Pages

Monday, January 16, 2012

Day 2: Jagung Katema, Pantai Toblolong, dan Sup Ubi


Hari kedua kami di Kupang agak berantakan. Ya karena memang kami tidak punya rencana yang jelas. Akhirnya justru disambut hujan deras dan kami jadi kehilangan mood berpetualang. Karena Enzo pergi ke kantor, ibunya Enzo mengajak kami ke rumah saudaranya, yang juga tetangganya. Ternyata ada yang berulang tahun.


Jagung Katema


Jagung Katema
Acara ulang tahun kecil-kecilan ini mempertemukanku dengan makanan khas Kupang lainnya, yaitu jagung katema. Ini merupakan salah satu makanan pokok di Nusa Tenggara Timur, semacam nasi untuk aku.

Bentuknya mengingatkanku akan bubur kacang hijau yang encer. Warnanya semu kehijauan dan berkuah. Isinya biji-biji jagung dan kacang tolo (disebut kacang nasi di NTT). Karena bentuknya mirip bubur kacang hijau, ketika akan mencicipi aku mempersiapkan lidah untuk merasakan sesuatu yang manis.

Tapi ternyata rasanya gurih. Awalnya agak aneh juga sih, tapi lama-lama terasa enak. Aneh yang enak.

Jagung katema ini dimakan bersama lauk-pauk yang tersedia. Hari itu di meja terhidang semacam daging rendang, ikan goreng, dan sayur mayur. Paduan rasa daging rendang yang agak manis dan jagung katema yang gurih masih terkenang enaknya sampai sekarang.


Pantai Tablolong


Pantai Tablolong
Agak siang, Enzo dan pacarnya menjemput kami untuk berangkat ke Pantai Tablolong. Meski masih masuk dalam wilayah Kupang Barat, tapi untuk mencapai ke sana, perjalanannya hampir satu jam dengan mobil dari kota. Jaraknya sendiri sekitar 20-an kilometer, tapi jalannya kecil dan belak-belok.

Menurut Enzo, selain dengan kendaraan sendiri, kalau mau ke Pantai Tablolong kita hanya bisa menggunakan ojek karena tidak ada angkutan umum yang menuju ke sini. Pantai Tablolong ini merupakan sambungan dari Pantai Air Cina, namun jalannya tidak dapat dilalui oleh kendaraan biasa.

"Dinamain Air Cina karena dulu jaman Portugis banyak orang Cina yang dibunuh di sana," jelas Enzo. "Di sekitar sana juga masih ada benteng Portugis."
 
Sementara itu, di sepanjang jalan, Dhira sibuk dengan camilan barunya: bolu bugis berbentuk bintang - yang menurutku adalah ontbijtkoek versi lokal.

Bolu Bugis
Pantai Tablolong adalah salah satu pantai terindah yang pernah aku lihat. Airnya jernih dan ombaknya tidak besar. Sangat cocok untuk berenang-renang. Meski begitu, di beberapa bagian tampak ada botol-botol kosong yang mengambang.

"Itu untuk budidaya rumput laut," tambah Enzo.

Walaupun ada botol-botol plastik kosong, tapi itu tidak terlalu mengganggu. Pantainya sepi dan bersih. Sama sekali tak terlihat pengunjung lain selain kami berempat. Dan satu anjing yang berjalan menjauh. Seperti daerah yang ditinggalkan.

"Tapi kalau hari Minggu rame, banyak yang datang," ujar Enzo.

Kalau begitu, untunglah kita datang di hari Jumat.

Ternyata, daerah ini merupakan jalur migrasi ikan dari laut Timor menuju laut Sawu. Karenanya banyak yang bilang panorama di bawah lautnya indah. Sayang sekali kami tidak sempat melihatnya langsung. Aku hanya bermain-main air di pinggir pantai. Selain bermain-main air, Enzo berencana menunggu matahari tenggelam untuk difoto.

Aku dan Dhira pun segera menggelar kain, memasang payung, dan rebahan di pinggir pantai hingga nyaris tertidur. Anginnya sepoi-sepoi, suara yang terdengar hanya deburan ombak, pasirnya hangat dan luas. Nyaman sekali.

Sunset!
Sebenarnya pantai ini sangat bisa digunakan untuk berenang-renang dan bahkan snorkling. Tapi apa daya, hari itu kami tidak membawa peralatan renang, baju ganti, dan perbekalan. Di sekitar Pantai hanya tampak kantor Balai Benih Ikan Pantai Tablolong milik Dinas Kelautan dan Perikanan. Tak ada satupun toko yang menjual apa pun.


Sup Ubi


Sup Ubi a la Kupang
Setelah matahari tenggelam, kami bergerak kembali menuju kota. Kami ada janji dengan Ibu Pendeta untuk makan sup ubi di Namone Cafe Mobile di pinggir Jl. Raya El Tari.

Mendengar sup ubi, pertama kali pikiranku melayang pada sup buah, kolak, dan perpaduan di antara keduanya.

Tapi, lagi-lagi aku dikejutkan oleh kuliner di Kupang. Sup ubi ternyata mirip dengan sup daging. Isinya ubi (singkong, kalau di Jawa) rebus, daging, mie kuning, dan kacang. Rasanya gurih, mirip antara bakso dan soto. Lezat.

Harga per mangkok Rp 9.000,-. Cocok lah untuk makan malam setelah seharian sibuk kian-kemari. Saking enaknya, Dhira meminta untuk kembali makan di sini sebelum kepulangan ke Jogja.

Sebenarnya, sup ubi ini tidak hanya terdapat di Kupang. Temanku yang berasal dari Kalimantan bercerita kalau dia sering memakannya di Kalimantan. Sup ubi juga ada di Makassar.
-o0o-

Malam ini kami tidur dengan tergesa-gesa agar esok tidak terlambat bangun. Kapal cepat menuju Pulau Rote berangkat pukul 8 pagi.

2 comments:

Dwi Ananta said...

Jagung!!! Aku suka semua olahan jagung, jadi pengen cobain :)

bulb-mode said...

@dweedy
Sayang sekali aku lupa tanya resepnya. Kalo ada, bisa sekalian di-share ya... :) Cari di google ya ga nemu...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...