Pages

Thursday, September 4, 2008

Jembatan, Gua, dan Danau

Daerah itu sepertinya aku kenal. Tebing-tebing yang tinggi, di tengah sepinya pedesaan. Hijaunya pohon hanya tampak segelintir, lebih banyak tanah yang coklat kekuningan.

Mobil terus kulaju hingga ke ujung jalan. Jalan tanah yang berdebu. Suasananya masih sepi. Hening dan hambar. Kering.

Di ujung jalan, kulihat jembatan itu. Ya, jembatan yang diceritakan ayahku. Panjang sekali, jelas lebih dari 500 meter. Ia bergoyang-goyang mengikuti ritme hembusan angin.

Tali-tali yang sudah menyerabut menjadi penyangga utamanya. Dan juga penyangga satu-satunya. Lantainya yang bewarna merah - yang entah terbuat dari apa - tampak kotor. Seperti sudah lama sekali tidak digunakan.

Sejauh mataku memandang, ke segala arah, memang tak kulihat satu pun makhluk hidup selain aku.

Jembatan panjang itu menghubungkan jalan yang sedang kupijak dengan sebuah mulut gua yang besar. Lebarnya cukup untuk dilewati sebuah mobil jip.

Kurasakan aku ragu sejenak. Tapi kujalankan saja mobil ke arah jembatan. Memasukinya.

Lagi-lagi ayahku benar. Pemandangannya menakjubkan. Di bawah jembatan - jauuuh sekali di bawahnya - terlihat danau yang cukup besar. Warna airnya yang biru tua memantulkan sinar matahari yang menyilaukan.

Ketinggiannya membuatku bergidik. Belum lagi suara rengekan dari tali-tali jembatan, yang keluar setiap kali jembatan berayun karena tertiup angin. Jembatan ini bisa saja putus setiap saat.

Kujalankan mobil perlahan-lahan. Berhenti setiap kali ayunannya bertambah kencang. Aku tak berani sering-sering melihat ke bawah. Walau indah, tapi itu menyadarkanku bahwa aku tak hanya sedang melewati jembatan. Aku sedang berada beberapa ratus meter dari permukaan danau dan hanya bergantung pada sebuah jembatan tua yang tampak rapuh. Seperti terbang.

Mobil terus merayap pelan, dan jembatan tak sekalipun berhenti berayun.

Aku sampai di mulut gua ketika matahari sedang terik-teriknya. Guanya tidak terlalu lebar dan buntu. Tapi teramat bersih untuk sebuah gua. Kering, berpasir, dan tidak berbau. Udara di dalamnya juga sejuk, meski entah bagaimana sinar matahari berhasil menerobos masuk. Nyaman sekali.

Di ujung lain jembatan, tempat aku masuk tadi, kulihat banyak mobil mulai mengantri. Sebagian bertahan lama di mulut jembatan, sebagian langsung pergi entah ke mana. Mereka seperti ingin kemari, tapi ragu. Takut mungkin.

Sore menjelang dan mobil-mobil mulai menyingkir. Suasana kembali sepi. Hanya sebuah mobil yang berani menyusulku, sebuah sedan silver.

Sekarang malam telah tiba. Angin bertambah kencang, mengguncang-guncang jembatan tua itu. Aku tidak mungkin menitinya kembali untuk pulang. Hanya orang dengan keberanian yang luar biasa atau gila yang mau melakukannya. Hm... sepertinya kami terjebak di gua ini. Dan satu-satunya cara untuk kembali adalah bangun.

6 comments:

Anonymous said...

dudull..iki fiksi tho?
ta kira tenanan:D

Anonymous said...

mimpimu aneh melulu..:(

Anonymous said...

aku pingin beli sedan silver ah... :)

bulb-mode said...

thea:
Bukan fiksi, The...hanya mimpi... :p Seru koq, kayak nonton film interaktif...

anonymous:
Haduh... namanya juga mimpi... :p Lumayan memacu imajinasi...

pitu:
Cepet beli gih... ;p

dhiraestria dyah said...

jadi kamu akhirnya extend berapa hari di tempat itu?
btw, kamu sempet mancing di danaunya nggak?

bulb-mode said...

dhiraestria dyah:
Aku berharap ketemu Indiana Jones dan extend di sana untuk bertualang memancing di danau... tapi sayangnya dia g dateng... :-S

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...