Berkeliling di suatu kota tanpa mencicipi makanannya? Ah, sepertinya sangat tidak afdol. Di Ponorogo, aku pun meminta tolong pada Mbak Erna untuk mengajakku ke tempat-tempat makan yang lezat. Atau paling tidak, yang khas.
Dawet Jabung
Perempatan Jabung, dekat Pesantren Gontor
Deretan warung dawet ini berjejer di pinggir jalan, sampai bingung harus menentukan masuk yang mana. Semuanya tampak sama. Dan sepertinya rasanya juga sama.
Berbeda dengan dawet di Jogja yang kebanyakan bewarna hijau, dawet Jabung bewarna putih transparan. Dan penyajiannya, dalam satu mangkok kecil, dawet tadi dicampur dengan ketan hitam dan es batu.
Selain nuansa gurih, rasanya manis sekali. Santan yang menjadi kuahnya dicampur dengan gula putih, gula jawa, dan terkadang juga legen. Aih. Terlalu manis untukku.
Biasanya, es dawet ini diminum sambil menghabiskan camilan gorengan yang tersedia. Salah satunya, gorengan khas Ponorogo. Trasi dele atau Lentho. Terbuat dari gaplek, taoge besar ditambahkan dele, dan daun bawang. Untuk satu mangkok dawet, hanya Rp 1.000,-. Cukup murah untuk kesegaran instan.
Sate Ayam Ponorogo, Haji Tukri Sobikun
Jl. Lawu, Gg. I, Ponorogo
Mbak Erna biasanya membawa sate ayam ini sebagai oleh-oleh tiap kali berkunjung ke Jogja. Dan memang enak. Tak heran, ketika aku berkunjung ke Ponorogo, walau aku sudah sering mencicipinya, aku sedikit memaksakan untuk mampir di rumah makan itu.
Sate ayam yang berbeda dengan sate ayam di Jogja. Dari bentuknya saja sudah berbeda. Sate ayam Ponorogo ini, dagingnya diiris tipis-tipis dan memanjang. Mengingatkanku akan fillet daging ayam. Lalu ditusuk dan dipanggang. Dagingnya terasa amat lembut.
Dan bumbunya terasa manis, walau tanpa tambahan kecap. Mungkin bila diberi tambahan kecap, rasanya justru terlalu manis. Aku suka memakan lontong, hanya dengan lauk bumbu kacang itu.
Untuk satu porsi yang berisi sekitar 10 tusuk, harganya hanya Rp 6.000,-. Tak terlalu mahal, bukan?
Nasi Pecel Tumpuk
Jl. Kawung No 174, Mangunsuman
Sate ayam yang berbeda dengan sate ayam di Jogja. Dari bentuknya saja sudah berbeda. Sate ayam Ponorogo ini, dagingnya diiris tipis-tipis dan memanjang. Mengingatkanku akan fillet daging ayam. Lalu ditusuk dan dipanggang. Dagingnya terasa amat lembut.
Dan bumbunya terasa manis, walau tanpa tambahan kecap. Mungkin bila diberi tambahan kecap, rasanya justru terlalu manis. Aku suka memakan lontong, hanya dengan lauk bumbu kacang itu.
Untuk satu porsi yang berisi sekitar 10 tusuk, harganya hanya Rp 6.000,-. Tak terlalu mahal, bukan?
Nasi Pecel Tumpuk
Jl. Kawung No 174, Mangunsuman
Namanya familiar, seperti nama seorang Mbok-Mbok penjual peyek di Bantul. Namun yang ditawarkan beda. Masih terbawa nuansa Madiun, Ponorogo rupanya juga memiliki pecel.
Bila pecel di Jogja menggunakan kencur, Ponorogo tidak. Pecel Tumpuk ini memadukan kembang turi, bayam, kenikir, daun pepaya, tauge, dan trancam. Lalu diberi sambal kacang yang tak kalah lezat. Untuk melengkapi menu, di meja saji juga disediakan gorengan-gorenang menarik yang meminta untuk dicoba.
Ada trasi dele (yang kali ini menggunakan ketela, bukan gaplek), rimbil yang terbuat dari kelapa, lalu tahu pong goreng, tempe, hingga telur dadar. Itu yang paling aku suka. Lezat.
Yang menarik adalah, nama 'Tumpuk'-nya. Tumpuk ini diambil dari nasi atau pecel yang ditumpuk-tumpuk sesuai permintaan porsi pembeli. Setiap porsi diukur dengan satu tumpuk. Dan pembeli juga boleh memilih, mau pakai piring atau pakai pincuk daun pisang.
Sayangnya, warung makan ini baru dibuka pukul 5 sore dan tutup saat sudah habis. Harga seporsinya hanya Rp 3.000,-. Katanya, Pak Bondan Winarno juga sudah menyambangi tempat ini.
-o0o-
Aduh... kenyangnya...!
Bila pecel di Jogja menggunakan kencur, Ponorogo tidak. Pecel Tumpuk ini memadukan kembang turi, bayam, kenikir, daun pepaya, tauge, dan trancam. Lalu diberi sambal kacang yang tak kalah lezat. Untuk melengkapi menu, di meja saji juga disediakan gorengan-gorenang menarik yang meminta untuk dicoba.
Ada trasi dele (yang kali ini menggunakan ketela, bukan gaplek), rimbil yang terbuat dari kelapa, lalu tahu pong goreng, tempe, hingga telur dadar. Itu yang paling aku suka. Lezat.
Yang menarik adalah, nama 'Tumpuk'-nya. Tumpuk ini diambil dari nasi atau pecel yang ditumpuk-tumpuk sesuai permintaan porsi pembeli. Setiap porsi diukur dengan satu tumpuk. Dan pembeli juga boleh memilih, mau pakai piring atau pakai pincuk daun pisang.
Sayangnya, warung makan ini baru dibuka pukul 5 sore dan tutup saat sudah habis. Harga seporsinya hanya Rp 3.000,-. Katanya, Pak Bondan Winarno juga sudah menyambangi tempat ini.
-o0o-
Aduh... kenyangnya...!
No comments:
Post a Comment