Selain terkenal dengan seni pop, distro, dan hawanya yang segar, Bandung juga terkenal akan kulinernya. Berbeda dengan yang selama ini aku temui saat melakukan wisata kuliner, Bandung memiliki karakteristik kuliner yang berbeda.
Bandung memang memiliki banyak sekali variasi makanan yang lezat dan terlihat menarik untuk dimakan. Tempat-tempatnya pun tampak menarik untuk sekedar dikunjungi. Kebanyakan terlihat nyaman dengan menu unik.
Bandung memang memiliki banyak sekali variasi makanan yang lezat dan terlihat menarik untuk dimakan. Tempat-tempatnya pun tampak menarik untuk sekedar dikunjungi. Kebanyakan terlihat nyaman dengan menu unik.
Tapi itu semua makanan olahan. Bukan makanan asli daerah Bandung. Kalaupun asli, pasti sudah dimodifikasi sedemikian rupa hingga menjadi makanan baru yang berkesan 'mahal'.
Di Bandung, aku tidak berhasil mendapatkan info mengenai makanan tradisionalnya yang lezat. Yah, seperti bakmi Jawa dan gudeg di Jogja, atau lontong tuyuhan di Rembang, atau pecel di Madiun, atau bahkan lumpia di Semarang. Aku hanya mendapatkan referensi-referensi tempat 'nongkrong' yang menyenangkan.
Hm... apa aku bertanya pada orang yang salah?
saat ke Bandung, aku sudah menyiapkan beberapa menu makanan yang ingin aku makan selama di sana. Dan salah satunya adalah makanan tradisional mereka. Bubur ayam Bandung. Atau lebih tepat dikatakan bubur ayam Sukabumi?
Bubur Ayam Mang Oyo
Jl. Gelap Nyaweng
Pagi hari di Bandung, cocoknya memang menyantap bubur ayam hangat untuk sarapan. Seperti di Bubur Ayam Mang Oyo.
Di sini, bubur ayamnya tidak hanya sekedar bubur dengan ayam, seperti bubur ayam 'palsu' yang banyak aku jumpai. Bubur Ayam Mang Oyo melengkapi sajiannya dengan telur pindang, ati-ampela, dan cakwe.
Uniknya, bubur ini tidak berkuah. Walau begitu, rasanya tetap lezat. Mungkin karena bubur ini dimasak dalam air kaldu, sehingga rasa buburnya sendiri sudah gurih. Dan enaknya lagi, buburnya tidak 'njemek'.
Pagi itu, rupanya Mang Oyo berkunjung ke warungnya dan menyapa kami. Seorang bapak berusia 50 tahunan, dengan muka yang ramah. Tanpa kupluk koki.
"Biasanya dia suka pakai kupluk koki," ungkap Alam.
Aha. Mengingatkanku pada Bakmi Kupluk dengan 'saos-saos terbaik'-nya.
Yoghurt Cisangkuy
Depan Gedung Sate
Dingin-dingin minum es? Sepertinya memang tidak tepat. Tapi walau gerimis, aku tetap ingin meminum paling tidak segelas yoghurt di Bandung.
Yoghurt Cisangkuy memang tempat yang tepat. Letaknya di tak jauh dari keramaian kota dan nyaman, di depan gedung sate. Dan tempat duduknya yang ditata di antara rerimbunan tanaman membuatku serasa meminum yoghurt di kebun. Menyenangkan.
Pilihan yoghurtnya banyak, tapi Alam mereferensikan dua pilihan yoghurt: Strawberry Special Yoghurt Juice atau Lychee Special Yoghurt Juice?
Tentu saja stroberi. Aku lebih suka buah berwarna merah itu. Dan Alam memilih leci.
Yoghurt-yoghurt tersebut disajikan dalam gelas bening yang sederhana, sehingga kita dapat melihat potongan buah di dalamnya. Dan rasanya? Menyegarkan. Yoghurtnya yang cair dan manis, menurutku, seperti kefir yang dicampur dengan jus yang manis.
Ketika akan beranjak dari tempat duduk, kubaca informasi yang sedikit mengejutkan. Rupanya yoghurt ini sudah ada sejak tahun 1969. Wah... bisa dijadikan kuliner tradisional?
Susu Murni di Lembang
Aku mencicipi susu murni di Lembang sementara Alam melaksanakan kewajibannya di masjid sebelah rumah makan yang kami datangi. Tak banyak yang bisa aku ceritakan, tapi yang jelas susunya aneh.
Aneh yang enak. Ditemani sepiring pisang keju-coklat.
Walau sama-sama tak tercium aroma amis, susu murni tawar yang aku cicipi ini rasanya berbeda dengan susu murni di Warung Tenda Papiti atau susu murni di Boyolali. Tapi tak kalah lezat. A
ku tak bisa mendeskripsikan rasanya, yang jelas ada sensasi rasa kedelainya di susu itu. Hm...?
Warung Lela
Jl. Kupa No. 6, Kompleks Rancakendal, Dago Atas.
Warung kenangan ini pertama kali aku kunjungi di tahun 2004. Dan kenangannya membekas. Mulai dari rasa, tempat, hingga teman-teman saat itu.
Tak heran, setelah berhasil berdamai dengan perasaanku, aku ingin kembali ke sana dan menikmati kombinasi rasa dan visual yang klop. Jalanan yang terjal dengan tempat parkir yang minim bukan masalah besar, karena pemandangan yang indah sepertinya hanya bisa ditawarkan di daerah yang berjalan terjal, ya?
Dan beranda warung Lela, terlihat pemandangan dari atas bukit Dago. Menyejukkan.
Yamin manis spesial dengan jamur menjadi pilihanku. Kunyahan pertamaku membawa ke masa lalu. Benar-benar lezat dan tidak berubah dari terakhir kali aku ke Wa-Le.
Mie-nya sendiri sudah cukup kenyal dan enak. Belum lagi dilengkapi dengan irisan jamur dan daging ayam tanpa tulang yang dipotong tak terlalu kecil. Bumbunya manis, cocok untuk lidah Jawaku yang suka manis. Itu semua disiram dengan kuah hangatnya yang gurih.
Amboi... lezat nian...
*semua foto diambil dengan kamera HP. ;)
2 comments:
Waaa...kapan ya bisa ke Bandung rame2 lagi kayak dulu
thea: Huiii... aku yang dulu aja nggak ikut, The... :p
Post a Comment