Tambah Lagi, Please...

Bulan puasa diakhiri dengan perayaan hari raya Idul Fitri. Hari Kemenangan. Yang juga memiliki kutukan tersendiri untukku. Hari Raya Idul Fitri atau lebaran hampir selalu identik dengan manajemen makan yang berantakan.

Jadwal makan tak lagi sarapan, makan siang, dan makan malam. Atau sahur dan berbuka. Tapi menjadi sarapan, camilan, makan siang, camilan, jajan, makan malam, dan camilan. Walaupun sebenarnya ini bisa diakali dengan melaksanakan puasa Syawal. Tapi, masak melaksanakan puasa Syawal hanya karena alasan agar tidak melakukan manajemen makan yang salah?

Biasanya dimulai dari malam lebaran, hidangan berbuka terakhir di akhir bulan puasa. Karena hari terakhir, tak jarang kami berbuka di luar. Tahun ini di sebuah rumah makan Padang yang hidangannya - menurutku - amat lezat. Gulai otak, gulai sotong, ayam bakar, dengan bumbu rendang dan berbagai macam hidangan bersantan.

Lalu beberapa hari ke depannya, sesuai tradisi, terhidang makanan-makanan yang tak mungkin ditolak untuk dimakan. Sebagian karena memang menggoda, tapi sebagian lagi karena perasaan 'tidak kepenak' saat berkunjung ke rumah sanak keluarga.

Opor ayam buatan ibu yang lezat dengan ketupatnya, sambal goreng basah yang nikmat dipadukan dengan ketupat dan opor, sambal goreng hati kering buatan tante yang ekstra pedas, ayam goreng Kalasan Mbak Is, rendang buatan tante dari Jakarta yang rasanya benar-benar pas, mie ayam dan bakso kotak yang super enak buatan tante yang lain lagi, serta jajanan di luar yang tiba-tiba merusak niat berdiet, seperti mie njemek di depan rumah eyang, bakso tenis di Magelang, dan Sapi Bali. Terus berulang-ulang dan berporsi-porsi.

Belum lagi selingan camilan berupa kastengel, putri salju, kacang bawang, kacang mete, nastar, kue kacang, dan berbagai macam biskuit khas lebaran buatan budhe. Lalu kue-kue hantaran dari kolega.

Dipadukan dengan kegiatan-kegiatan yang minim membakar kalori, beratku bertambah ENAM kilogram!