Pages

Tuesday, March 18, 2008

Malam Perayaan Perbedaan

Pukul 11 siang.

Pria berambut cepak masuk ke lobby dengan gayanya yang khas dan ramah. Ia tersenyum lebar. Istrinya yang berambut pendek tampak letih. Kuserahkan kunci kamar 214.

"Kami lelah sekali, butuh istirahat sebentar," ucapnya.

Baiklah. Kuberitahukan pada mereka bahwa acara makan siang akan berlangsung jam 1 di rumah Pak Butet. Nanti akan kuketuk pintu kamar pada pukul 12.30 siang.

Namanya Iwa K, dan ia kelelahan.


Rambutnya yang hitam panjang tergerai. Seorang perempuan berparas ayu, tersenyum ketika memasuki lobby. Di sebelahnya, lelaki indo yang tampan. Ah, tombo ngantuk.

Kuserahkan kunci kamar 215 ke perempuan berambut hitam panjang tadi, sambil mencuri-curi pandang ke lelakinya.

"Aku lapar sekali. Bisa pesan makan dulu?" tanya perempuan itu. "Sama secangkir teh hangat?"

Pasti bisa. Mereka bisa memesannya dari kamar via telepon langsung. Masih ada waktu sebelum acara makan siang di rumah Pak Butet.

Namanya Happy Salma, dan ia kelaparan.


Pukul 3 sore.

Pria tua itu dulunya anggota Lekra. Katanya, beliau pernah dibuang di Pulau Buru, lalu melarikan diri ke Belanda, dan hidup di sana selama bertahun-tahun.

Tak kusangka, wajahnya ramah walau tetap tampak tegas. Suaranya lembut. Aku heran kenapa dulu ada pelabelan 'berbahaya' bagi orang-orang seperti beliau. Di tangannya, tampak selembar kertas bertuliskan puisi buatannya.

"Sepertinya nanti saya akan ditodong maju membaca puisi ini ya, Mbak?" tanyanya.

Aku hanya tersenyum dan mengangkat bahu karena tidak tahu susunan acaranya. Beliau tertawa dan
masuk ke kamar 221.

Namanya Hersri Setiawan, dan beliau sepertinya menunggu kawannya yang akan datang menemuinya sore itu.


Pria itu berjalan tergesa-gesa ke arah kamar 224, sambil membawa selembar kertas yang tadi kuberikan padanya. Ia sepertinya belum melihat isi kertas itu. Mungkin karena pikirannya masih dipenuhi film Ayat-Ayat Cinta yang ternyata meledak.

"Kopor saya tertinggal di mobil, yang Oakley. Bagaimana ya?" tanyanya.

Mobil Kijang biru itu sedang keluar dan terpaksa kopor baru bisa diantarkan nanti. Dia menanggapinya dengan santai, tak ada masalah.

"Ya sudah. Saya mau latihan dulu," timpalnya sambil bergegas masuk ke kamar.

Namanya Hanung Bramantyo, dan ia ingin berlatih membaca puisinya.


Pukul 4 sore.

Seorang perempuan berkaus merah, berjalan dengan cepat ke arah kamar 212. Satu tangannya menarik kopor dan tangan lainnya memegang sehelai kertas.

"Siapa Dina Octivia?" tanyanya sambil menatap selembar kertas tadi.

Setahuku, Dina Octivia adalah pengarang puisi yang tercetak di atas kertas tadi. Perempuan tadi menatapku sambil mengangguk.

"Aku belum pernah dengar namanya."

Perempuan berkaus merah tadi kemudian melanjutkan langkahnya ke kamar 212. Matanya kembali menatap kertas puisi tadi.

Namanya Ria Irawan, dan sepertinya ia ingin berlatih sejenak.


Pukul 4 sore lebih.

Kami lelah dan membuka kamar 225 untuk beristirahat sejenak. Malam itu, mereka akan berkumpul di Jogja National Museum untuk merayakan sebuah perbedaan.

2 comments:

Anonymous said...

Wah, jebul abis ada acara temu antar sesama sosialita to kemaren itu... hihihi... :D

bulb-mode said...

temukonco:
Hm... temu antar sosialita yg mana niy? Yg khilaf ato yg mana? ;p

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...