Pasar Gawok termasuk pasar yang cukup besar. Dan ramai, karena memang hanya buka di hari pasaran, Pon. Semakin ramai di hari Minggu Pon. Pasar ini terletak di pinggir desa, dikelilingi oleh rumah-rumah yang berbatasan dengan sawah.
Letaknya juga cukup terpencil, agak jauh dari Stasiun Purwosari. Aku dan Doni harus berjalan sekitar dua kilometer, naik bis 30 menit, menumpang pick-up satu kali lagu 'Kucing Garong', dan... voila, kami akhirnya sampai di Pasar Gawok.
Di pasar ini, kami tidak hanya bisa menemukan sayur-mayur dan peralatan masak-memasak seperti di pasar tradisional umumnya. Ada banyak hal menarik yang bisa dijumpai di sana.
Tempat yang cocok untuk berburu foto. Belajar mengambil gambar 'human interest'.
Letaknya juga cukup terpencil, agak jauh dari Stasiun Purwosari. Aku dan Doni harus berjalan sekitar dua kilometer, naik bis 30 menit, menumpang pick-up satu kali lagu 'Kucing Garong', dan... voila, kami akhirnya sampai di Pasar Gawok.
Di pasar ini, kami tidak hanya bisa menemukan sayur-mayur dan peralatan masak-memasak seperti di pasar tradisional umumnya. Ada banyak hal menarik yang bisa dijumpai di sana.
Tempat yang cocok untuk berburu foto. Belajar mengambil gambar 'human interest'.
Begitu turun dari pick-up, kami langsung disambut suasana yang benar-benar... um, pasar. Ramai, penuh, dan panas.
Seorang bapak tua yang duduk di pinggir jalan, sedang sibuk menambal panci, langsung menarik perhatianku. Bapak ini ceria, dan dia bercerita pada pelanggan-pelanggannya sembari menambal panci. Tak heran, banyak orang yang berkumpul di sekitarnya. Tidak hanya mereka yang menunggu pancinya ditambal.
Di sini, aku tidak berani mengambil gambarnya. Aku masih dalam penyesuaian. Apa yang terjadi kalau Bapak Penambal Panci itu marah saat kupotret? Mengapa semua pelanggannya melihat ke arahku? Aku harus meminta ijin atau tidak? Darimana mulainya? Semua pertanyaan detail sebelum memotret pun seakan berlomba saling bermunculan.
Sementara itu, kulihat Doni sudah mulai berkeliling dengan kameranya. Bercanda dengan sang obyek sebelum memotret.
Kami pun berpindah lokasi. Kali ini ke tempat penjual VCD dan MP3 bajakan. Yah, tentu saja bajakan. Harganya per keping Rp 5.000,-. Dan peminatnya berjubel.
Herannya, tak ada satu lagu pun yang aku familiar di antara keping-keping CD tadi. Kebanyakan adalah lagu-lagu campursari, keroncong, atau dangdut. Atau aku mencari di bagian yang salah?
Kami tak lama berada di tempat itu. Doni mengajakku masuk, menjelajahi pasar. Melewati deretan penjual sayur, lalu penjual barang-barang kelontong, penjual tanaman, hingga berhenti di bagian pandai besi.
Aku belum pernah melihat kegiatan seperti itu, membuat arit, pacul, pisau, dan golok dengan cara yang tradisional. Bising sekali. Suara sahut-menyahut dari pukulan para pandai besi yang mencoba membentuk benda dari besi yang masih membara.
Aku belum pernah melihat kegiatan seperti itu, membuat arit, pacul, pisau, dan golok dengan cara yang tradisional. Bising sekali. Suara sahut-menyahut dari pukulan para pandai besi yang mencoba membentuk benda dari besi yang masih membara.
Menarik. Aku pun memberanikan diri untuk memotret. Hasilnya tak begitu bagus, tapi aku cukup puas.
Agenda kami setelah melihat pandai besi rupanya tak kalah menarik. Doni membawaku ke daerah sabung ayam. Para Jago Jawara ditandingkan, beradu hingga bulu-bulunya banyak yang tercabut. Hm... kasian juga sebenarnya.
Lalu kami mampir di tempat penjual kambing. Bercengkerama sebentar dengan penjual kambing. Sampai di sini, aku sudah mulai berani mengarahkan kameraku ke wajah orang dan memotretnya.
Ternyata, memang ada yang tidak berkenan diambil gambarnya, tapi sebagian justru meminta untuk dipotret, asalkan kita tetap ramah.
Setelah melihat-lihat kambing, kami melanjutkan ke area berjualan burung. Namun berhenti sebentar di tukang cukur yang sepertinya cukup terkenal. "Foto saya sudah sampai Jerman, Mas," ucapnya pada Doni yang sedang bersiap-siap memotret.
Rupanya dia pernah difoto oleh seorang mahasiswa (entah Jerman atau Indonesia) dan hasilnya dibawa untuk pameran di sana.
Tak jauh dari situ, adalah area burung. Burung-burung kecil disangkarkan dan dijual dengan harga yang relatif murah. Para ibu-ibu yang rata-rata menggendong anak menjadi pelanggannya.
Tak hanya ada satu penjual burung, namun belasan. Tapi burung-burung yang dijual kebanyakan yang mirip. Di tempat ini, Doni dan aku berpisah. Aku sudah berani memotret sendiri, kian-kemari. Walaupun hasilnya masih saja berantakan.
Matahari semakin tinggi. Dan gosipnya, pasar ini akan tutup jam 1 siang. Kami pun bergerak lagi. Kali ini mendatangi bagian jahit-menjahit. Tidak seperti ruang menjahit di rumahku, yang setiap hari para penjahit menjahit kain-kain brokat atau satin yang baru dan mulus dari toko, dengan desain-desain indah, di sini keadaannya berbeda.
Bapak-bapak tua dengan mesin jahit 'portable'-nya menjahit kain-kain lusuh yang perlu diperbaiki. Ada celana, kemeja, hingga rok.
"Sekarang Jogja sudah berbeda ya? Ada jalan seperti di Ancol," sahut sang Bapak Penjahit.
Rupanya dia pernah tinggal di Jogja, sekitar 50 tahun yang lalu. Dan jalan seperti di Ancol yang dia maksud adalah jalan di pertigaan Janti.
Ah, Bapak, itu jembatan layang Janti...
Sebelum keluar dari pasar, kami mengambil jalan memutar hingga melewati para penjual bebek. Seorang bapak tua dengan sepeda onthel kulihat berdiri lama di pinggir batas kandang bebek.
Awalnya tak kuhiraukan. Aku berkutat dengan kameraku. Dan Doni, entah dimana dia. Bapak tua tadi masih terus berdiri di pinggir kandang hingga aku selesai memotret.
"Bebeknya mahal. Saya pengen beli, tapi masih terlalu mahal," cerita sang Bapak Tua saat aku bertanya. "Satunya tigapuluh ribu."
Aku sempat terdiam dan berpikir. Kadang, sekali main aku menghabiskan hampir seratus ribu rupiah, dan bapak ini tak mampu membeli bebek seharga tigapuluh ribu. Perasaanku campur aduk.
"Mbaknya juga mau ternak bebek?" tanya sang Bapak Tua sambil tersenyum.
Tidak, tidak... saya tidak punya keahlian beternak, Pak.
Tidak, tidak... saya tidak punya keahlian beternak, Pak.
-o0o-
Setelah membeli wajik dan membaginya dengan Bapak Pembuat Pacul di halaman pasar, aku dan Doni memutuskan untuk pulang.
Setelah membeli wajik dan membaginya dengan Bapak Pembuat Pacul di halaman pasar, aku dan Doni memutuskan untuk pulang.
Kali ini cukup menggunakan bis selama satu jam. Dilanjutkan dengan Pramex menuju Jogja. Benar-benar perjalanan yang kaya.
2 comments:
em..kisah 2 umatNya yang sedang bergerak mendekati anugerahNya..
Panas terik bercampur peluh keringat tidak menghalangi semangat yang meruncing untuk segera melihat indahnya sajak hidup yang ada di depannya..
Dari awal kisah ini hanya akan berhenti di seputaran kehidupan di kereta..
namun yang terjadi sungguh berbeda..
Emm sebuah pengalaman yg kaya katanya..
barang kali suatu saat kita bisa melanjutkan dalam episod2 yang lebih dasyat lge..
::saLam dasyat sLalu
donitole
Huihi... pasti bisa kita rencanakan episode-episode berikutnya, Don! :D Makasih banyak untuk 'pengalaman yang kaya' itu ya...? :)
Post a Comment