Dalam bayanganku, Bogor adalah kota kecil yang semrawut. Mungkin pengalaman terakhirku ke Bogor memang membekaskan kesan semrawut di memori.
Karenanya aku tak kesal saat melihat kondisi jalanan yang padat merayap saat kami memasuki kota Bogor. Aku sudah mempersiapkannya dari rumah. Lagi pula, aku punya teman mengobrol yang asyik saat perjalanan.
Karenanya aku tak kesal saat melihat kondisi jalanan yang padat merayap saat kami memasuki kota Bogor. Aku sudah mempersiapkannya dari rumah. Lagi pula, aku punya teman mengobrol yang asyik saat perjalanan.
Jalanan yang tak terlalu lebar itu dipadati oleh mobil-mobil. Kebanyakan angkot. Duh...
"Sekarang Bogor tuh kota angkot, Ndie. Bukan kota hujan," jelas Mbak Ambar.
Memang benar. Terlalu banyak angkot untuk kota sekecil itu. Aku jadi heran, apa ya angkot-angkot itu mendapat bagian 'kue' yang cukup?
Tapi itu bukan masalahku.
Aku lebih suka melihat pemandangan di sekitarku selama perjalanan ke Warso Farm. Tentulah sambil membayangkan durian yang akan kami santap.
Warso Farm adalah perkebunan durian milik seorang anggota TNI AD (aku tidak tahu pangkatnya) yang terletak agak di luar kota Bogor. Kebunnya luas sekali dan memiliki banyak pohon durian, serta beberapa pohon pete.
Di sini, sebenarnya kami bisa memilih sendiri buah durian yang ingin kami makan langsung dari pohon kalau waktu panen tiba. Persis seperti agrowisata lainnya.
Tapi untuk mempersingkat waktu, kami memilih durian di pondok yang sudah tersedia. Pilihan pun jatuh pada durian montong seberat 3,5 kg. Walau awalnya agak ragu akan bisa menghabiskannya hanya berdua, tapi kenyataannya... KAMI MAMPU!
Kembali ke dalam kota, kami masih memiliki beberapa agenda kuliner untuk diselesaikan. Mulai dari Gumati, Makaroni Panggang, hingga Apple Pie. Nyam-nyam. Dan itu semua, ditambah 1 kg durian, membuat perutku serasa akan meletus.
Sudut-sudut kota Bogor sebenarnya cukup menyenangkan untuk dinikmati. Seperti Istana Bogor dengan kijang-kijangnya yang kulewati sore itu. Dan ketika lampu-lampu merkuri telah menyala, atmosfernya semakin menyenangkan.
"Bogor memang enak dinikmati waktu malam," ucap Mbak Ambar.
Yah, benar juga. Malam itu Bogor terlihat sendu. Mungkin karena kabutnya. Atau hujan gerimisnya? Atau karena aku masih ingin di sana?
Yang jelas, malam itu Bogor terlalu nyaman untuk ditinggalkan. Ya kan, Mbak? :)
No comments:
Post a Comment