Pages

Saturday, May 5, 2007

The Namesake, Ketika Keluarga Menjadi Sangat Berharga

Keluarga. Terdekat, namun kadang terabaikan. The Namesake, novel pemberian seorang teman ini menyadarkanku tentang pentingnya keluarga. Bukan seberapa 'penting' mereka, namun lebih pada kebutuhan kita akan keluarga.

Mengambil tokoh seorang pemuda India bernama Gogol, The Namesake sebenarnya bercerita tentang arti sebuah nama. Namun perjalanan hidup pemuda dan keluarganya tersebut digambarkan dengan sangat detail dan menyentuh. Gaya penulisannya sederhana dan mampu diikuti dengan mudah. Novel ini bercerita tentang kepindahan sebuah keluarga India dari India ke AS. Berawal dari sepasang suami istri, Ashoke dan Ashima, yang nantinya akan membesarkan anak-anak mereka, Gogol dan Sonia, di negeri asing.


Seiring bertambahnya umur Gogol, sang tokoh, berbagai pemberontakan diri dan penolakan diri tergambarkan dengan semakin jelas. Penolakan terhadap akar budayanya yang ia anggap tidak 'Amerika'. Keinginannya untuk benar-benar menjadi orang Amerika semakin membuatnya jauh dari keluarganya karena mereka selalu mengingatkannya pada akarnya. Pada budayanya.

Keluarga India yang komunal dengan perhatian, yang menurut Gogol, berlebihan, sering membuatnya malu. Ibunya yang selalu mengenakan sari serta bapaknya yang menurutnya terlalu sederhana dan tidak modern, ia anggap bukan sebagai panutan. Ia lebih memilih merayakan Natal, bukannya Perayaan Durga, karena lebih populer. Ia berusaha menanggalkan segala atribut budayanya, dengan menjauhi keluarganya. Bukan membencinya, namun hanya menciptakan jarak dengan mereka.

Namun keadaan berubah ketika tiba-tiba sang ayah terkena serangan jantung dan meninggal. Gogol dan adiknya kembali ke rumah mereka dan menyadari kebutuhan mereka akan keluarga. Ingatan-ingatan Gogol tentang ayahnya semakin menyiksa aku sebagai pembaca.

Membacanya, aku merasa dapat melihat dari dekat kehidupan keluarga Ganguli. Bagaimana kebahagiaan Ashoke dan Ashima ketika mendapatkan Gogol, kehidupan saat-saat Gogol masih benar-benar membutuhkan mereka, bagaimana pengorbanan mereka yang tak diketahui Gogol, harapan-harapan yang tak pernah terucap, hingga kekhawatiran yang kadang terasa berlebih, hanya atas nama kasih.

Sementara di lain pihak, Gogol merasa kecewa dengan budaya keluarganya yang berbeda dengan keluarga Amerika umumnya, benci dengan nama pemberian orangtuanya, serta aturan-aturan tak tertulis tentang kedekatan keluarga yang kadang membuatnya muak. Hingga akhirnya penyesalannya datang ketika semua sudah terlambat.

Budaya keluarga Ganguli sebenarnya tak jauh berbeda dengan kebudayaan keluarga di Indonesia yang komunal. Karenanya, karya ini memiliki kedekatan personal denganku. Sering kulihat, atau mungkin menjadi, anak seperti Gogol. Seorang anak yang melihat keluarganya sebagai sesuatu yang 'kurang', walau apa pun yang dilakukan. Rumput tetangga selalu tampak lebih hijau cocok digunakan untuk menggambarkan keadaan ini. Ketiadaan penghargaan yang pantas pada orangtua yang telah memberikan segalanya dan kebahagiaannya pada anak-anaknya.

Buku ini benar-benar membuatku sadar posisi sebuah keluarga. Rasa bersalah dan ketidakmampuan untuk berbuat apa-apa ikut menyeruak ketika aku sampai pada Bab V, ketika sang ayah meninggal mendadak. Membuatku harus meletakkan buku tersebut sejenak, untuk sekedar menenangkan diri. Bayangan ayah Gogol yang pincang namun gigih berjuang untuk keluarganya secara tak langsung merepresentasikan ayahku yang kerap mengabaikan kesenangannya sendiri demi kesenangan istri dan anak-anaknya. Itu membuatku sedih, dan takut kehilangan orang tuaku. Aku merasa harus membunuh Gogol-ku dan menghargai keluarga yang kumiliki.

*Aku dengar film ini sudah diputar di Amerika Serikat sejak tanggal 9 Maret lalu. Masuk Indonesia nggak ya?

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...