Akhirnya aku kembali menginjakkan kaki di Jakarta. Aku meninggalkan Jakarta tiga tahun yang lalu dan lalu tidak pernah mengunjunginya lagi. Kecuali satu kali selingan saat terpaksa transit semalam di sana.
Aku meninggalkan Jakarta dan segala kepenatannya.
Ah. Dan akhirnya aku terjebak macet lagi. Perjalanan sejauh enam kilo ditempuh selama dua jam! Aku hampir lupa rasanya menyupir mobil dan terjebak macet di Jakarta.
Aku meninggalkan Jakarta dan segala kepenatannya.
Ah. Dan akhirnya aku terjebak macet lagi. Perjalanan sejauh enam kilo ditempuh selama dua jam! Aku hampir lupa rasanya menyupir mobil dan terjebak macet di Jakarta.
Menerobos, menyalip, menyerempet. Bersaing dengan motor, bis, hingga angkot. Berebut mengisi sepetak ruang kosong di antara kendaraan yang berjubel.
Dan ini semua hanya karena hujan deras yang turun selama hampir satu jam.
"Kalau hujan, walaupun nggak banjir, tapi mesti macet," ujar Tanteku.
Ya-ya... aku kerap mendengarnya dari teman-temanku. Hm... aku jadi ingat salah satu alasan kenapa aku tidak bisa menyukai kota ini. Macet.
Untung saja semua ini diakhiri dengan indah.
Setelah hujan reda, awan berarak-arak menjauh, menyisakan ruang bagi matahari untuk muncul. Sinarnya yang bewarna jingga terang mengintip di sela-sela awan.
Menjelang tenggelam.
Walau ujung horizon terhalangi tembok-tembok rumah, namun sinarnya tetap menjangkauku. Menghangatkan dan melunturkan kekesalanku.
Aneh memang. Aku jadi bisa tersenyum melihat ulah gila para pengendara motor yang berusaha menyerobot ruang sela. Aku terkikik mendengar umpatan mereka yang kesal pada macet. Dan aku bahkan tertawa saat terkena jebakan jalanan super rusak yang tergenang air coklat.
Hahaha!
Hm... tapi mungkin saja senja kemarin hangat hanya karena aku tidak melakukan sebuah rutinitas, bukan?
No comments:
Post a Comment