Pages

Wednesday, January 18, 2012

Day 4: Saatnya Melaut Lagi

Surfer's heaven... katanya...
Pulau Rote dikenal di dunia sebagai salah satu pulau yang memiliki beberapa lokasi surfing terbaik. Lokasi ini tepatnya ada di Pantai Nemberala dan Pantai Boa. Menurut beberapa tulisan yang pernah saya dengar, daerah ini bahkan memiliki ombak terbaik kedua setelah di Hawaii.

Entah benar, entah salah.


Menurut Pak Mus, daerah ini pertama kali diketemukan pada tahun 1978. Katanya penemu ombak di daerah ini adalah seorang surfer bernama Steve Allen.

"Bahkan sampai ada orang sini yang dinamai Steve Allen karena lahirnya berdekatan dengan kedatangannya," ujar Pak Mus.

Lalu, bagaimana dia bisa menemukannya? Pasti daerah ini belum semaju sekarang kan?

Aku terbayang kotaku di tahun 1990 saja masih lebih maju dari kota mereka sekarang. Sementara di Pulau Rote, daerah Pantai Nemberala tahun ini pun listrik 24 jam belum masuk. Mereka masih menggunakan genset sentral yang hanya menyala jam 5 sore hingga jam 6 pagi.

"Saat itu semua rumah masih beratap alang-alang dan berdinding kayu. Masih sangat tradisional," tambahnya menjelaskan kondisi sekitar Pantai Nemberala pada masa itu.

Lalu jalanannya? Dia naik apa?

"Dia turun di Ba'a, sewa kuda, dan menyusuri pantai-pantai cari ombak yang baik. Sampai akhirnya di Nemberala dan Boa," tambahnya. "Dia juga bawa papan surf-nya sendiri."

Aku hanya bisa mendengarkan dengan takjub. Petualang sejati.

"Kabarnya langsung tersebar. Ada orang asing bawa perahu yang didorong ombak," Pak Mus bercerita. "Orang-orang semua penasaran."

Setelah itu tidak ada surfer lain yang datang hingga tahun 1987, bernama Jim Ben. Pantai Nemberala dan Pantai Boa pun kemudian merangkak menuju kepopulerannya. Kini, Pantai Boa bahkan sudah pernah menjadi tuan rumah kejuaraan surfing tingkat internasional.

-o0o-

Aku dan Dhira langsung tertarik untuk belajar surfing dan mencoba ombak Pantai Nemberala. Kami hanya perlu membayar total Rp 150.000,-. Pak Mus menyiapkan beberapa hal untuk mengakomodir keinginan kami. Dua pelatih, satu boat, dan dua surfboard. Sebelum masuk ke laut, kami diajari teori dan tekniknya di pasir.

Dayung yang kuat, posisi di tengah papan, kaki harus rapat, jaga keseimbangan, bla-bla-bla.

Siap surfing!
Dan kami pun naik ke boat untuk mencari gelombang yang sesuai. Gelombang ini rupanya tidak mencapai pinggir pantai. Daerah teraman untuk latihan pun gelombangnya tidak ada. Maka kami harus ke tengah untuk mendapatkan gelombang agar bisa berhasil berdiri.

Boro-boro berdiri, pikirku. Sepanjang perjalanan, aku makin takut karena melihat laut yang semakin gelap, dan gelap, dan gelap. Ini berarti makin dalam. Lalu kapal pun berhenti. Rupanya lokasi yang dicari sudah ditemukan.

Aku dan Dhira pun langsung melompat ke tengah laut bermodalkan nekat. Kali ini fin dan snorkle diganti dengan papan surf. Sebenarnya tidak ada yang perlu aku takutkan, karena kedalaman laut di tempat itu - meski jauh dari daratan - hanya sekitar 4-5 meter. Tapi pada saat itu, aku tidak tau tentang kenyataan itu.

Selama lebih dari dua jam aku belajar mengenal gelombang, menghadapi gelombang, tergulung gelombang, berenang melawan gelombang, memilih gelombang, melempar papan, menjauh dari papan, jatuh ke laut dan naik lagi ke papan, menjaga keseimbangan, menyatu dengan papan, serta yang tersulit: berdiri di atas papan.

Aku bisa semuanya, kecuali berdiri di atas papan. Aku hanya bisa sampai 'jongkok' saja, lalu berkali-kali terguling ke laut.

Hingga sebuah papan surf terlempar ke arahku dan menghantap bahuku. Kemudi papan menancap di baju luaran dan ombak menariknya hingga robek. Baju renangku selamat, tapi ini menghasilkan memar dan luka di bahuku. Karena bahu terasa sakit untuk mendayung, maka pelajaran hari itu diakhiri. Dengan sisa tenaga, aku berenang melawan gelombang menuju kapal yang terombang-ambing.

-o0o-

Sore itu kuputuskan untuk beristirahat dan bersantai (lagi) di pinggir pantai. Dhira yang tadinya berencana berenang, sepertinya tertulari rasa malasku. Lalu penjual buah kelapa lewat dan kami membeli dua seharga total Rp 20.000,-. Liburan yang kuinginkan.

Hingga badai datang.

Menjelang matahari tenggelam, badai datang dan kami kembali ke hotel. Angin sangat kencang dan hujan turun dengan derasnya. Setelah membawa perbekalan berupa teh hangat, kami pun mengurung di kamar sambil bersantai-santai. Mengobrol, membaca buku, menikmati waktu luang. Kulit kakiku mulai terasa sakit, ternyata terbakar matahari dan berpotensi mengelupas. Ouch!

1 comment:

admin said...

Wah, ada pantai yang bisa buat surfer pemula ya?
Jadi pengen kesana.hehe..

Tulisannya bagus sekali. Inspiratif hehe..

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...