Pages

Saturday, May 8, 2010

Feminis Oportunis

Tadi pagi, sebuah e-mail masuk, menyampaikan kabar bahwa telah diresmikan oleh Linda Gumelar sebuah Universitas Perempuan pertama di Indonesia. Tujuannya jelas, untuk memberdayakan perempuan di Indonesia.

Sebenarnya ini bagus.

Tapi, yang menggangguku adalah masalah gender itu sendiri. Menurutku, persamaan gender bukan berarti membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan. Bukan pula memberikan banyak prioritas agar perempuan berada di atas laki-laki. Bukan pula perempuan berlomba-lomba 'menjadi' laki-laki, karena pada dasarnya memang ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Perbedaan itu bukan untuk saling dikalahkan, tapi justru untuk disyukuri dan dimanfaatkan.

Yang namanya persamaan gender, bukan berarti menyamakan standar dengan pria. Sebenarnya aku tidak memiliki latar belakang yang cukup untuk membuat sebuah teori mengenai persamaan gender. Aku hanya bisa berbicara sesuai yang aku tahu dan yang aku rasakan.

Bagiku, persamaan gender ini berdasar pada pilihan dan persamaan kesempatan.

Persamaan kesempatan apa? Ya persamaan kesempatan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan yang sama. Bukan perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Baik dari segi belajar, dari segi bekerja, ataupun dari segi penolakan itu sendiri.

Kalau mau lebih adil lagi, ini berarti laki-laki juga boleh memiliki kesempatan yang sama. Kalau perempuan boleh memilih karir, boleh dong laki-laki memilih jadi bapak rumah tangga? Kalau perempuan dapat cuti hamil, laki-laki boleh dapat cuti karena menjadi bapak, enggak? Aku pernah dengar, di beberapa negara ada cuti untuk bapak yang baru memiliki anak.

Ini bukan berarti membela laki-laki. Hanya saja, bagiku, kata-kata seperti "Perempuan tanpa laki-laki bagaikan ikan tanpa sepeda" tidak bisa dikatakan mencerminkan kekuatan feminisme dalam hal persamaan gender.

Di luar itu, persamaan gender juga bukan berarti perempuan yang menyetarakan dirinya adalah mereka yang memilih karir. Tidak. Perempuan yang menyetarakan dirinya adalah mereka yang bisa memilih sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan keinginannya - yang diukur atas standar yang mereka terapkan sendiri.

Kalau mereka memang ingin karir, pilih karir. Tapi kalau lebih suka menjadi ibu rumah tangga, tidak ada masalah. Juga di dalam rumah tangga. Suami-istri adalah partner. Pembagian pekerjaan di dalam rumah tangga sudah seharusnya ditetapkan oleh kedua pembentuk rumah tangga itu sendiri, bukan oleh standar dari luar.

Perempuan tidak harus memasak, dan laki-laki tidak harus memperbaiki mobil kalau memang kesepakatannya seperti itu. Tapi bukan berarti mereka tidak boleh melakukannya kalau memang ingin.

Bukankah begitu?

Tapi, kalau ditanya mengenai aliran feminisme, aku lebih memilih menjadi feminis oportunis. Aku bisa kok sekedar mengganti lampu, meng-up-grade jendelaku, mengganti ban mobil. Aku juga tidak harus dibukakan pintu mobil kalau mau turun, tidak harus ditemani menyeberang jalan, tidak harus diantarkan ke mana-mana.

Tapi... aku akan mencari pasangan yang mau melakukan semua itu - dan hal-hal 'gentleman' lainnya - untukku. Kamu mau melakukannya kan, Sayang? :)



-catatan dari seorang perempuan yang sewaktu kecil sempat iri pada laki-laki-

2 comments:

dhiraestria dyah said...

suka tulisan ini! terutama bagian "aku akan mencari pasangan yang mau melakukan semua itu - dan hal-hal 'gentleman' lainnya - untukku."
And you have it now ;)

bulb-mode said...

@ dhiraestria dyah:
Ihi...! Thank you! And you'll have one too! I just know you will... ;)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...