Pages

Thursday, October 28, 2010

Selamat Jalan, Mbah...


Kemarin sewaktu Mbah Maridjan baru diduga meninggal, aku benar-benar berharap dugaan itu salah. Aku sangat berharap, setelah kekacauannya mereda, Mbah Maridjan ditemui turun dari gunung setelah beberapa hari menghilang untuk bersemedi - seperti tahun 2006.

Lalu kemudian semakin lama, dugaan bahwa jenazah yang ditemukan bersujud itu Mbah Maridjan semakin kuat. Entah mengapa, hatiku seperti teriris setiap sadar bahwa dugaan itu semakin kuat. Ini terjadi setiap aku membaca perkembangan berita di internet.

Rasanya... sedih dan sesak.


Sebenarnya aku heran dengan perasaan ini, karena kedekatanku dengan beliau bisa dikatakan tidak ada. Aku bahkan belum pernah bertegur sapa dengannya. Hanya, dulu sekali, saat aku KKN, aku tinggal di daerah Cangkringan dan beberapa kali berkunjung ke dusun Kinahrejo. Mungkin sekali saat itu aku bertamu atau berkunjung ke rumahnya, tapi aku tak ingat karena saat itu beliau belum seterkenal sekarang.

Meski begitu, ketika bukti-bukti sekunder - seperti ibu jarinya yang bengkok serta batik dan kopiahnya - semakin memperkuat dugaan itu. Aku makin sedih. Aku pulang kantor dengan perasaan 'kosong'.

Malamnya, aku makin tidak kuasa menahan perasaan sedih, yang bercampur dengan perasaan kesal dan tidak terima.

Bukan. Aku bukan kesal atau tidak terima dengan kematiannya. Aku justru sedikit yakin, kematian seperti inilah yang diinginkan oleh Mbah Maridjan, meninggal di tangan Gunung Merapi yang dijaganya. Mungkin juga beliau bahkan sudah tahu bahwa akhir hayatnya memang sudah dekat.

Aku kesal dan tidak terima dengan komentar-komentar orang-orang yang menyudutkan dan menyalahkan Mbah Maridjan atas munculnya korban-korban sipil lainnya. Mereka yang mengatakan bahwa Mbah Maridjan seharusnya memimpin mereka untuk mengungsi. Mereka yang mengatakan bahwa kekerasan-kepala Mbah Maridjan menyebabkan meninggalnya orang-orang yang akan menyelamatkannya. Mereka yang mengatakan bahwa Mbah Maridjan egois.

Asal mereka tahu saja, logikanya tidak sama. Tidak akan pernah sama.

Seperti persetujuan Mbah Maridjan untuk menjadi bintang iklan produk minuman energi dengan persyaratan bahwa hasil dari pekerjaan itu seluruhnya masuk untuk kesejahteraan di sekitarnya. Apakah itu logis, bagi orang-orang awam, untuk menolak rejeki berlimpah yang datang pada saat rumah mereka hanya terbuat dari kayu dan pekerjaan mereka beternak dengan pendapatan yang pas-pasan?

Logika mereka pasti akan menyuruh untuk mementingkan diri mereka terlebih dahulu, seperti menabung dan membuat rencana masa depan, lalu baru memberikan sebagian dari uangnya untuk kesejahteraan sekitar - kalau masih ingat. Tidak mudah untuk menolak kemakmuran duniawi.

Lalu mengapa Mbah Maridjan tidak mengungsi? Tidak ada yang tahu pasti. Mbah Maridjan dititipi Gunung Merapi oleh Sultan HB IX. Orang awam - terlebih mereka yang tidak hidup di sekitar Gunung Merapi - mungkin tidak akan tahu ikatan yang terjalin di antara penduduk dengan gunungnya. Apalagi ikatan antara Mbah Maridjan, Sultan HB IX, dan Gunung Merapi yang merupakan titipan.

Lagi pula, Mbah Maridjan sudah meminta orang-orang untuk mengungsi sesuai arahan pemerintah. Meminta mereka untuk tidak mengikutinya.

Sebenarnya ini bisa sedikit dianalogikannya seperti nahkoda kapal yang dititipi sebuah kapal. Sebuah kapal yang sangat-sangat-sangat berharga. Ketika kapal itu akan tenggelam, apakah sang nahkoda akan meninggalkan kapalnya? Kalau nahkoda itu berasal dari pejabat-pejabat kita sekarang yang hanya memikirkan kemakmurannya, pasti dia akan segera menaiki sekoci penyelamat pertama.

Tapi, nahkoda yang berdedikasi hanya akan meninggalkan kapal ketika telah yakin bahwa tak ada lagi penumpang di dalam kapal, atau dia lebih rela mati dengan kapalnya.

Hm... memang agak kurang tepat karena kapal merupakan benda mati, sementara Gunung Merapi bagi beberapa penduduk di sekitarnya sudah dianggap 'tetua' mereka - apalagi bagi Mbah Maridjan.

Apakah ini lantas membuat beliau tampak bodoh? Tidak. Ini merupakan kesetiaan dan pengabdian seorang Mbah Maridjan terhadap tugas yang diserahkan padanya.

Mengingat sosoknya yang renta di usia 83 tahun, kecil, selalu tersenyum, penuh kearifan lokal, selalu prasojo, sederhana, rendah hati, jujur, ramah, dan keras kepala, aku trenyuh mendengar rentetan perkataan yang menyudutkan dan menyalahkannya.

"Beliau orang besar, tidak akan terpengaruh oleh itu semua," ucap Arya menenangkanku ketika aku terisak-isak meneleponnya semalam.

Iya, aku sampai menangis.

Kemudian aku berpikir, bahwa mungkin ini sudah saatnya bagi Mbah Maridjan untuk beristirahat. Tugasnya sudah selesai dengan sempurna dengan penuh dedikasi serta pengabdian. Mungkin saja Sultan HB IX sudah memintanya pensiun, Gunung Merapi sudah tak perlu lagi dijaga. 

Atau jamannya yang memang sudah berubah dan pengabdian Mbah Maridjan nantinya justru akan menjadi olok-olok?

Aku tidak akan terima.

Mbah Maridjan akhir-akhir ini memang jarang terekspos, karena beliau tidak ingin. Tidak ada foto, tidak ada video dalam liputan-liputan. 

"Kepala saya bisa besar. Kalau kepalanya besar kan tidak seimbang dengan badannya to," kira-kira ucap beliau sambil menggambar sesosok orang dengan kepala besar di atas tanah halaman rumahnya, sehari sebelum beliau meninggal.

Aku terharu hebat melihat tayangan yang didapat secara sembunyi-sembunyi, yang kemudian diputar di TV itu semalam. Semoga kearifan Mbah Maridjan bisa menemukan penerus-penerusnya di tengah negeri yang porak-poranda moral pejabatnya. 

Tapi pagi ini perasaanku jauh lebih tenang melihat banyak juga orang yang tidak berpikiran sepicik itu.

Selamat jalan ya, Mbah... Mbah istirahat saja yang tenang... :'<



* Lebih lanjut baca Arti Merapi Bagi Mbah Maridjan.

2 comments:

wippie said...

l.i.k.e..:) good piece ki:)

bulb-mode said...

Makasi, Wippie... waktu itu aku bener-bener sedih, tapi ngerasa percuma ngejelasin ke satu per satu orang yang bilang kalau Mbah Maridjan salah karena nggak mau ngungsi. Nggak akan sama logikanya. :(

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...