Dulu aku melihat novel ini tanpa ketertarikan sedikit pun. Aku benar-benar melakukan apa yang dinamakan 'menilai buku dari sampulnya'. Hm... tepatnya, aku menilai novel ini dari judulnya.
The God of Small Things, aku pikir adalah buku-buku psikologi modern seperti Don't Sweat the Small Stuff. Small Things... Small Stuffs... mirip 'kan?
Yup, kesalahanku. Mataku memang luput membaca 'Winner of the Booker Prize' yang (menurutku) bisa menjadi salah satu indikator sebuah 'buku bagus'.
The God of Small Things, aku pikir adalah buku-buku psikologi modern seperti Don't Sweat the Small Stuff. Small Things... Small Stuffs... mirip 'kan?
Yup, kesalahanku. Mataku memang luput membaca 'Winner of the Booker Prize' yang (menurutku) bisa menjadi salah satu indikator sebuah 'buku bagus'.
Akhirnya novel The God of Small Things pun selalu aku lewati begitu saja. Aku bahkan tidak tertarik membaca resensinya. Terlebih karena kertasnya yang kulihat berwarna putih bersih. Seperti buku-buku yang tidak menarik.
Sampai suatu hari, seorang tentor menulis menyarankanku membaca ini. Aku pun penasaran. Lalu membeli. Dan membacanya.
Setelah membaca habis halaman demi halaman, aku pun sepakat untuk memberi novel ini nilai lebih. Jauh lebih menarik dari apa yang aku bayangkan sebelumnya.
Sebagai novel pertama, The God of Small Things kulihat berhasil menuai kesuksesan lebih dari yang diharapkan oleh penulisnya. Bisa dilihat, ia berhasil menggondol penghargaan Booker Prize, dan ini sangat menakjubkan.
The God of Small Things mengambil latar sebuah kehidupan di Kerala, India pada masa akhir tahun 1960-an. Ketika suasana India masih diliputi dengan nuansa komunisme dan trauma sejarah. Masalah kasta, gender, seksualitas, agama, kelas hingga pengaruh post-kolonialisme diramu sedemikian rupa oleh Arundhati Roy. Rumitnya kehidupan sebuah keluarga India dengan masalah yang saling bertumpuk dan cinta 'terlarang' adalah kisah yang menjadi kereta angkut pesan-pesan tadi.
Di halaman-halaman awal, aku memang sempat tersangkut pada kebosanan. Terutama karena banyaknya tokoh yang muncul dalam waktu yang tak terlalu jauh. Ini membingungkanku. Seperti layaknya cerita India lainnya, sebuah keluarga besar dari tiga generasi dengan segala permasalahannya dimunculkan.
Belum sempat aku mengenal tokoh utamanya, kedua Kembar Berbeda Telur, Rahel dan Estha, aku harus membagi perhatianku dengan tokoh-tokoh lain. Baby Kochamma, Mammachi dan Pappachi, atau Margaret Kochamma dan Chacko. Serta masih banyak lagi, dengan nama-nama yang sama asingnya. Selain itu, aku juga harus membiasakan diri dengan gaya narasi dan permainan kata Arundhati Roy yang spontan.
Duh. Aku tak menyangka akan mampu menyelesaikan membaca novel yang satu ini.
Tapi lama-lama, buku ini berhasil memikatku. Baik ceritanya ataupun gaya penulisannya. Aku suka dengan gaya penceritaan Arundhati Roy yang rumit tapi indah. Dia melakukan flashback dengan teramat halus, sehingga aku seakan terbawa begitu saja, ke masa lalu dan ke masa kini. Terseret, mengalir, tanpa sadar.
Flashback memang menjadi suatu hal yang penting di buku ini. Kisah demi kisah dituturkan dari sudut pandang orang ketiga yang menyelami beberapa tokohnya di 'masa sekarang' dan 'masa lalu'. Dua puluh tiga tahun yang lalu, saat peristiwa itu terjadi.
Hebatnya lagi, penggalan-penggalan kisah ini diceritakan dengan lengkap dan menghanyutkan, walau rumit, kompleks, dan alurnya tidak runut. Kisahnya terpisah-pisah dan melompat-lompat. Maju, mundur, lalu mundur lagi, dan tiba-tiba maju. Tapi di akhir, semua berhubungan.
Aku seperti diajak menyusun teka-teki sejarah, menyusun petunjuk satu per satu, dan melengkapi gambaran utuhnya pelan-pelan. Wajar saja bila selama membaca ini, aku selalu ingin terus membaca. Aku penasaran, kisah apa lagi yang akan melengkapinya?
Satu hal lagi yang aku suka adalah perspektif yang ia gunakan untuk mengisahkan The God of Small Things. Di banyak bagian, ia menggunakan perspektif orang ketiga yang berada di belakang Rahel dan Estha. Seakan berada di alam pikiran anak-anak. Ia bercerita dengan menggunakan logika mereka yang polos, lugu, sedikit nakal, tanpa beban, dan segar.
Semuanya dibumbui dengan permainan kata yang kompleks namun puitis.
Kali ini aku memang lebih banyak mengulas tentang gaya tulisannya, dan bukan pada ceritanya. Ini karena aku terpikat pada gaya menulis Arundhati Roy di novel debutnya. Pantas saja, tutor menulisku dulu itu menyarankanku untuk membaca buku ini sebagai referensi ketika menulis noveletku. Kebetulan, saat itu aku juga menggunakan perspektif orang ketiga yang berdiri di belakang seorang anak kecil berusia 10 tahun.
Sayang aku baru sempat membacanya setelah novelet itu selesai aku buat.
Namun, cerita The God of Small Things sendiri sebenarnya tidak kalah menarik untuk dinikmati. Detail-detailnya terasa hidup dan saling menghias imajinasi. Mengisi dan menyangganya. Selain isu gender dan kasta, kritik-kritik yang disampaikannya dengan 'polos' seakan menelanjangi nasionalisme warga Kerala saat itu.
Bagaimana mereka justru memuja-muja dunia barat, walau dunia barat itulah yang menjajah mereka. Secara tak langsung menyebutkan bahwa kondisi itu lah yang membuat mereka berada, dan akan selalu berada, di kelas di bawah 'penjajah' mereka.
The God of Small Things adalah kisah tragis yang membeberkan segala realita budaya post-kolonialisme yang bercampur dengan adat lokal di dunia ketiga, khususnya di India.
PS: Katanya, versi asli bahasa Inggrisnya amat rumit dibaca. Benarkah? Jadi penasaran... :)
6 comments:
aku udah khatam buku ini sejak zaman kulia Ndi:)). Bagus. Arundhati Roy emang kereeenn
Thea: Aku baru sadar kalau buku ini bukan buku psikologi modern. :-S
Lanjutkan dengan Bukunya Marjane Satrapi ndo...judulnya persepolis.Udah diterjemahkan ama Resist Book berjudul: Revolusi Iran, Dongeng Seorang Anak. Bentuknya kartun gitu...revolusi dimata anak kecil...Lucu. Favorite lah.
ronggolawe:
Tapi, Lam, aku agak takut baca buku yang kamu rekomendasikan setelah peristiwa buku 'Ziarah'-nya Iwan Simatupang... :-S
alam...filmnya juga dah ada. kalo gak salah diputer pas Jiffest kemaren.
bulb-mode:
yang ini, kamu pasti suka, cergam kok
thea:
iya po? wahhh udah ada bajakannya belum ya? huehehehe...
Post a Comment