Pages

Wednesday, December 12, 2007

Menikah Sebelum Remaja? Duh...

Pertama kali aku mendengar tentang kisah pernikahan pra remaja adalah sewaktu aku masih duduk di SMP. Waktu itu, aku cukup kaget membayangkan ada anak seumuranku yang sudah punya anak. Sementara aku sendiri masih sibuk belajar membodohi sistem pramuka di sekolah.

Topik inilah yang kemudian aku jadikan sinopsis novel, syarat untuk mendaftar workshop yang diadakan oleh Yayasan Umar Kayam. Pernikahan pra remaja di suatu desa, yang aku belum tahu dimana dan seperti apa.

Pada akhirnya, topik pilihanku itu justru menjadi bumerang. Aku harus mempunyai data mengenai pernikahan pra remaja tersebut. Terserah bagaimana caranya. Aduh!

"Memang fiksi. Tapi kan tetap harus ada datanya," ucap salah satu tentor menulisku. "Jadi lebih realistis."

Beruntungnya, karena ini bukanlah studi dan penelitian, data yang kubutuhkan pun tak perlu terlalu detail. Sedikit disisipi fiksi juga tidak masalah.

Lalu aku mulai melacak secara tidak resmi daerah-daerah yang masih melaksanakan budaya tersebut. Mulai dari desanya Trimah di Magelang, hingga desanya Dhira di Rembang. Tapi kebanyakan dari desa-desa itu sudah tidak ada pernikahan pra remaja. Desa-desa yang masih melakukannya biasanya letaknya terpancil. Entah di puncak gunung yang tinggi, di seberang sungai tanpa jembatan, atau di balik perbukitan. Dan menuju ke sana, tak bisa aku lakukan secara instan.

Akhirnya pilihanku jatuh pada Desa Demungan, Ponorogo. Letaknya tak jauh dari jalan besar. Tapi, sama seperti desa-desa sebelumnya, di desa ini sudah tidak ada pernikahan pra remaja. Semenjak TKW menjadi trend, menurut Lik Kami.

Bedanya, di desa ini ada Mbah Kadiyah yang bisa dijadikan narasumber dan Mbak Erna sebagai penghubung. Aku hanya butuh satu keluarga, dan keluarga Mbah Kadiyah ini sudah lebih dari cukup. Beliau menikah saat masih anak-anak. Dan beliau juga menikahkan keempat anaknya dengan cara yang sama. Aku menginap semalam di desa itu. Dan semalam itu, Mbah Kadiyah, serta kedua anaknya; Lik Sri dan Lik Kami, menemani aku sambil bercerita panjang lebar mengenai pernikahan pra remaja.

Pernikahan pra remaja ini tidak aku ketahui asal-muasal pastinya. Yang jelas, seingat Lik Kadiyah, sejak beliau lahir, pernikahan pra remaja sudah ada. Aku pun tak berani merujuknya pada ajaran Islam atau Hindu, karena bukan kapasitasku untuk meneliti itu.

Kenyataannya, anak gadis yang hingga berusia 15 tahun belum menikah, akan dianggap perawan tua. Karenanya, ketika sudah memasuki usia 9 atau 11 tahun, kebanyakan dari mereka segera dinikahkan. Oh Tuhan. Lalu aku perawan apa?

Awalnya, aku mengira ini semua ada hubungannya dengan masalah himpitan ekonomi, seperti perjodohan-perjodohan di sinetron. Ya memang ada, tapi ternyata jauh dari yang aku bayangkan. Semakin mampu suatu keluarga, semakin cepat mereka akan menikahkan anak gadisnya. Dan anak gadis yang kurang mampu, akan menjadi perawan tua.

Anak-anak gadis itu dinikahkan bukan dengan teman sebayanya. Tapi dengan pemuda atau bapak-bapak yang usianya jauh di atas mereka.

"Jauh, Mbak. Kadang sama pemuda seumuran Mbaknya, kadang sama yang udah ubanan," ujar Lik Kami sambil membuka kulit kacang.

Oh...

Dan ketika pernikahan dilangsungkan, tak banyak para calon manten itu yang mengerti seperti apa pernikahan itu sesungguhnya. Mereka bahkan tak diberi tahu tentang rencana pernikahan. Bila harinya tiba, mereka langsung dirias dan dinikahkan. Begitu saja.

Pernikahan yang sudah dipersiapkan sejak lama oleh orang tua si anak gadis. Pertama, dilakukan 'tawar-menawar' melalui sang ayah. Lalu pada hari yang ditentukan, si anak gadis akan 'ditonton'.

Aih. Ditonton? Pikiranku melayang tak jelas.

Tapi ternyata 'ditonton' ini tak seporno bayanganku. Proses ditonton pun sederhana. Si anak gadis, pada hari yang ditentukan, akan disuruh orang tuanya untuk mengantar sesuatu ke suatu rumah. Di rumah itu, sudah ada keluarga pihak lelaki yang akan melihat anak gadis itu. Tidak ada yang berlebihan.

Hanya melihat, menyapa, dan mungkin mengobrol sebentar. Tentunya tanpa menimbulkan kecurigaan pada si anak gadis. Lalu bila semua sudah oke, baru ditentukan tanggal pernikahannya.

Alamak.

Persoalan lebih rumit muncul ketika si gadis akan menghadapi malam pertamanya. Menurut Mbah Kadiyah, itu tugas suami untuk mengajari istrinya. Tapi agar si anak gadis tetap mau tidur di sebelah suami barunya, orang tua si gadis biasanya tidur di sebelah tempat tidur mereka, dan hanya membatasinya dengan selembar kain. Kain jarik, mungkin.

'Malam pertama' ini tak selalu berhasil di kali pertama. Dan kadang dibutuhkan cara lain untuk mengajari si anak gadis. Di sini sang ayah biasanya ikut ambil bagian. Awalnya aku pikir dengan cara menakut-nakuti dengan mitos atau doktrin agama. Tapi ternyata dengan kekerasan. Dengan pukulan dan tamparan dari sang ayah.

Aduh. Miris juga mendengarnya.

Tapi memang begitulah keadaannya. Adatnya. Tradisinya. Budayanya. Kalau kekerasan sudah tak lagi berhasil karena anak gadis yang keras kepala, semua kembali pada kesabaran suami. Kadang, suami menjadi kurang telaten pada masa seperti itu. Dan karenanya sering kali terjadi perceraian.

Seperti pengalaman pernikahan pertama Lik Kami, ia bercerai sebelum hilang keperawanannya karena suaminya tidak sabar menghadapi Lik Kami kecil yang keras kepala. Namun, walau begitu, banyak juga yang pernikahannya awet hingga sekarang.

Aku berusaha mencerna semua itu dengan instan. Tapi masih ada yang belum bisa kumengerti. Apa alasan para lelaki itu menikah dengan anak-anak? Kenapa mereka justru tidak mencari gadis seusianya yang bisa diajak 'bereksplorasi'?

Seorang dosen antropologi berusaha menjelaskan hubungannya dengan maskulinitas dan virginitas. Tapi untuk mencari seorang 'perawan', kan tidak harus anak-anak?

Lalu ada lagi teori tentang kesucian. Di mana kesucian menurut mereka, tak hanya sekedar keperawanan, tapi juga di pikiran, perkataan, dan perbuatan. Dan, mungkin saja, para lelaki itu lebih suka jika menjadi 'guru' bagi anak-anak gadis itu.

"Tapi banyak juga lho cowok yang lebih milih untuk diajari," sanggah temanku yang juga seorang lelaki sambil tertawa pelan. Entah malu, entah nakal.

Hm... Aku belum menemukan jawabannya. Mungkin karena anak-anak itu tidak mungkin banyak melawan? Atau mungkin mereka hanya akan sekedar menjadi salah satu 'piranti rumah tangga'?

"Yo embuh, Mbak. Pancen ndhisik adate ngono," jawab Lik Kami.

Ah ya, jawaban yang bagus. Pancen adate ngono.


*Data hanya diambil dari satu keluarga, jadi tidak bisa digenelarisir.

6 comments:

Anonymous said...

Hhhmmmm....memperistri perempuan yang masi remaja karena pengen cari yg masi virgin...emang ya laki-laki itu. Padahal laki-laki itu mungkin udah ga "ting-ting" juga:D. Well...we live in a man realm:)

--thea--

bulb-mode said...

thea:
Katanyaaa... ada beda 'rasa' antara yang perawan dan yang tdk perawan... sementara, yang perjaka dan tidak perjaka, ada beda 'rasa' juga g ya? ;p
Dan menjadi 'yang pertama', mgkn masih penting buat mereka...

temukonco said...

Ah, tapi menurutku semua itu cuman sebatas state of mind yang berdasarkan social preference deh... *halah* hehehehe...

bulb-mode said...

iwan:
m a k s u d n y a . . . ?

Anonymous said...

Nah...maka dari itu, kaykanya memang harus ada caranya untuk ngetes kerperjakaan cowok. Pernah denger berita kalo bupati Indramayu mau ngadain tesk virginitas? Huh i hate it!! Bias gender banget, kenapa cowok2nya ga dites keperjakaan sekalian?!?!?!...tanya kenapa:))

-thearizkia.com-

bulb-mode said...

thea:
Hm... yah itu semua karena kita hidup di alam lelaki. Dengan cara pikir laki-laki... ah, bukannya radikal, tapi kadang pikiran-pikiran seperti itu jadi berkesan sempit dan egois. :(

*koq jadi serius banget?*

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...