Setelah sibuk menyelesaikan acara pengumpulan data tulisan di Ponorogo, akhirnya aku memiliki waktu luang untuk berkeliling Ponorogo. Dan melihat-lihat seperti apa sebenarnya kota Reog ini. Aku pun mulai menjelajah berbagai tempat yang menarik. Dari tempat-tempat mistis dengan berbagai legendanya, hingga tempat-tempat umum yang menjual berbagai oleh-oleh.
Planet Warrock Cafe
Sebuah kafe di tepi jalan besar. Berkat Kafe Rese di Rembang, aku jadi makin penasaran dengan Planet Warrock Cafe yang kerap - kalau tidak boleh dibilang, hampir selalu - diceritakan Mbak Erna setiap berkunjung ke Jogja.
Dan ke sana lah aku bersama Mbak Erna di suatu malam. Ternyata tempatnya tak 'semenyeramkan' Kafe Rese. Tatanannya cukup rapi, dan klasik. Menempati rumah tua yang bersih dan berpenerangan cukup, tatanan interiornya justru mengingatkanku pada rumah makan, bukannya kafe. Dengan meja bertaplak putih dan berkesan formal. Menunya pun cukup bervariasi. Andaikan hari itu aku tidak sedang berdiet, mungkin aku sudah mencoba beberapa menu sekaligus. Dan mengakhirinya dengan segelas jus yang dicampur susu. Spesial dari Planet Warrock Cafe.
Katanya, ini adalah kafe terkenal di Ponorogo. Di mana sering dijadikan tempat konferensi pers band-band terkenal bila berkunjung ke Ponorogo. Hm... mungkin saja, bila dibandingkan dengan kafe-kafe lainnya.
Di Ponorogo ini memang banyak sekali terdapat 'kafe' dan 'steak house'. Padahal, aku tak yakin animo masyarakatnya terhadap budaya nongkrong setinggi itu. Mungkin mirip dengan Jogja, banyak dari kafe-kafe tadi yang timbul-tenggelam.
Jl. Suromenggolo a.k.a Jalan Anyar
Merupakan jalan baru yang akhirnya menjadi salah satu tempat 'gaul' di Ponorogo. Di sepanjang tepi jalan itu, banyak terdapat tenda kaki lima yang menyediakan jajanan. Tentu saja bukanya setelah matahari tenggelam. Mulai dari jagung bakar, bubur, hingga teh poci. Sayang malam itu hujan rintik turun, dan perut sudah penuh terisi.
Akhirnya, kami pun memilih untuk melewatinya begitu saja. Lagi pula, sepertinya kurang asyik bila mampir di tempat itu hanya berdua saja. Mungkin lain kali.
Kecamatan Pulung
Kecamatan Pulung
Keluar dari kota, aku diajak Mbak Erna berkeliling pinggiran Ponorogo. Menaiki bukit hingga menemukan sebuah perkebunan kayu putih yang teramat luas. Sebuah pabrik berdiri tak jauh dari lokasi perkebunannya.
Daerahnya berbukit-bukit dan tinggi. Namun hawanya tidak terlalu dingin. Justru agak hangat dan mengingatkanku akan sakit masuk angin. Hihihi... mungkin itu karena semerbak bau minyak kayu putih yang kuhirup selama menjelajahi perkebunan itu.
Daerah ini cukup menarik untuk dilihat. Atau diabadikan gambarnya. Deretan pohon kayu putih kerdil dengan gumpalan daun di ujung-ujung kayunya tampak menggemaskan. Sekaligus kering. Apalagi dengan langit yang putih.
Dan sekompi polisi yang mencegat kami di tengah jalan. Razia SIM di tengah perkebunan. Huff! Polisi memang ada-ada saja!
Desa Tajug, Kecamatan Samin
Daerahnya berbukit-bukit dan tinggi. Namun hawanya tidak terlalu dingin. Justru agak hangat dan mengingatkanku akan sakit masuk angin. Hihihi... mungkin itu karena semerbak bau minyak kayu putih yang kuhirup selama menjelajahi perkebunan itu.
Daerah ini cukup menarik untuk dilihat. Atau diabadikan gambarnya. Deretan pohon kayu putih kerdil dengan gumpalan daun di ujung-ujung kayunya tampak menggemaskan. Sekaligus kering. Apalagi dengan langit yang putih.
Dan sekompi polisi yang mencegat kami di tengah jalan. Razia SIM di tengah perkebunan. Huff! Polisi memang ada-ada saja!
Desa Tajug, Kecamatan Samin
Kami melewatinya. Tak terlalu menarik. Tapi daerah ini merupakan daerah penghasil gaplek. Penduduk sekitar kebanyakan memiliki usaha gaplek, berkat adanya pabrik gaplek yang letaknya tak begitu jauh. Katanya, pabrik ini milik Mbak Tutut (masih ingat?). Bau limbah sedikit menyesakkan dada, dan itulah yang dialami oleh penduduk sekitar pabrik, dulu. Sebelum mereka justru menggantungkan hidupnya pada pekerjaan dari pabrik tersebut.
Gontor
Siapa yang belum tahu tempat ini? Pesantren paling populer, menurutku. Bangunannya bagus, bersih, dan rapi. Santrinya, katanya dilatih setiap hari untuk terus berbicara bahasa Inggris dan Arab, selain tentu saja bahasa Indonesia. Tapi sebuah peringatan 'Harus Berbusana Muslim' di gerbang masuk membuatku tak bisa mengeksplorasi Gontor lebih banyak. Aku kan hanya mengenakan celana selutut dan kaos lengan pendek. Oh!
Alun-Alun Ponorogo
Ya tentu saja, aku harus melihat alun-alun Ponorogo. Ternyata mirip dengan Alun-Alun Kidul dan berbagai keramaiannya. Beberapa arena bermain instan bagi anak-anak tersedia. Lengkap dengan jajanan dan tukang balon.
Gontor
Siapa yang belum tahu tempat ini? Pesantren paling populer, menurutku. Bangunannya bagus, bersih, dan rapi. Santrinya, katanya dilatih setiap hari untuk terus berbicara bahasa Inggris dan Arab, selain tentu saja bahasa Indonesia. Tapi sebuah peringatan 'Harus Berbusana Muslim' di gerbang masuk membuatku tak bisa mengeksplorasi Gontor lebih banyak. Aku kan hanya mengenakan celana selutut dan kaos lengan pendek. Oh!
Alun-Alun Ponorogo
Ya tentu saja, aku harus melihat alun-alun Ponorogo. Ternyata mirip dengan Alun-Alun Kidul dan berbagai keramaiannya. Beberapa arena bermain instan bagi anak-anak tersedia. Lengkap dengan jajanan dan tukang balon.
Ketika sore hari menjelang, para penjual kaki lima mulai berdatangan. Ada yang membawa gerobak martabaknya, ada yang menyiapkan stand kaosnya, dan ada pula yang hanya membawa keranjang-keranjang. Di sinilah aku menemukan beberapa oleh-oleh untuk kubawa pulang ke Jogja.
Pengunjungnya tak kalah banyak. Meriah. Mungkin seperti inilah Alun-Alun seharusnya, menjadi pusat hiburan bagi suatu kota. Yah... tentu saja sebelum mall bermunculan.
Menariknya, setiap bulan purnama, Alun-Alun ini juga menjadi tempat pertunjukan reog Ponorogo yang terkenal itu. Hm... kalau begitu, suatu saat, aku harus datang lagi kemari saat bulan purnama muncul.
Sungai Ki Ageng Merah dan Ki Ageng Biru
Dua sungai yang bersebelahan tapi tak akan pernah menyatu. Konon kabarnya dulunya desa ini dikutuk oleh salah satu dari mereka, dan tak akan pernah bersatu. Ini semua berawal dari perjodohan yang tak berjalan lancar dan justru merusak hubungan kekeluargaan kedua Ki Ageng tersebut. Bahkan hingga air sungainya.
Air keruh yang mengalir di sungai Merah, tak mungkin bercampur dengan air jernih yang mengalir di sungai Biru. Atau sebaliknya? Entahlah. Yang jelas, sewaktu aku mengunjunginya, aku bahkan hampir tidak menemukan sungainya karena kemarau berkepanjangan.
Gg. Jula-Juli
Pengunjungnya tak kalah banyak. Meriah. Mungkin seperti inilah Alun-Alun seharusnya, menjadi pusat hiburan bagi suatu kota. Yah... tentu saja sebelum mall bermunculan.
Menariknya, setiap bulan purnama, Alun-Alun ini juga menjadi tempat pertunjukan reog Ponorogo yang terkenal itu. Hm... kalau begitu, suatu saat, aku harus datang lagi kemari saat bulan purnama muncul.
Sungai Ki Ageng Merah dan Ki Ageng Biru
Dua sungai yang bersebelahan tapi tak akan pernah menyatu. Konon kabarnya dulunya desa ini dikutuk oleh salah satu dari mereka, dan tak akan pernah bersatu. Ini semua berawal dari perjodohan yang tak berjalan lancar dan justru merusak hubungan kekeluargaan kedua Ki Ageng tersebut. Bahkan hingga air sungainya.
Air keruh yang mengalir di sungai Merah, tak mungkin bercampur dengan air jernih yang mengalir di sungai Biru. Atau sebaliknya? Entahlah. Yang jelas, sewaktu aku mengunjunginya, aku bahkan hampir tidak menemukan sungainya karena kemarau berkepanjangan.
Gg. Jula-Juli
Kawasan pembuatan peralatan reog. Sebenarnya aku ingin mengambil beberapa foto orang yang sedang bekerja membuat topeng atau apapun. Namun rupanya aku salah waktu. Saat itu belum musimnya melukis reog.
Danau Ngebel, Desa Gondowido
Sebuah danau cukup luas di balik perbukitan yang melingkar, menyerupai ular. Danau ini katanya cukup angker. Dan penuh dengan mitos.
Legendanya, dulu danau ini merupakan sebuah desa. Desa yang dipenuhi oleh orang jahat. Dan akhirnya desa itu ditenggelamkan oleh 'Baru Klinting' (?).
Hanya satu orang yang selamat, yaitu nenek yang memberi Baru Klinting makanan. Mitosnya, danau ini tak bisa diseberangi sembarang orang. Setiap orang yang ke tengah danau, baik dengan kapal atau berenang, pasti tenggelam. Dan bila telah tenggelam, mayatnya sulit ditemukan. Hampir tak mungkin.
Di luar itu, daerah ini sebenarnya lumanyan nyaman. Daerah peristirahatan, seperti Kaliurang. Udaranya segar dan dingin. Pemandangannya cukup menarik, terutama dengan pohon-pohon condong di sepanjang jalanan yang mengitari danau. Ditambah dengan banyak pilihan warung makan yang menghadap ke danau. Rata-rata menyuguhkan menu nila. Akibatnya, banyak keramba nila di tepian danau tersebut.
Siap berkeliling Ponorogo?
Danau Ngebel, Desa Gondowido
Sebuah danau cukup luas di balik perbukitan yang melingkar, menyerupai ular. Danau ini katanya cukup angker. Dan penuh dengan mitos.
Legendanya, dulu danau ini merupakan sebuah desa. Desa yang dipenuhi oleh orang jahat. Dan akhirnya desa itu ditenggelamkan oleh 'Baru Klinting' (?).
Hanya satu orang yang selamat, yaitu nenek yang memberi Baru Klinting makanan. Mitosnya, danau ini tak bisa diseberangi sembarang orang. Setiap orang yang ke tengah danau, baik dengan kapal atau berenang, pasti tenggelam. Dan bila telah tenggelam, mayatnya sulit ditemukan. Hampir tak mungkin.
Di luar itu, daerah ini sebenarnya lumanyan nyaman. Daerah peristirahatan, seperti Kaliurang. Udaranya segar dan dingin. Pemandangannya cukup menarik, terutama dengan pohon-pohon condong di sepanjang jalanan yang mengitari danau. Ditambah dengan banyak pilihan warung makan yang menghadap ke danau. Rata-rata menyuguhkan menu nila. Akibatnya, banyak keramba nila di tepian danau tersebut.
Siap berkeliling Ponorogo?
No comments:
Post a Comment