Pages

Thursday, March 6, 2008

Dangdut vs Musik Klasik

Seni tak bisa dilepaskan begitu saja dari masalah selera. Seni musik, seni rupa, seni peran, seni apapun. Walaupun, kerap pula seni diperbandingkan dengan semena-mena, menurut saya.

Beberapa waktu yang lalu, di suatu sore yang cerah, telinga saya sempat tergelitik mendengar ungkapan seorang teman.

"Kalau memang kelasnya masih dangdut, ya ngga bisa kita beri musik klasik," ungkapnya dengan nada meremehkan musik dangdut.

Saya terdiam sesaat mendengar kalimat tersebut.

Jujur saja, saya memang tidak suka dangdut. Tapi saya tidak bilang bahwa derajat dangdut berada di bawah derajat musik klasik. Seakan dangdut = bodoh dan musik klasik = pintar. Benarkah begitu?

Apakah orang pintar tidak ada yang menyukai dangdut? Atau... haruskah kita menyukai musik klasik agar bisa dikatakan pintar? Seperti beberapa orang yang mengatakan "Saya suka musik jazz..." agar terlihat sophisticated.

Saya kenal dengan seorang profesor yang sangat pintar. Guru besar dari suatu universitas negeri terkemuka di Jogja. Termasuk ahli di bidangnya. Beliau tidak suka musik klasik. Musik yang beliau dengarkan adalah keroncong, dangdut, dan lagu-lagu pop di era mudanya.

Sedangkan saya, yang bukan siapa-siapa, lebih menyukai musik klasik dibandingkan dangdut. Apakah kenyataan ini lantas membuat kualitas hidup saya jauh lebih baik dari pada sang profesor?

Menurut saya, musik - seperti juga seni lainnya - adalah masalah selera. Mereka tidak bisa begitu saja diperbandingkan dengan melihat aliran mereka. Mana yang lebih baik antara lukisan surealis dengan lukisan abstrak? Mana yang lebih baik antara film action dengan film komedi? Atau seperti yang tadi, mana yang lebih baik antara dangdut dengan musik klasik? Semua memiliki sejarah dan muatan budayanya sendiri-sendiri.

Ini mirip dengan makanan. Semua berkutat pada masalah selera. Sulit ketika kita harus menentukan mana yang lebih baik, steak atau empal goreng? Atau lebih luas lagi, mana yang lebih enak, asin atau asam?

Saya lebih suka asam dari pada asin. Tapi selera orang lain jelas boleh berbeda. Tidak lantas si penyuka asam lebih superior dibandingkan si penyuka asin.

Mungkin lebih baik bila membandingkan musik dalam aliran yang sama. Musik klasik dengan dua kunci sederhana dibandingkan dengan musik klasik dengan 11 variasi kunci, lengkap dengan dua kali transformasi nada dasar, misalnya. Ini pun tidak berarti yang dua kunci lebih inferior. Hanya saja mungkin lebih sederhana, sehingga lebih mudah diterima oleh orang awam. Dan lebih mudah untuk dimainkan.

Ingatan saya lantas melayang pada suatu malam, beberapa tahun yang lalu. Saat itu radio di dalam mobil memutar musik elektronik - musik dugem jedag-jedug - yang kebetulan tidak cocok dengan kuping saya.

Spontan, saya ubah frekuensinya sambil berkata, "Lagunya jelek."

Teman saya, yang sedang menyupir dan duduk di sebelah saya, dengan tak kalah spontan menimpali ucapan saya, "Salah kamu kalau bilang lagu ini jelek. Kalau ngga suka, bilang saja ngga suka. Banyak juga yang bilang lagu ini bagus."

Mungkin dia sedikit tersinggung, entahlah.

Tapi ucapannya ada benarnya. Sesuatu yang tidak saya suka bukan berarti lantas menjadi jelek. Ini hanyalah masalah selera.

Sayangnya sore itu saya tak berani menimpali perbandingan dangdut vs musik klasik a la teman saya tadi. Selain karena umur kami yang terpaut jauh, pengetahuan saya di bidang seni juga amat sangat terbatas. Pengecut... (ind)


(disunting dari www.trulyjogja.com, 24/05/2007 09:21)

4 comments:

dhiraestria dyah said...

setuju ndie, kalo nggak suka bukan berarti jelek kan..
dan kita sekarang harus mulai menyebut film "jelek yang kita liat VCD-nya udah mulai dijual" itu sebagai "film yang aku nggak suka dan jika dipaksakan nonton lagi akan membuatku mual2".
:)

-me- said...
This comment has been removed by the author.
bulb-mode said...

dhiraestria dyah:
Tapi, Dhir, di antara kita aja, boleh nggak aku tetep menyebut 'film yang aku nggak suka dan membuat trauma serta jika dipaksakan nonton lagi akan memberikan efek buruk pada logika dan sistem pencernaanku' itu dengan label 'film jelek'? :p

Koelit Ketjil said...

just like P Project Song
"dangdut is the music of my country"
Dangdut banyak berjasa bagi Republik ini

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...