, dan itu justru membuatnya tak terarah.
Penggambaran masalah-masalah yang terlalu singkat dan tidak mendalam membuat aku tidak dapat menghayati apa yang ditampilkan. Kemiskinan yang terlihat sengsara saat dibandingkan dengan modernitas kalkulator dan kekayaan anak-anak SD di kota?
Oh Tuhan... seharusnya mereka bisa mengangkat suatu masalah dengan lebih halus.
Aku juga terganggu dengan adegan tarian Mahar yang sebenarnya idenya cukup bagus. Kenapa juga harus diberi musik perkusi dramatis yang tidak jelas darimana asalnya? Sebagai catatan, dalam adegan itu, hanya Mahar yang tampak membawa alat musik rebana. Lalu darimana musik perkusi dramatis yang itu muncul? Sementara drum band dari SD kota ditampilkan dengan suara-suara yang terdengar nyata.
Kesulitan-kesulitan hidup para Laskar Pelangi tidak berhasil menyentuh dan memberi inspirasi. Karena pengangkatannya kurang dalam dan tidak ada latar belakang tentang anak-anak itu.
Lalu film dipenuhi dengan tokoh-tokoh yang tidak terlalu penting. Aling yang hanya sekedar lewat dengan kuku terindahnya. Dan Tora Sudiro.
Ada apa lagi dengan Tora Sudiro? Saking tidak jelasnya ia berbuat apa di film itu (selain menjadi pemeran pendamping laki-laki Bu Mus yang juga tidak jelas fungsinya), aku lupa siapa nama tokoh yang ia perankan.
Herannya lagi, kenapa ketika Tora Sudiro muncul (tanpa melucu), sebagian penonton terkikik geli? Yah, sepertinya ia sudah berhasil menguatkan citranya sebagai komedian handal.
Tokoh Bu Mus, yang seharusnya memegang peranan penting dalam film ini, rupanya juga kurang terangkat dengan baik. Ia tampak 'hanya sekedar menjalankan tugasnya'. Dedikasi dan pengorbanannya hanya terdengar lewat kata-kata. Tidak tampak ia berjuang, kecuali satu dialog yang menyebutkan bahwa ia tetap bertahan di sekolah itu padahal gajinya terlambat dua bulan. Tokoh Bu Mus tidak berhasil memberikan inspirasi.
Ikal semangat belajar karena Lintang, bukan karena Bu Mus. Lintang semangat bersekolah karena ayahnya, bukan karena Bu Mus. Flo pindah ke sekolah itu karena tarian Mahar, bukan karena cara mengajar Bu Mus. Bahkan anak-anak itu tetap belajar ketika Bu Mus tidak ada. Lalu, di mana peran Bu Mus? :-S
Sebenarnya, tokoh yang cukup inspiratif dan 'membawa pesan' adalah tokoh Bapak Kepala Sekolah. Sayangnya, tokoh tersebut justru 'dimatikan' sebelum ia sempat berbuat banyak. Bukan untuk menolong para laskar pelangi, tapi untuk menolong film itu sendiri.
Semua uneg-uneg ini kembali pada inti film Laskar Pelangi. Satu pertanyaan penting yang tidak bisa aku jawab hanya dengan menonton film ini: apa itu Laskar Pelangi?
Ampun... seharusnya judul itu menjadi fokus cerita mereka. Dan penonton, yang tidak memiliki latar belakang penjelasan berupa buku tebal berjudul sama, bisa mengerti dari mana datangnya sebutan Laskar Pelangi. Tidak hanya sekedar panggilan oleh Bu Mus di pantai indah berbatu-batu ketika pelangi muncul.
Kenapa ada Laskar Pelangi? Apakah film ini memang dibuat untuk bisa dinikmati hanya setelah membaca bukunya?
PS: Aku tidak menyangka tulisanku akan menjadi sepanjang ini... :-S
6 comments:
aku tergelitik dg tulisanmu yg cukup panajng ini (wlo aku tahu sebenarnya masih ada lagi yg ingin diungkapkan, pasti!)
aku baru nonton film itu kemarin sore dg my little sister (dah lama bgt gak hang out ma ade ku)
mengenai film itu, aku punya pendapat lain, justru porsi dr film terlalu banyak bermain pd domain mind set `orang dewasa` deh
peran anak yg disajikan hanya sekedar remeh temeh (jk dibandingkan dlm bukunya tentunya)
parahnya lagi aku berpendapat nakal, film ini tak lebih dari `propaganda` utk mengenalkan apa itu `Muhammadiyah` bukan mereka sekolah distu adalah sebuah keterpaksaan (maksudnya pilihan lain bgtu berat bagi anak2 itu) jd mereka hanya ingin sekolah itu sudah! tak peduli apa institusi pendidikannya, tapi apa yg terjadi it`s all about Muhammadiyah values (belief me, aku pernah kuliah dr instistusi yg sama)
eh.. koq jd pjg gni commentku (hehehe tar dikira saingan lg)
oh sedikit soal Tora, bukankah guru dr sekolah Pn itu seharusnya curiga n membantah jawaban Lintang (dlm bukunya) bhkn Andrea begitu arogannya menunjukkan kemampuan seorang anak SD pinggiran yg dapat mematahkan teori seorang guru itu dg menggunakan teori yg sebegitu njelimetnya (maksud arogan dsni: ini pikiran Lintang atau Andrea yg pernah kuliah di sorbonne, dia gak sadar klo dia menjadi Lintang yg nota bene anak SD yg sdh pst belum ke Sorbonne lah!)
wah jd kritik gue neh...hehehehe
Dari sudut sempit yang nyelempit...meski tidak memuaskan rasa penasaran,bahkan dibanding denias visual gambar jauh lebih cantik denias tapi i love 100% that movie, subyektif:
1.ia tidak dibuat orang india
2.bukan film hantu atau komedi saru yang lebih gak jelas ceritanya
3.diputar wkt libur lebaran
4.tema pendidikan yg baik, mirip denias. secara, ak jg lahir di sumatera, atmosfer filmnya membangun suasana masa kecil 1980an ketika berangkat ke sekolah. bagi kita yg pnh pnya skolah dari papan, guru cuma 1 orang untuk semua mata pelajarn, yah bgitulah gmbarannya. walau ada embel2 Muhammadiyah, bkankah puluhan tahun Muhammadiyah ikut membantu pemerintah memberi akses pendidikan meski seadanya :p.
5.terakhir, ia bicara mimpi..mimpi sekolah...
aliyth prakarsa:
Hihi...emang masih banyak yang mengganjal. Tapi kalau semua dituliskan, jadi terlalu berlebihan.
Hm... aku setuju ama tulisanmu tentang tidak tampaknya keterpaksaan anak-anak itu sekolah di sana. Sepertinya, sekolah itu jadi sekolah dengan mutu yang unik dan efektif, seperti sekolahnya Toto Chan. Dengan segala nilai yang dibawa ama Bapak Kepala Sekolah (bukan Bu Mus!). Tapi (kalaupun memang begitu), kenapa itu nggak divisualisasikan dengan baik? Dan anak-anak yang sekolah di sana karena keterpaksaan juga nggak tersampaikan dengan baik. Itu tadi, semuanya serba nanggung. Padahal dia (sebenernya) punya tema cerita yang menarik. Eman-eman...
ronggolawe:
1. Kenapa kamu jadi rasis, Lam...? :-S
2. Setuju! Aku juga eneg ama film-film seperti itu. Bayangin, di 21 Amplaz sering sekali kelima studionya dipakai untuk muter film-film kita yang aneh bin ajaib. Argh... aku nggak pernah nulis tentang mereka karena aku nggak pernah nonton film gt lagi sejak Get Married, yang diakhiri dengan aku keluar dari studio sebelum film selesai. E n e g . . .
3. Yup... waktu yang tepat untuk muter film keluarga. Walopun akhirnya aku baru bs nonton Sabtu kemarin.
4. Temanya emang oke banget. Visualisasi dan atmosfer yang dibangun (mungkin) sesuai dengan 'kedekatan' memori masa kecilmu. Jadi, wajar kalo kmu bisa jatuh cinta ama film ini. Aku sendiri, justru pengen ke sana karena pengen main" di pantai pasir putih berbatu-batu... tanpa pelangi juga gpp... :p
Muhammadiyah sendiri sebenernya nggak bermasalah, cumaaa... yaitu tadi, kenapa dia justru seakan-akan cuma branding, tanpa visualisasi gimana proses belajar yang 'inspiratif' di suatu SD Muhammadiyah pedalaman. Dan pada kenyataan filmnya, sebenernya yang mau diangkat itu proses mengajar yang unik, atau anak-anak Laskar Pelangi yang memang nggak punya pilihan lain untuk sekolah karena masalah finansial? Semuanya nanggung...
Btw, sekolah reot itu berkesan sangat eksotis... kenapa nggak dijadiin cottage aja ya? :)
5. Ia bicara mimpi... tapi filmnya ngebuat aku bermimpi, nyaris tertidur di kursi bioskop... :p
Btw, kamu nonton filmnya sebelum atau sesudah baca bukunya, Lam? ;p
fur; ronggo
Non scholae sed vitae discimus - We do not learn for school, but for life. (Seneca)
yaa..tdk dipungkiri Muhammadiyah byk berjasa tp konteksnya dlm film ini. (seharusnya jk mnurut bukunya) film ini intinya ttg perjuangan anak2 meraih ilmu tp yg terjadi tlu byk porsinya pd orang dewasa (diskusi Kepala sekolah dg pak zul misalnya mnghabiskan waktu dlm frame hampir 10 mt, sekedar mbahas nilai2 Muhammadiyah.
msh byk yg harusnya ditonjolkan porsi semangat anak2 itu. Ini mgkn krn movie maker krg memiliki perspektif anak, dlm buku sebenarnya yg paling menarik perhatianku adalah ketika Mahar n Flo membetuk persaudaraan sejenis Iluminatti, mereka memecahkan misteri gaib yg mnurut pikiran masy setempat adalah sejenis setan,tahyul dlll tp kemudian dijawab scr ilmiah walo pun akhirnya mereka terjebak pd dunia gaib itu sndiri dg mendatangi dukun demi lulus ujian, tp pesan moralnya HEBAT sekali, dukun aja bilang 'KALAU MAU PINTAR YA BELAJAR!!" tp apa yg terjadi dlm film ini hanya ditayangkan sekilas saja seolah tdk penting
(weh..weh..weh.. jd panjng lg... sory `ndi ini kan blog mu, nti deh aku jg lg siapin tulisan ttg ini diblogku. kujamin klian psti capek bcanya..liat aja ngomen komentar org aja sgni pjg...wakakakwakak..
plis welcome to Endonesa-nya koelit ketjil di www.timoerlaoetnoesantara.blogspot.com)
btw gmn kbr dira?
Koelit ketjil
1.rasis?lbh khusus nasionalis..puefff! haree gene,90% film n tayangan sinetron diproduksi produser yg berkiblat ke Bollywood. tragis, orang miskin indonesia di TV and film punya rumah gedong, baju bagus,ada ac, tv, kulkas dsb...hehe...Smg Tuhan mengampuniku...
4.di lampung ada pantai begituan, hehe..penjuru depan bahkan menatap Krakatoa di pantai kalianda Resort, n pantai Belebu, plus spot divingnya juga ada katanya (klo ini nggak pernah nyoba).
5.kadang kita terlanjur membawa persepsi n harapan yg besar sebelum nonton filmnya, jadinya kecewa.
6.krn belum baca mungkin,jd aku suka...
Post a Comment