Pages

Thursday, January 19, 2012

Day 5: Antara Rote, Kupang, dan Ligna

Mendung di Boa
Hari terakhir di Pulau Rote kami habiskan secepat kilat. Kalau orang Jawa bilang, sak kedepan mripat.

Ya iya lah. Karena kapal menuju Kupang berangkat pukul 11 siang, berarti kami paling lambat berangkat pukul 9.30 pagi. Ini karena kita menggunakan mobil pribadi Pak Mus seharga Rp 250.000,- sekali angkut. Kalau mau lebih murah, bisa menggunakan angkot seharga Rp 50.000,- tapi harus berangkat pukul 6 pagi.


Untungnya kami tidak harus berebut tiket di pelabuhan, karena Hotel Anugerah rupanya juga menjadi agen tiket. Kali ini kami ingin mencoba yang VIP seharga Rp 160.000,-.

Karena kami ingin mampir sebentar ke Pantai Boa yang katanya gelombangnya sangat bagus dan menyempatkan membeli beberapa oleh-oleh, kami pun berangkat pukul 8 pagi, tepat setelah sarapan.

Perjalanan ke Pantai Boa dari Hotel Anugerah cuma sekitar 15 menit, tapi jalannya agak rusak. Di pantai itu kami tidak bermain air. Kami hanya turun, berjalan-jalan sebentar, foto-foto, dan lalu kembali ke mobil.
Pantai Boa

Melihat lahannya yang luas, wajar saja Pantai Boa belum lama ini pernah dijadikan tuan rumah kejuaraan surfing internasional. Sayang sekali, gelombang saat itu tidak sebesar biasanya. Karena itu juga kami hanya bisa melihat gelombang dari jauh.

Perbedaannya dengan Pantai Nemberala, pantai ini jauh lebih sepi dari Pantai Nemberala. Tidak tampak penginapan di sekitarnya dan tidak tampak pula tempat bersantai-santai. Sepertinya pantai ini ditujukan bagi mereka yang niat bermain surf.

Perjalanan selanjutnya kami langsung ke Ba'a. Kami mampir ke satu-satunya toko oleh-oleh di Pulau Rote. Satu-satunya yang kami tau sih, tepatnya. Aku lupa nama tepatnya apa, tapi tempat oleh-oleh ini dikelola oleh pemerintah dan terletak sangat dekat dengan pelabuhan.

Di sana, aku membeli beberapa gantungan kunci dan kain selendang. Gula semut aku beli di warung kelontong di dekatnya. Harganya Rp 10.000,- per plastik, tapi kalau beli tiga diberi harga Rp 25.000,-.

Gula semut ini merupakan salah satu hasil kuliner khas Pulau Rote dan diolah sendiri oleh penduduknya. Terbuat dari nira lontar, gula ini terasa mirip gula Jawa dengan tekstur lebih halus dari gula pasir, tapi tidak terlalu manis dan ada aroma harumnya. Oleh Kak Ikke, aku disarankan untuk memakannya dengan menggunakan roti tawar dan metega.

Selain diolah menjadi gula semut, rupanya nira lontar ini juga diolah menjadi gula lempeng, gula air, dan sopi. Sopi sendiri adalah minuman dari fermentasi nira dan mengandung alkohol tinggi. Pengolahan lebih lanjut dari sopi akan menghasilkan alkohol medik. Aku tidak sempat mencicipi sopi.

Di pelabuhan sendiri, kami menyempatkan belanja lagi. Kali ini demi susu goreng yang kata Kak Ikke, "Enak sekali!" Itu juga yang dikatakan Enzo ketika kami sampai Kupang dan bercerita tentang susu goreng. Aku hanya membeli sekotak kecil untuk icip-icip. Lagi pula, camilan ini tidak tahan lama.

"Tiga hari paling lama," ujar Ibu Penjual.
 
Susu goreng
Susu goreng ini terbuat dari susu kerbau yang dipanaskan dalam wajan dan dicampur dengan gula semut. Panas dari api akan membuatnya terkaramelisasi dan menggumpal. Lalu terhidanglah susu goreng yang berbentuk mirip scrambled egg. Harga sekotak kecil Rp 15.000,- dan kotak besar Rp 30.000,-.

"Susunya yang mahal, Kak," tambah Ibu Penjual.

Baiklah. Aku langsung memakannya sambil menunggu boat kami merapat. Dan rasanya... nggak enak! :(

Bagiku, rasanya campuran dari susu langu, blue cheese, dan manis yang aneh. Dan itu sempat membuatku mual. Aku mencoba mencicipinya sekali lagi karena siapa tau aku salah ambil, yang terjadi justru makin mual. Tapi herannya, Dhira menyukainya. Katanya rasanya seperti keju yang manis.

Lalu boat datang dan kami masuk ke ruang VIP yang ternyata sangat nyaman. Ber-AC serta tempat duduknya empuk dan lebar, seperti di bis eksekutif. Lebih nyaman dari tempat duduk pesawat. Kami disuguhi National Treasure, filmnya Nicholas Cage. Dan kami mendapat camilan roti! Baguslah untuk menghilangkan rasa mual akibat susu goreng tadi.

Sampai di Kupang kami menggunakan taksi (seharga Rp 100.000,-) yang sudah kami pesan dari Pulau Rote, untuk mengantar mencari toko oleh-oleh dan lalu ke Hotel Pantai Timor (yang kata Pak Mus bagus). Dia menyarankan mengambil kamar deluxe seharga Rp 220.000,- per malam, tapi kami dengan kemlinthi-nya memilih mengambil kamar ekonomi seharga Rp 160.000,- per malam.

"TV dan AC tetap ada. Bedanya cuma di tempat tidur. Kalau yang deluxe pakai springbed, yang ekonomi pakai Ligna," ujar Ibu Resepsionis.

Malam itu kami bertemu kembali dengan Enzo, beli abon, makan sup ubi, dan berjalan-jalan ke Flobamora Mall (FLOres sumBA tiMOR Alor). Ini adalah satu-satunya mall di Kupang dengan tennant terbesar Ramayana Departement Store.

Karena besok kami berangkat kembali ke Jawa, maka sisa malam itu kami habiskan di hotel untuk menata oleh-oleh dan semua barang bawaan kami. Sambil membenahi tempat tidur yang ambruk terus.
Pilihan yang salah
Akhirnya kami menyerah, menurunkan kasur busa ke lantai, menatanya, dan tidur tanpa tempat tidur Ligna itu. Bentuk kamar jadi mirip crime scene. Parahnya lagi, ternyata tidak ada remote AC. Malam itu, kami pun tidur dengan semburan AC yang 'autopilot'.



PS: Dari curi-curi pandang sekilas, sepertinya kamar lain di Hotel Pantai Timor ini cukup bagus kok... Mungkin yang ekonomi ini memang kasus khusus.


*Hotel Pantai Timor*
Jl. Sumatera 44, Kupang, NTT.
Telp 0380-831651

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...