Pages

Friday, December 14, 2007

Memotong Imaji di Pantai Srau, Pacitan

"Kalau begitu, ke mana kita esok?" tanyanya.

Pembatalan perjalanan hingga Purbalingga membuatku merasa sebaiknya mencari alternatif lokasi lain. Dan bukannya membatalkan secara keseluruhan. Mood yang sudah terlanjur bergelimang suasana jalan-jalan, tak seharusnya dipupuskan.

Langit cerah, dengan sedikit hiasan awan putih. Musim panas di tengah musim hujan. Summer break, istilah temanku dulu. Eh, season break, tepatnya. Yang jelas, ini benar-benar a-nice-weather-day!

Ke Pantai Siung? Makan di Sego Abang Jirak? Dan mengakhiri hari di danau bergunung itu?

"Menarik," ungkapnya.

Namun semua tak semulus rencana. Justru, perjalanan menjadi mengejutkan dan lebih menyenangkan dari bayanganku.

Sarapan lezat di Sego Abang Jirak berhasil memompa semangat. Dan rangkaian hari pun beralih dari jajaran pantai di Gunungkidul, bergeser lebih jauh ke Timur. Ke Pacitan.

Konon kabarnya, di Pacitan terdapat pantai yang amat indah. Dengan pasir putih, air bening yang tembus pandang hingga ke karang-karang di bawahnya, dan sepi.

"Mirip pantai yang di film-nya The Beach," ungkap adikku beberapa bulan yang lalu.

Namanya?

"Pantai Srawu."

Hm... layak dicari.

Penelusuran pantai ini, walau sempat menyesatkan kami di belantara desa seribu satu gua, sebenarnya dimulai dari Kota Pacitan yang lengang dan panas. Kering. Dengan makanan khas Nasi Thiwul. Sayang kami tak sempat mencobanya.

Dengan mengikuti berbagai petunjuk jalan dan bertanya kian kemari, kami akhirnya menemukan titik terang. Paling tidak, saat itu kami mengira itu titik terang.

Retribusi masuk seharga Rp 3.000,- per orang dan tambahan Rp 2.000,- untuk kendaraan beroda empat. Kami pun mengitari pantai dengan pelan, mencari tempat parkir yang tak juga ditemukan. Sebelum akhirnya jalanan habis, dan kami berhadapan langsung dengan tebing-tebing di pinggir laut.

Wow! Dari sini, pemandangan benar-benar indah. Dan sekilas, mengingatkanku akan beberapa tebing di Pulau Karimunjawa, dekat desa Kemojan. Pantai Srawu-kah ini? Tapi tak kulihat ada pasir putih.

Sebenarnya, pantainya sendiri cukup menarik. Luas dan bersih. Namun pasirnya kecoklatan dan di sebelahnya terdapat pelabuhan kecil beserta Tempat Pelelangan Ikan-nya. Wah... sepertinya ini tidak mirip pantai di film The Beach. Justru mirip sebuah pantai terpopuler di Jogja. Pantainya landai dan airnya tidak sebening bayanganku akibat tercampur pasir. Jauh dari bayanganku. Tinggal ditambah beberapa buah dokar dan kuda, voila... Pantai Parangtritis.

Atau, saat itu sebenarnya adikku merujuk pada suatu film yang belum pernah aku tonton, berjudul... The Bitch?

Kecurigaanku berujung pada pertanyaan dan pengungkapan fakta oleh seorang nelayan yang sedang bekerja.

"Ini Pantai Teleng Ria, Mbak," ungkapnya sambil tertawa. "Kalau Pantai Srawu masih jauh."

Ia menerangkan jalan sambil menunjuk-nunjuk dengan tangannya. Benar-benar arah imajiner yang tak dapat aku visualisasikan di otak. Berbekal kata-kata kunci 'Pertigaan-Belok-Ke-Arah-Kiri' dan 'Arah-Ke-Solo', kami segera meninggalkan Pantai Srawu wanna-be ini.

Sepanjang perjalanan, langit masih cerah dan matahari juga tak mau kalah. Ia bersinar dengan teriknya. Sementara kacamata Gurci ajaibku, yang bisa mengubah nuansa putih menjadi indah, tidak kubawa. Hm... padahal aku benar-benar membutuhkannya.

Perjalanan mulai mencurigakan. Tak ada petunjuk yang pasti. Sampai akhirnya, sebuah petunjuk di pinggir jalan. Pantai Srau.

Ah, ternyata Pantai Srau. Tanpa 'W'.

Petunjuk demi petunjuk kembali kami ikuti. Lalu masuk ke pedesaan. Tinggal tiga kilometer lagi.

"Darimana kamu tahu?" tanyanya curiga.

Hihihi... sebenarnya aku melihat pal yang berada di sisi jalan. Itu bukan informasi dari bisikan 'teman khayalan'ku. :p Maaf...

Dan seperti di jalan masuk Pantai Sepanjang, Jogja, di ujung jalan, birunya laut memanggil kami.

Horay! Sampai juga. Mobil pun memasuki jalanan hingga ke akhir jalan. Pantai Srau benar-benar berpasir putih. Mirip Pantai Krakal, Pantai Siung, dan pantai-pantai di ujung timur Gunung Kidul. Hanya saja, pantai ini jauh lebih indah.

Sebelum menjelajah pantai-pantai, kami memutuskan untuk bersantai sebentar di sebuah warung tak berpenghuni, sambil memohon belas kasihan dua penduduk setempat untuk mencarikan kami beberapa buah kelapa muda.

Di sisi pantai memang terdapat lapangan berumput hijau yang dipenuhi oleh pepohonan kelapa. Nyiur pun melambai-lambai ditiup angin. Aih-aih!


Tiga buah kelapa muda bewarna hijau menggiurkan dibawakan tak lama kemudian. Dengan harga Rp 10.000,-. Ini jauh dari mahal, terutama dengan suasana yang amat sangat sesuai. Cuaca yang cerah, pemandangan pantai pasir putih dengan airnya yang biru bersih, debur ombak, dan hembusan angin beraroma laut. Lebih lagi, tak terlihat turis lain di sekitar pantai. Ah, benar-benar damai.

Deretan bukit di sisinya, menawarkan pemandangan yang lebih indah. Bentuknya mirip dengan bukit-bukit karang tempat pengambilan gambar film Hercules dan sebangsanya. Dari atas bukit - yang mudah didaki - itu, kami bisa menikmati hamparan laut dengan gugusan pulau kecilnya. Bahkan di kejauhan, pulau-pulau kecil itu tampak misterius. Uap air di sekitarnya memang berhasil menciptakan efek 'kabut'.

Panas, tentu saja. Di bukit-bukit itu, tak terdapat satu pohon pun. Dan lupakan payung. Karena angin kuat yang berhembus tak bersahabat dengan payung. Paling bijak adalah dengan memakai topi, walaupun itu topi Tantowi Yahya, dan kacamata hitam. Serta sunblock!

Sayang sekali, pantai-pantai di Pantai Srau ini bukanlah pantai yang bisa untuk bermain air. Deburan ombaknya terlihat amat kuat. Berbahaya juga, karena tanpa perlindungan dan langsung menuju Samudera Hindia. Selain itu, untuk turun ke beberapa spot yang benar-benar indah, dibutuhkan usaha tersendiri.

Seperti melompat dari atas karang, contohnya. Resikonya, kita tak bisa naik kembali ke karang dan dihantui air pasang yang mungkin menenggelamkan pantai kecil itu.

Matahari mulai tergelicir ke arah barat. Dan sinarnya mulai sedikit bersahabat. Namun waktu yang kali ini kurang bersahabat. Perjalanan pulang ke Jogja yang mungkin lebih dari empat jam membuat kami harus melupakan sunset. Padahal, menurutku, sunset di daerah ini pastilah sangat indah.

Bagaimana tidak? Pemandangan siang hari yang amat sangat terik dengan cahaya yang 'over' saja sudah cukup indah untuk dinikmati.

Tapi perjalanan pulang tak kalah menarik. Siapa yang menyangka kami akan mendapat bonus pemandangan sendu sunset di Waduk Gajahmungkur?

Pasti, bila ada kesempatan, lain kali aku harus kembali ke sana. Dengan peralatan kemping yang lengkap, mungkin?

"Kalau emang niat nginep, ke Pacitan aja deh, Ndie. Nggak jauh juga," ungkapnya tak sensitif.

Argh... terima kasih telah memotong imajinasiku. Lagi.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...