Pages

Wednesday, June 4, 2008

Diayun, Bukan Dilempar!


Waktu bersenang-senang yang tepat adalah selepas kerja seharian. Tidur, membaca, bermain piano, menari, menyanyi, bowling, apapun.

Itu pula yang aku lakukan semalam.

Aku bermain bowling selepas kerja. Um... sebenarnya, temanku yang bermain bowling selepas kerja. Sementara aku sedikit bingung dengan jam kerjaku yang tidak teratur.

Jogja memang sudah memiliki arena bowling sejak aku masih tinggal di Jakarta, sekitar 3 tahun yang lalu. Tapi hingga kemarin, aku belum pernah sekali pun mencoba bermain bowling. Hanya karena alasan aku tidak tertarik hingga malas mencoba. Dan ajakan yang ada pun selalu datang pada waktu yang tidak tepat.

Kecuali semalam. Ajakan bowling yang tidak spontan akhirnya berhasil direalisasikan.

"Nanti ada instrukturnya koq," jelas temanku.

Yup. Ini memang pengalaman pertamaku menyentuh bola bowling dan berusaha merobohkan pin-pin yang menantang di ujung lantai kayu.

Menggugupkan.

"Jempol di lubang ini, dan dua jari di lubang lainnya. Kaki kanan di belakang kaki kiri," ujar Mas Instruktur.

Kenapa?

"Biar bolanya nggak nabrak kaki," jawabnya.

Oh... aku baru tahu kalau kaki kanan di belakang kaki kiri itu mempunyai fungsi, dan bukan sekedar gaya belaka. Lalu?

"Jempolnya menghadap ke depan," kata Mas Instruktur. "Lihat arah panah, jangan lihat pin."

"Pakai bola yang berat lebih enak," sahut temanku. "Yang 8 kg."

"Kakinya menghadap ke arah pin. Badannya juga," ucap Mas Instruktur.

"Diayun-ayun dulu aja," saran temanku.

Okay, terima kasih. Semua orang sangat membantu hari ini. Dan aku pun 'melempar' bolaku.

Bam!

"Jangan dilempar, diayun saja," ulangnya.

Ya, aku mengerti.

Jantungku tadi juga sempat berdetak kencang. Takut lantai kayu tak kuat menahan hantaman bola 9 kg yang aku, um... lempar.

Dua lemparan, beberapa ayunan, bola menggelinding dengan (amat) lambat tapi lurus, dan... strike!

Terlihat bukan, betapa bola kuning itu menggelinding dengan amat-sangat pelan, hingga tampak seperti berhenti?

Memperoleh strike di awal permainan, membuatku sedikit berpikir bahwa mungkin saja aku memang terlahir untuk bowling.

Tapi sayangnya itu masih percobaan. Tidak dihitung.

Dan ternyata, aku memang tidak dilahirkan untuk bowling. 'Lemparan' itu murni keberuntungan. Giliran-giliran selanjutnya, walau bola masih menggelinding dengan pelannya, aku tak mampu mencetak angka yang spektakuler. Keberuntungan pemula menghinggapiku terlalu dini.

Di akhir game pertama, nilai yang tertera di layar 99-40. Aku 40. Kami melanjutkan permainan.

Di game yang kedua, masih dengan gaya bola-menggelinding-pelan-tanpa-power, aku berhasil memperoleh kemajuan yang cukup signifikan. Nilainya 106-57. Aku 57. Haha! Tidak buruk, kan?

Cukup sudah olah ragaku semalam. Aku menghabiskan es Nutrisari manisku untuk mengembalikan kalori yang tidak seberapa terbakar.

Satu hal yang pasti, aku tidak akan bermain bowling dengan kuku tangan yang masih panjang.

Yup. Kuku jempol kananku patah.

4 comments:

Anonymous said...

akhire photo yang kmu pamerkan ini di publish jg

bulb-mode said...

Hihihihi... ;p Bola-bola bowling bewarna-warni...

Anonymous said...

Tapi sayang, fotomu tampak belakang, jadi ndak bisa liat wajahnya, udah gitu foto temen bowling yang satunya ndak keliatan... :D Padahalkan mau saya koleksi hihihihi...

bulb-mode said...

temukonco:
Itu papparazi yang mencuri gambarku. Jadi aku nggak sempat pose... :-S Dan temanku bersembunyi entah di mana, jadi luput dari incaran papparazi... :p

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...