Pages

Tuesday, May 20, 2008

Bukit Berkabut di Hari yang Kalut


Aku terserang flu.

Dan setelah meminum obat flu yang mengandung obat tidur, yang ternyata membuatku justru semakin terjaga entah kenapa, aku memutuskan untuk terus terjaga hingga pukul 3 pagi. Padahal, satu hari sebelumnya, aku hanya sempat tidur 3 jam. Yaitu dari jam 3 sampai jam 6 pagi.

Tapi itulah yang harus aku lakukan agar tidak tertinggal jemputan untuk berangkat ke Candi Borobudur.

Yap. Kami akan mengamati candi megah itu bangun dari balik selimut kabutnya.

Boim, teman kuliahku dulu, mengajakku mencari lokasi untuk memotret Candi Borobudur yang masih diselimuti kabut. "Yang dari atas dan Borobudurnya terlihat kecil. Seperti foto di Kompas," ucapnya beberapa waktu sebelumnya.

Ia (jelas) berharap aku tahu tempatnya.

Sayangnya, dan mungkin ini salah satu dosa besarku sebagai manusia Indonesia, aku jarang sekali membaca Kompas. Bukan karena apa-apa. Hanya karena aku malas membaca koran.

Kolom-kolomnya, foto-foto provokatifnya, liputan 'hard news'-nya. Aku tidak suka membaca tulisan-tulisan yang seperti itu. Paling banter, aku hanya akan membaca judulnya dan melompat-lompatkan fokus di antara paragraf-paragraf mungil mereka.

Kembali ke topik, walau aku belum pernah melihat foto-Borobudur-a-la-Kompas-beberapa-tahun-yang-lalu seperti kata Boim, sepertinya aku bisa membayangkannya.

Aku pernah menemukan lokasi itu bersama teman-temanku beberapa tahun yang lalu. Dan aku juga pernah pernah melihatnya dari resto Amanjiwo di suatu malam yang indah.

Tapi semua tanpa kabut.

Alhasil pagi itu, aku bersemangat berangkat ke Borobudur, walau dihantui flu. Aku juga ingin menemukannya.

Kami berangkat berempat: aku, Boim, Felix, dan Pak Ateng. Perjalanan diwarnai dengan pembicaraan reuni antara Boim dan aku. Sementara Felix tidur dan Pak Ateng menyupir dengan kencang.

Menyenangkan sekali bertemu kawan lama. Perjalanan pun berlalu tanpa terasa. Dan kami tiba di sekitar Candi Borobudur, langsung melaju ke daerah yang (menurutku) tepat.

Aku tahu daerah itu. Tapi menemukan Candi Borobudur di siang hari berbeda dengan menemukannya di malam hari. Tanpa matahari, mata telanjang kami tak bisa membedakan batu-batuan Candi Borobudur dan pepohonan.

Akhirnya, berkat bantuan Bapak Penjaga Gerbang Amanjiwo, kami berhasil menemukan petunjuk lokasi yang paling tepat untuk melihat Candi Borobudur dan kabut-kabutnya.

Petunjuk #1: Naik terus ke atas sampai menemukan terminal. Parkir di sana.

Petunjuk #2: Cari Bumi Perkemahan. Sekitar 30 meter dari tempat itu.

Yang lupa kami tanyakan adalah detail tambahan dari petunjuk-petunjuk itu. Seperti, apakah yang dimaksud dengan terminal itu adalah sebuah terminal resmi atau hanya sebuah 'sebutan'?

Aku memang pernah mengunjungi tempat itu dulu kala, bersama Mister Samwan. Dan aku tidak ingat ada terminal di sekitar daerah Amanjiwo. Ya, aku kurang yakin akan informasi itu.

Benar ingatanku. Yang kami temukan hingga habis jalanan beraspal hanyalah sebuah rumah dengan halaman lebar. Yah, memang cukup lebar untuk memarkir beberapa colt. Tapi mungkin hanya cukup untuk satu bis besar.

Tanpa pilihan lain, kami pun parkir di 'terminal' itu. Lalu kami mendaki bukit yang sama yang pernah aku daki bersama Mister Samwan.

Ah. kenangan itu.

Bukitnya menanjak. Terjal dan licin. Aku sedikit merasa bersalah tak mampu membantu Boim dengan tripod dan kameranya yang terlihat (dan terasa) sangat berat. Sementara aku hanya membawa ransel berisi kamera ringanku dan sebuah senter.

Hari masih sangat gelap dan tak ada lampu. Akhirnya, aku bisa memanfaatkan senter abu-abu kecilku.

Ketika nafas mulai terengah-engah, dan setelah aku yakin kami telah berjalan sejauh lebih dari 30 meter, aku mulai meragukan angka 30 yang diucapkan Bapak Penjaga Gerbang Amanjiwo.

Tiga puluh meter vertikal, diagonal, atau horizontal??

Kami belum juga menemukan yang namanya Bumi Perkemahan itu, kalau pun memang ada. Karena sejauh mata memandang (yang memang hanya sebatas sinar lemah dari senterku), aku hanya bisa melihat pepohonan cabai, semak belukar, dan jurang. Sampai akhirnya pertanyaan kami terjawab oleh hadirnya Pria Desa Misterius Pembawa Golok.

Oke, itu bukan golok. Hanya sebuah sabit untuk membersihkan semak.

"Ya ini Bumi Perkemahannya," jawabnya.

Di tengah kebun cabai? Aku merasa aneh. Ini seperti adegan horor di salah satu mimpiku. Mukanya tak terlihat, sosoknya gelap. Ya iyalah. Aku tak mungkin menyorotkan senterku persis ke mukanya, bukan? Lagipula, kabut mulai turun.

"Dari bawah pohon itu, Borobudur bisa terlihat," tambahnya sambil menunjuk ke arah tebing kebun cabai.

Haha. Dan sekarang Pria Desa Misterius itu seperti berubah menjadi Guru Zen Penjaga Candi Borobudur.

Akhirnya kami menuruti titahnya dan memanjat beberapa pematang kebun cabai.

Sinar matahari yang baru lahir mulai tampak di sebalik bukit. Warnanya kemerahan. Sebentar lagi, sinarnya akan membangunkan Borobudur dari balik selimut kabutnya.

Kami pun segera bersiap. Menata tripod, mencari titik terbaik, menginjak kerajaan semut, berkelahi dengan pasukan semut. Dan menajamkan mata ke arah Candi Borobudur.

Perlahan, Candi Borobudur mulai terlihat di kejauhan. Kabut tipisnya mulai tersingkir. Berlapis-lapis, memunculkan kesan misterius yang teramat mewah.


Aduhaiiiii... indah nian...

Aku tak menyesal mengabaikan virus flu yang makin jahat pada tubuhku demi pemandangan pagi hari itu. Aku tak menyesal tidak tidur semalaman. Dan aku juga tak menyesal memecahkan jam kesayanganku akibat terantuk kamera saat terpeleset di kebun cabai.

Satu pelajaran yang kudapat pagi itu: jangan memakai sepatu kanvas untuk mendaki bukit!

Dan kalau mulai tersesat di bukit cabai yang berkabut...


...coba dengarkan rumput yang bergoyang.

Thanks guys! :D

8 comments:

Anonymous said...

;))  poto-diri-mu mulai sering muncul dengan PeDe-nya sejak 'selamat datang musim panas'...?  ;))
poto view-nya bener2 seems like melihat salah satu frame pilm Lord of the Rings llhhoo..! serius. :p

eh ini tag 'br'-nya pengaruh ga syeehh??
* is this the first time I put a comment on a blog...? :-S *

-#7-
ps: smoga terapi-indomi-nya bnr2 berkhasiat binti mujarabh nyembuhin flu-rela-mu... he.

Anonymous said...

trus mana poto yg lain? hasil jepretanmu ma boim. btw, pakabar boim skrg yaaa

RonggoLawe said...

seseorang juga mulai disebut-sebut kayaknya...huehehe. Apa sdh mau mulai dipublikasikan ceritanya?

bulb-mode said...

anonymous:
Tentang foto diri... um, sekedar ilustrasi tambahan.
Tentang film LotR... um, makasi... :)
Tentang indomie... um, bukan terapi kaleee, cuma makan sekali juga...

thea:
Boim menggendut! :p Trus foto-foto yang lain mirip-mirip koq The...g terlalu beda... :D

ronggolawe:
Hahahahaha! Itu kenangan, Laaaaaaam... kenangan yang muncul dengan membabi-buta di setiap langkah di bukit itu... :p

Anonymous said...

I guess i know the guy you're talking about:D

bulb-mode said...

thea:
Which one? Just keep on guessing, The... ;p Kayanya kamu nggak kenal deh...

dhiraestria dyah said...

siapa..?siapa..?siapa..?
siapa yang mulai disebut2?
kenangan yang mana lagi?
oooh.. aku ketinggalan banyak ceritakah?

bulb-mode said...

dhiraestria dyah:
Duh... Dhir... Kamu nggak ketinggalan banyak cerita. Kamu hanya perlu membaca sedikit lebih telaten... ;p Hahaha... secaraaaaa, ini bukan modul training, bo'...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...