Krabi adalah kota kecil yang aneh. Ini menurutku awalnya.
Merupakan salah satu kota transit menuju Phi Phi Island yang terkenal itu, aku membayangkan Krabi seramai kota Jogja, atau minimal kota Solo. Apalagi dengan tersedianya fasilitas bandara internasional.
Tapi ternyata tidak. Kota Krabi tenang sekali. Sepi dan tidak bergejolak, nyaris seperti kota mati. Menurutku, bahkan kota Sragen pun lebih ramai dari ini. Padahal aku mengunjungi Krabi di akhir minggu.
Penduduknya sepertinya tidak banyak. Tidak tampak banyak turis, ataupun orang berlalu lalang. Beberapa ruas jalan besar pun tampak lengang.
Pertokoan memang berjajar di sepanjang jalan. Tapi, koq sepertinya tidak ada yang membeli. Atau aku berjalan-jalan di waktu yang salah? :-S
Sebagai kota transit, aku juga membayangkan pastilah ada tempat membeli souvenir di kota ini. Lagi-lagi, aku tak menemukannya. Toko-toko yang buka rata-rata menjual keperluan hidup sehari-hari. Ember, jas hujan, tas ransel anak SD, baju harian, payung. Dan batik bermotif unik, yang di labelnya tertulis: Made in Solo - Indonesia atau Made in Pekalongan - Indonesia.
Yeah, rite...
Harapan kami pun bergantung pada keramaian pasar yang diceritakan oleh Leo. Ada dua pasar yang cukup menyemangati pencarian oleh-oleh, pasar yang buka di pagi hari dan pasar yang buka di malam hari. Dalam bayanganku, pasar malam ini mirip dengan 'pasar malam' yang penuh hiruk-pikuk.
Tapi ternyata aku salah lagi. Kedua pasar ini sama-sama hanya menjual makanan. Bedanya, pasar pagi menjual makanan mentah, sedangkan pasar malam menjual makanan siap makan. Lauk-pauk khas Thailand, kari hijau favoritku, ketan dengan mangga favorit Dik Andra, hingga beraneka buah tropis.
Akhirnya, karena kotanya juga tak begitu besar, aku hanya berkeliling sebentar dan menyadari betapa menyenangkannya kota itu. Sepi dan damai, walau mungkin kalau terlalu lama tinggal di sana akan terasa membosankan.
Tak ada taksi atau pun bis. Sampai-sampai Ibu Pemilik Hotel yang tidak bisa berbahasa Inggris pun dengan baik hatinya mengantarkan kami ke salah satu restoran di dekat hotel dengan mobilnya. Kami berenam berdesak-desakan di mobil sedan yang mungil. Terima kasih, Ibu Pemilik Hotel...
Mungkin ia memilih melakukannya daripada bingung meladeni percakapan kami yang tak terjembatani dengan baik. Yah, kebanyakan penduduk setempat yang kami temui di sana memang tidak bisa berbahasa Inggris.
Kami menumpang angkot menuju Ao Nang, 30 menit dari Krabi, untuk suasana yang lebih ceria.
Ao Nang, mirip dengan pesisir pantai lainnya. Turis-turis berlalu-lalang, penduduk setempat bercengkerama sambil menjual dagangannya. Restoran, hotel, transportasi, jasa tour. Semua tersedia. Toko-toko mungil berjejeran menjual berbagai souvenir. Kaos bertuliskan Thailand, tas bermotif gajah, dan barang-barang pantai lainnya.
Sayang sekali, sore itu mendung menggantung di langit, dan lautnya tampak ganas. Sepertinya bermain di pantai bukan ide yang bagus.
No comments:
Post a Comment