Entah sejak kapan, aku sering kali mempunyai hobi baru. Akibatnya hobiku menjadi hobi musiman. Tentu saja kegiatanku dan teman-temanku mengikuti hobi yang musiman ini. Dan, jujur, hobi ini sering juga dipengaruhi oleh tren. Namun juga sering dihancurkan oleh tren.
Aku pernah jadi penggila bola, yang merasa harus menonton pertandingan sepak bola, mengenal setiap pelatih sepak bola di klub-klub besar Eropa, mengerti tentang peraturan internasional FIFA, dan bahkan mempunyai timku sendiri di game komputer FIFA Manager (kalau tidak salah). Ini bertahan selama sekitar satu tahun, sejak aku kelas 2 SMP hingga kelas 1 SMA.
Aku pernah jadi penggila bola, yang merasa harus menonton pertandingan sepak bola, mengenal setiap pelatih sepak bola di klub-klub besar Eropa, mengerti tentang peraturan internasional FIFA, dan bahkan mempunyai timku sendiri di game komputer FIFA Manager (kalau tidak salah). Ini bertahan selama sekitar satu tahun, sejak aku kelas 2 SMP hingga kelas 1 SMA.
Lalu di masa SMA, hobiku bergeser menjadi bersepeda dan berenang, serta bermain musik. Masa kelulusan SMP, hingga penerimaan SMA, aku habiskan dengan kursus berenang. Tak tanggung-tanggung, seminggu TIGA kali dan PRIVAT! Akibatnya, badan menghitam dengan cepat.
Kemudian aku melirik sepedaku yang telah lama teronggok di gudang. Aku berniat memberikan variasi luar biasa pada sepedaku itu dan berjanji (sambil menyilangkan jari) untuk rajin mengendarainya. Aku mengganti sadelnya, memperbaiki remnya, dan menambahkan spion kecil untuk keamanan. Tapi, tepat sebelum aku membeli helm sepeda, aku tidak tertarik lagi bersepeda.
Saat itu, aku juga sempat belajar musik. Aku memang sempat belajar dengan cara kursus, tapi yang aku maksud di sini adalah belajar musik otodidak. Aku belajar gitar, belajar seruling, belajar ukulele, dan belajar harmonika. Dan karena banyak sekali alasan yang aku lontarkan, tidak ada satu pun di antara alat musik yang aku sebutkan tadi, yang mahir aku mainkan.
Memasuki dunia kuliah, aku menaruh minatku pada salah satu hobi baru yang memang kuidam-idamkan sejak kecil. Berkuda. Begitu masuk kuliah dan mendapat kesempatan memilih kegiatan yang aku suka, aku langsung mendaftar menjadi anggota Klub Berkuda. Aku tidak peduli iuran per bulannya seharga separuh uang bulananku. Awalnya aku begitu bersemangat, tapi lagi-lagi hanya bertahan beberapa saat karena alasan di luar berkuda itu sendiri.
Di masa kuliah, aku makin menjadi-jadi. Hobiku semakin bertambah, tapi semuanya aku lakukan dengan otodidak. Sejak menemukan kamera Canon AE 1 milik ayahku, aku makin menyukai fotografi. Aku belajar memotret, aku belajar menulis. Keduanya masih menjadi hobiku hingga kini. Bisa dibilang, hanya kedua hobi ini lah yang berhasil bertahan.
Semakin banyak teman, semakin banyak hobi. Aku lantas mencoba menyelam, naik gunung (yang hanya sekali dilakukan), merajut (berhasil membuat syal dan tempat HP!), bercocoktanam, traveling, rally (berhenti karena trauma), berkemah, tae kwon do, kapoera (berhenti karena takut dengan pelajaran hari kedua), aikido, dan berbagai kegiatan lain yang menarik minatku saat itu. Ini belum termasuk hobi-hobi sesat akibat tren, seperti skateboard.
"Bulan depan hobinya apa, Dik?" Kakakku sempat bertanya di suatu hari, menggambarkan betapa seringnya aku mengganti hobi.
Setelah lulus kuliah, hobiku juga tetap saja berganti-ganti. Aku suka berlari, mendisain baju sendiri, berwisata kuliner, menonton acara seni, dan road trip. Hingga saat ini, beberapa hobi masa kuliah dan setelah lulus tersebut masih sering aku lakukan. Meski begitu, jangan tanya berapa lama mereka akan bertahan. Aku tidak tahu hingga kapan.
Yang jelas, bila sekali lagi kakakku bertanya tentang hobiku, aku sudah punya jawabannya.
Hobiku adalah mencoba segala sesuatu yang menarik untukku. Dan bila itu sudah tidak menarik lagi, apakah salah untuk berhenti?
Gambar: Buku Get a Hooby! karya Tina Barseghian.
2 comments:
tapi semua hobi kamu asik2 :)
@ enno:
Yang lebih asyik sebenernya proses belajarnya, Enno... :p
Post a Comment