Pages

Monday, August 23, 2010

Sushi Vegetarian: Sebuah Penantian

Beberapa bulan yang lalu, sempat ada pameran kuliner di Jogja Expo Center yang kudatangi karena permintaan Arya.

"Adikku buka counter di sana," ujarnya.

Maka, jadilah hari itu kami menyempatkan mampir ke pameran sebelum melakukan acara lainnya. Di counter-nya, aku menemukan menu unik yang menggoda: Sushi Vegetarian. Kami pun memesan satu porsi Sushi Vegetarian Californian Roll, dan segera beranjak dari pameran. Sushi dibungkus untuk bekal di perjalanan.

Waktu mencobanya, sushi itu rasanya cukup mengejutkan (dalam hal yang positif). Rasanya tak jauh berbeda dari sushi biasanya. Bahkan, paduan kepiting imitasi dan mayonais imitasinya pun terasa lezat. Itu yang membuatku terkenang-kenang pada sushi vegetarian.

Beberapa kali aku berniat untuk mampir ke warungnya yang terletak tak jauh dari rumahku, karena ingin membeli sushinya. Tapi apa daya, setiap kali berniat memesan sushi, ada saja kebetulan yang membuat sushi itu tidak diproduksi hari tersebut. Mulai dari karena bahannya lagi kosong, hingga karena kokinya tidak masuk.

Duh.

Hingga hari Sabtu kemarin, setelah menelepon pemiliknya, kami mendapat konfirmasi bahwa malam itu menu sushi tersedia. Meski telah berbuka puasa, kami tetap menuju warung tersebut sambil berharap-harap cemas. Jangan-jangan, seperti sebelumnya, sesampainya di warung, ada lagi kebetulan yang membuat sushi tidak tersedia.

"Nggaklah, tadi sudah diteleponin ke warung kok," jelas Arya.

Dia benar. Ternyata sushi memang tersedia malam itu. Kami pun memesan dua porsi sushi: Californian Roll dengan kepiting imitasi dan Tempura Roll dengan jamur tiram sebagai isinya.

Tak sabar, aku langsung memotret. Satu kali jepret saja dengan menggunakan kamera HP karena ingin segera mencicipi.

Satu potong sushi langsung masuk mulut. Hap!

Tapiii... tiba-tiba segala harapan dan penantianku akan sushi vegetarian ini runtuh. Rasanya luar biasa kacau. Bukan karena kepiting dan mayonais imitasi ataupun jamur tiramnya. Tapi karena paduan nasi dan nori yang menurutku ngawur. Setahuku, nasi di sushi biasanya menggunakan nasi ketan yang terasa manis, dan dimasak hingga pulen. Nah, di sini, nasinya terasa hambar, jemek, berair, dan tidak matang.

"Masih ngelethis," ujar Mbak Anggie yang tampak hampir muntah.

Aku juga merasakannya. Nasinya seperti tidak dimasak dengan benar, tapi hanya sekedar direbus, sehingga belum matang. Mungkin juga mereka saling menempel bukan karena jenis beras ketan, tapi karena nasinya jemek dan berair. Akibatnya, nasi berair yang berpadu dengan nori menghasilkan nuansa: Yuck!

Meski pun kami memutuskan untuk komplain langsung pada pemiliknya, nanti-nanti, tapi aku tak bisa menahan untuk tidak menuliskannya di sini. Di mana sebuah harapan dan penantian dihancurkan oleh nasi jemek yang oh-so-yuck!

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...