Pages

Friday, December 7, 2007

Desa Demungan, Ponorogo Coret


Siang itu, Desa Demungan tampak cukup ramai. Beberapa warganya duduk di depan rumah masing-masing. Bercengkerama sambil bekerja mengupas kulit jagung hasil panen. Ratusan - atau mungkin ribuan - jagung tertata di halaman-halaman rumah. Dijemur beralaskan anyaman bambu.

Desa yang terletak di salah satu perbukitan yang mengelilingi Kabupaten Ponorogo, tepatnya di Kecamatan Badegan, ini sebenarnya tak terlalu terpencil. Tak begitu jauh dari jalan besar. Dan hanya sekitar 45 menit dari kota Ponorogo. Namun Mbak Er menyarankanku untuk mengunjunginya dalam rangka mencari data untuk tulisanku.
 
Konon, desa ini merupakan desa yang memiliki budaya menikahkan anak perempuan mereka di bawah usia 12 tahun. Hm... bahkan sebelum mereka lulus SD.

Tapi itu dulu.

Sekarang, mereka menikah tak lagi ditentukan oleh umur. Para gadis desa itu lebih banyak yang bekerja menjadi TKW daripada menikah muda. Walau telah menghentikan budaya pernikahan pra-remaja, tetap saja desa ini harus aku kunjungi. Bu Lik Mbak Er tinggal di desa ini, dan telah menikahkan keempat anaknya dalam adat pernikahan pra-remaja.

Desa Demungan tampak kering. Tanahnya bewarna kuning kecoklatan dengan debu mengepul di setiap pijakan langkah yang kubuat. Hanya ada sebuah sumur di antara enam rumah yang mengitarinya. Tapi semestinya mereka tak kekurangan air, karena hewan-hewan ternak dan tanaman di sekitar rumah-rumah itu tak tampak kekeringan. Bahkan, di tepi desa ini terdapat sungai yang cukup lebar.


"Sumurnya sampai kedalaman 17 meter, tapi masih ada airnya kok," ucap suami Lik Kami yang sempat menemani di ruang tamu rumah Mbah Kadiyah.

Aku memanggilnya Mbah, karena beliau sudah tua. Seorang nenek yang akan bercerita padaku tentang kehidupan di desa itu saat pernikahan pra-remaja masih awam.

Rumahnya berbentuk joglo, dengan kayu-kayu penyangga atap dan dinding-dinding kayunya. Berlantaikan tanah keras yang dibentuk kotak-kotak. Selembar tikar digelar untuk alas duduk kami. Tepat di atasku, lembaran-lembaran karton melintang di kayu-kayu penyangga.

"Itu sarang burung sriti, dicari liurnya untuk dijadikan obat," jelas Lik Sri.

Aku yang tak suka dengan unggas hanya dapat menyembunyikan ketidaksukaanku. Sarang burung itu merupakan salah satu pemasukan keluarga Mbah Kadiyah. Aku hanya bisa bergeser sedikit agar tak berada tepat di bawah sarang itu, dan berharap tidak ada kotoran burung yang tercecer di bawahnya.

Bersebelahan dengan sumur, sebuah kamar mandi dengan dinding setinggi bahu orang dewasa menjadi kamar mandi bersama beberapa rumah yang mengelilinginya. Kamar mandi yang tak memiliki gayung. Hanya ada pancuran. Sepertinya aku akan membutuhkan waktu agak lama untuk mempelajari cara menggunakan kamar mandi ini.

Rata-rata penduduk Desa Demungan sendiri bermatapencaharian petani. Sekaligus peternak. Mereka memiliki sawah dan kebun yang ditanami jagung. Beberapa rumah juga tampak memelihara beberapa ekor sapi, kambing, atau ayam.

Kedatangan kami siang itu disambut dengan ramah. Mbah Kadiyah, Lik Sri, dan Lik menerima kami dengan begitu ramahnya, dan langsung menganggapku sebagai keluarga sendiri. Makanan istimewa pun disuguhkan. Pisang, mangga, biskuit kelapa, roti sisir, dan kacang rebus. Untuk makan malam, Mbah Kadiyah menghidangkan mie goreng instan yang diberi irisan kacang panjang, beberapa tempe goreng, dan telur dadar yang berukuran besar.

Herannya, makanan sederhana itu terasa sangat lezat. Mungkin karena sesiangan aku hanya menyantap dua buah pisang dan beberapa gelas air putih. Malam itu, akhirnya aku mendapat banyak data mengenai budaya masa lalu yang aku cari. Listrik yang belum lama ini masuk ke desa digunakan untuk menyalakan TV. Kami mengobrol tentang sejarah desa, diselingi melemparkan komentar-komentar pada sinetron yang sedang diputar. Hari semakin malam, kami bersiap tidur.

Dan di bawah sarang burung sriti lah rupanya aku harus tidur. Beralaskan tikar yang sama, dikelilingi makanan yang tak sempat kami habiskan. Dengan perasaan was-was dan risih, beberapa kali mataku tak bisa berpindah dari sarang yang sepertinya dapat jatuh kapan saja itu. Untung saja kami hanya memiliki waktu satu hari untuk menginap.

Pagi-pagi, suasana desa sudah ramai. Anak-anak bersiap berangkat sekolah. Dan orang tua bersiap kerja. Entah ke sawah atau ke kebun. Sebelum kami pulang, Mbah Kadiyah menyiapkan pecel desa untuk sarapan kami. Hm... lagi-lagi lezat. Dan saat akan pulang, kulihat seorang gadis mandi di kamar mandi setinggi bahu, bersebelahan dengan seorang pemuda yang juga sedang mandi.

Oh-oh. Wajar bukan, kalau saya memilih mandi di kota Ponorogo saja?

6 comments:

temukonco said...

Nek tak baca-baca, cen dirimu kuwi nek nulis2 pendekatan e sangat anthropologi banget je... Ngirim buat national geographic wae...

bulb-mode said...

iwan:
Ini nyindir ato serius, Mas? :-S Huehehe!

temukonco said...

Serius kuwiii... Tenin... Sungguh.... :D

bulb-mode said...

iwan:
Ah...melayang... ya nanti coba tulisan ini aku kirim ke sana... huehehehe!!

dhiraestria dyah said...

ndie, bikin liputan wisata kuliner dari desa ke desa aja..
tentang makanan rumahan yang dibuat di desa-desa sebagai suguhan.. hihihi..

bulb-mode said...

dhiraestria dyah:
Sumpah... aku nggak nyangka... ternyata kmu ada bakat jadi pemimpin redaksi blog-ku... ck-ck-ck...! Ide brilian... *serius*

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...