Pages

Thursday, April 28, 2011

E-Book Device yang Kudamba


Akhirnya e-book device pesananku sudah di tangan!

Pertama kali aku melihat e-book device semacam ini adalah di akhir tahun 2007. Waktu itu majalah Tempo sedang me-review gadget ini, tapi yang merk Sony.

Nah, karena aku suka sekali membaca buku tapi tidak terlalu suka mengkoleksi sesuatu, kupikir alat ini adalah jawaban atas penuhnya kamarku akibat buku yang menumpuk.


Kebetulan, beberapa hari sebelumnya, seorang editor buku dari sebuah penerbit pernah menanyakan pendapatku apakah buku yang sekarang ada akan terganti oleh e-book.

Saat itu aku jawab, selama e-book hanya bisa di baca di komputer, buku konvensional akan aman. Kenapa? Karena menurutku membaca buku di komputer itu tidak nyaman. Ya untuk mata, ya untuk tangan, ya untuk badan. Meski komputernya netbook mini sekalipun.

Dan kalaupun ada temanku yang pernah nge-print e-book dengan judul terkenal untuk dia baca gratisan, itu juga tidak menjamin. Karena harga nge-print justru bisa lebih mahal, padahal kemasannya jadi jelek.

Tapi, begitu aku melihat e-book device dimuat di majalah Tempo, persepsiku terhadap e-book 
vs buku konvensional bergeser drastis. Tentu saja.

Meski aku tidak begitu paham sistem pembayaran bagi sang penulis, cara proteksi hak cipta, dan hal-hal yang berkaitan dengannya, menurutku e-book memang buku masa depan.

Bayangkan, satu alat dengan ukuran sewajarnya novel tapi jauh lebih tipis, dengan berat hanya 250g, bisa menampung hingga ribuan file e-book (menurut promosinya). Ini membuat e-book
terdengar super praktis dan 'perlu'.

Lalu aku pun berniat membeli.

Meski sempat teralihkan fokusku oleh iPad dan Galaxy Tab, akhirnya aku bisa kembali melihat kebutuhanku. Semua orang memang bilang bahwa jauh lebih mending membeli iPad ketimbang e-book device biasa.

"Nanti nyesel lo," ujar mereka, kebanyakan. "Apalagi iPad lebih lengkap...bla...bla...bla..."

Ya memang sih. Dan lebih menghibur, aku tahu. Tapi, kan aku butuhnya alat untuk membaca e-book.

"iPad juga bisa!"

Bisa sih bisa, tapi dari ukuran dan berat, dan harga kan udah jauh berbeda. Padahal aku tidak butuh bermain angry birds atau veggie samurai, tidak butuh lihat youtube, dan sebagainya.

Aku cuma butuh alat untuk mengakses e-book dengan nyaman. Maka, pencarianku pun dimulai.

Sayang beribu sayang, ternyata yang menjual e-book device di Indonesia teramat jarang. Kalaupun ada, harganya mendekati iPad generasi pertama. Selain itu, kebanyakan menjadikan iPad da Galaxy Tab sebagai pengganti e-book device.

Ketika aku masuk ke situs-situs luar negeri, justru banyak yang menjual e-book device ini. Kenapa? Aku sendiri tidak tahu.

E-book device dari Kindle, Nook, dan Sony menurutku yang paling layak beli. Kindle, terutama. Meski begitu, mereka rata-rata diproduksi dengan layar monochrome, tidak berwarna, padahal harganya yang paling murah di atas 1,5 juta rupiah.

Apa karena ini, lalu dianggap buruk di Indonesia?

Tidak tahu. Yang jelas, dari penelitian oleh Amazon.com yang disebutkan oleh seorang teman, layar tanpa warna itu justru merupakan kelebihan e-book device. Dengan membuat layarnya tanpa warna, mata kita tidak akan secepat itu lelah.

Tampilan seperti tinta di atas kertas ini ternyata suatu teknologi tersendiri: teknologi e-ink

Wajar kan kalau aku ingin e-book device karena memang aku ingin e-book device? Dan bukannya iPad atau Galaxy Tab.

Sekali lagi, sayangnya, toko-toko online yang menjual e-book device tadi tidak ada yang mau menjual ke Indonesia. Baik e-book device-nya atau konten e-book-nya.

Tanya kenapa.

Aku pun melanjutkan surveyku kian-kemari, hingga bertemu dengan papataka.com. Ini adalah situs satu-satunya milik Indonesia yang menjual tak hanya konten e-book, tapi juga device-nya. Wow!

Hati menjerit gembira.

Konten e-book-nya tidak hanya menyediakan novel-novel terbitan Indonesia, tapi juga novel impor serta e-book non-fiksi baik impor maupun Indonesia. Cara pembelian e-book device-nya mudah dan barang aku terima keesokan harinya.

Lalu, aku mencoba download buku langsung dari e-book device juga tanpa kesulitan. Yang agak merepotkan cuma ketika akan membeli konten e-book dari device (yang dilengkapi wi-fi), tidak bisa menggunakan kartu kredit. Jadi tetap harus transfer lalu bukti dikirim ke mereka.

Dan walaupun e-book device yang aku beli pada akhirnya tidak secanggih Kindle, Nook, ataupun Sony, aku cukup puas. Merknya iRiver Cover Story, keluaran Korea. Dengan teknologi e-ink, tulisan yang muncul memang mirip seperti tulisan di kertas novel biasanya.

Hanya saja, layarnya yang touch screen itu tidak sesensitif iPad. *Ya iya lah!*

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...